Aila tersenyum singkat membayangkan adegan beberapa menit lalu. Di mana Ryan ngambek setelah tak ia beri ijin untuk mengecup keningnya.
Haha, meskipun begitu Ryan tetap memberikan hadiah. Sebuah alat gambar lengkap dengan segala isinya, dimulai dari segitiga sepasang, hingga ke pulpen rapidonya.
Ah, Aila sangat senang. Perlengkapan ini akan ia simpan dan jaga dengan baik. Karena harganya yang mahal, dia sendiri tak akan sanggup membelinya bila hanya mengandalkan sisa uang jajan.
Gadis yang baru saja berulang tahun itu menutup pintu rumah dan berjalan menuju ke arah kamarnya. Suasananya masih sama, gelap. Hanya saja ada perbedaan kali ini, di atas lantai dua tampak terang.
Karena penasaran ada apa di atas sana, Aila pun memilih untuk pergi ke atas. Apalagi tempatnya di kamar Ayka. Lebih dulu Aila melangkah ke dapur, dan meletakkan sisa kue di dalam kulkas, barulah dia melangkah menuju lantai dua.
Aila segera berjalan menuju kamar itu tanpa harus ke kamarnya dulu. Di tangannya pelengkapan gambar itu masih berada, gadis itu bahkan sangat penasaran hingga lupa dengan perlengkapan gambarnya.
Semakin dekat, suara nyanyian selamat ulang tahun semakin jelas. Aila pun menajamkan pendengarannya. Hatinya semakin mencelos kala nyanyian itu terdengar jelas.
Mereka hanya mengingat ulang tahun Ayka, tidak mengingatnya. Aila melangkah dengan gontai ke kamar itu. Matanya sudah memerah saat itu juga.
"Kenapa kalian bahkan nggak mau repot-repot memanggilku, Ayah, bunda?" gumam Aila dalam hatinya.
Pintu kamarnya terbuka lebar, jadi memiliki akses lebih besar untuk melihat acara di dalam saja. Tangisan yang susah payah dibendung pun akhirnya runtuh. Mereka di dalam sana berbahagia tanpa kehadirannya.
Apa mereka tidak memikirkan perasaannya? Tidakkah semenit pun mereka menganggap dirinya sebagai anggota keluarga?
"Aku juga mau dirayain Bunda," lirih Ai pelan, menelan pahit kenyataan yang dia terima. Tangannya mencengkram erat kotak perlengkapan gambar itu, menyalurkan emosinya.
Aila melangkah mendekat, dengan wajah yang sudah di banjiri air mata. Apa yang dia harapkan? Begitu banyak sampai tak bisa menyebutkannya satu-persatu.
"Yang usianya bertambah bukan Ayka aja loh Ayah, bunda. Aku juga, ini juga hari ulang tahunku," ujar Aila membuat mereka yang sedang berbahagia itu menoleh cepat. Ayka yang mengenakan topi kerucut menatap saudara kembarnya dan tersenyum lebar.
"Sini kita rayain bareng-bareng," ajak Ayka dengan semangat.
Aila diam, menatap mereka, lalu beralih ke kado-kado yang berada di atas ranjang Ayka. Di sana, Ai menemukan begitu banyak hadiah hingga ranjang saudaranya saja hampir penuh. Lalu bagaimana dengannya? Tak adakah bagian untuknya yang lahir selisih satu jam dari Ayka?
"Kalian lupa sama aku?" tanya gadis itu, kali ini air matanya lebih banyak keluar. Suaranya bahkan tersendat, kekecewaannya semakin nyata.
"Kalian lupain aku? Ayah? Bunda? Kalian nggak sayang sama aku? Putri kalian bukan cuma 1 ayah! Bukan cuma 1 Bunda! Aku juga putri kalian!" teriaknya dengan kuat.
Wajahnya memerah dengan Air mata terus mengalir. Sang kepala keluarga mengalihkan tatapannya. Bunda sedikit peduli tapi hanya tampak menggigit kukunya. Sedangkan sang Nenek masih bersikap santai. Seolah dirinya bukanlah sesuatu yang pantas dipikirkan.
Haha, tak pantaskah dia berada di keluarga ini?
"Kalian—"
Suara telepon dari salah satu ponsel mereka berbunyi. Aila pun diam saja kala melihat Ayka mengangkat telepon itu.
"Halo bang?" sapa Ayka dengan wajah sumringah.
Abang? Maksudnya Ael? Atau ... Abang kedua?
"Makasih banyak Abang! I'm so happy. What's a gift for me? I'm waiting. I'm only here for a few months," ujar Ayka dengan riang.
Aila memalingkan wajahnya. Jelas itu abangnya. Siapa lagi yang mengucapkan ultah kepada Ayka selain kedua abangnya. Dan lagi, jangan lupakan nggak mungkin Ayka meminta kado kepada orang lain.
Kecewa di hatinya semakin kentara. Aila menunduk, menahan suara isakan tangisnya yang bisa pecah saat itu juga.
Abangnya tidak pernah mengucapkan ulang tahun kepada Aila. Justru lebih sering lupa, dan sekarang ia ditampar oleh kenyataan bahwa semua orang hanya mengucapkan selamat ulang tahun pada Ayka.
"Bunda ...," lirih Aila menahan isakan tangisnya.
Sedangkan Ayka masih sibuk dengan teleponnya.
"Kalo aku anggap perintah ayah sama bunda kayak angin gimana? Gapapa? Aku juga mau dianggap sebagai anak, bukan sebagai anak angkat seperti ini," jelas Aila dengan mata menatap Bundanya.
"Kapan kamu emang menuruti kata putriku? Kamu selalu melawan! Bahkan saya saja yang sudah tua kamu lawan!" pekik sang Nenek mengambil alih percakapan.
Aila terkekeh, menikmati rasa sakit hatinya yang semakin mencuat kepermukaan.
"Nenek egois Nek! Wajar aku melawan! Selama ini nenek ada anggap aku sebagai cucu?! Ada?! Aku bahkan nggak sudi anggap nenek sebagai nenekku! Nenek selalu merendahkan aku!"
"Ai!" bentak Ayahnya mengentikan kekacauan yang ia buat.
"Apa? Ayah mau salahin aku juga? Ayah! Aku Ai! Kembaran Ayka ayah. Aku putrimu juga! Aku darah dagingmu! Tapi kenapa aku saja yang terus mengalah!? Kenapa?!" murka Aila dengan wajah memerah.
"Kamu sudah melewati batas Ai!"
Sang ayah maju dan menarik lengan putrinya. Tapi Aila yang geram pun memberontak, menghempaskan cekalan tangan ayahnya.
Ayka segera menutup telponnya membuat Aila menatap tajam mereka semua, kemudian mendekat dan menghancurkan kue mewah di sana. Ada batas sabar dalam dirinya, ini benar-benar sudah di luar batasannya.
Tak ada respon dari anggota keluarganya yang lain membuat Aila gegas meninggalkan kamar Ayka. Dia bahkan melupakan kado yang Ryan berikan. Selepas kepergian Aila, Ayka diam-diam tersenyum manis.
"Puas," ucapnya dengan senyuman yang makin lebar.
Sementara Aila, dia lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Tak apa, tak masalah, sudah biasa diperlakukan seperti ini jadi jangan patah semangat.
Aila terus saja mengulangi kata-kata yang sama dalam hatinya. Dia kian merasa kesal saat mengingat wajah anggota keluarganya. Saat ini gadis muda yang baru saja bertambah satu tahun usianya itu membutuhkan sebuah pelukan.
"Ryan ...."
Terlalu sibuk menangis, Aila sampai tak sadar bahwa sedari tadi saudara kembarnya tertawa ngakak dalam hati. Ayka sengaja melakukannya. Dia sengaja membuat acara, bukan persiapan, segalanya dadakan. Tidak ada yang ingat, dia hanya mempersiapkan segalanya dengan cepat.
Sebetulnya Ayka melihatnya tadi, dia melihat Ryan yang datang membawa kue tetapi hanya Aila yang dipanggil. Sebagai sosok yang mencintai Ryan diam-diam, Ayka murka dan membuat acara untuk membalas rasa kesal pada saudaranya itu.
"Siapa yang tahu kalau acara dadakan ini berhasil? Haha, akhir yang sangat memuaskan, selamat berduka, saudaraku."
Gadis yang sama-sama saling terluka itu mencoba untuk membuat lawannya kalah. Nyatanya jika mereka saling menguatkan mungkin keadaan akan sedikit membaik. Sayangnya itu semua tak lebih dari angan-angan belaka.
-Bersambung ....