Chereads / Our Monday / Chapter 10 - Apa Seharusnya Aku tak Lahir?

Chapter 10 - Apa Seharusnya Aku tak Lahir?

"Ada tamu?" gumam Ryan melihat di depan rumah sahabatnya ada beberapa mobil.

Aila yang baru saja turun dari motor cowok itu juga heran. Tamu? Seingatnya tadi pagi tidak ada tamu yang datang. Ryan menatap Aila, kemudian halaman rumah gadis itu lagi.

"Ayo, gue anter ke dalam. Sekalian mau sapa Om sama Tante. Udah lama kan nggak sungkeman, masak nganterin harus depan gerbang mulu," ajak Ryan mulai memutar stangnya ke dalam pekarangan rumah Aila.

Aila berjalan dengan sedikit berlari, mengejar Ryan.

"Seriusan mau masuk?" tanya Aila dengan wajah berbinar. Selama ini Ryan selalu menolak saat di ajak ke rumah, alasannya karena tidak begitu menyukai kedua orang tuanya yang sangat over pada nilai.

"Iya, kali ini ayo masuk bareng," ajak Ryan, lagi.

Aila mengangguk semangat. Kedua orang tuanya sangat menyukai Ryan, karena cowok itu sangat humble dan baik. Terlebih kata lainnya juga pintar. Itu yang pertama kali di lihat orang kedua orang tuanya.

"Assalamualaikum."

Gadis itu mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah mewah milik orang tuanya. Masih bertanya-tanya siapa tamu itu.

"Waalikumsalam."

Sahutan dari dalam meyakinkan Aila bahwa yang datang itu lebih dari satu orang saja. Sahabat Ryan itu melangkah ke dalam, tepatnya saat di ruang keluarga, tatapannya jatuh pada seorang gadis yang berwajah sama dengannya.

"Ayka ...," gumam Ai pelan, menatap wajah saudara kembarnya itu. Terakhir kali mereka bertemu beberapa bulan lalu, tepatnya saat menerima rapot juga.

"Hai Mika," sapanya dengan wajah ceria. Kebiasaan Ayka memanggilnya Mika, bukan seperti kebanyakan orang.

"Baru pulang?"

Aila menoleh ke arah belakang, di mana neneknya berdiri dengan angkuh. Tubuhnya masih saja tegap dan sehat. Gadis mengangguk singkat. Ini terlalu kejutan untuk Ai sendiri. Sedangkan Ryan, menyesal telah masuk ke dalam rumahnya.

"Eh, Ryan? Oh my God, you're just getting tall and handsom!" takjub Ayka dan mulai berdiri.

Aila hanya menatap saja, sedangkan kedua orang tuanya duduk di sofa dengan berdampingan. Wajah mereka sangat cerah, melebihi cerahnya dunia ini.

"Haha, iya. Btw, lo apa kabar?" sapa Ryan sedikit kaku.

"I'm good. I miss you so much astaga. Ah iya, gimana kalo kita spend the day exchanging stories?" ajak Ayka dengan wajah berbinar.

***

Akla diam saja, ilmu bahasa Inggrisnya masih kurang untuk memahami kalimat Ayka yang bercampur bahasa Inggris. Sedikit yang dia pahami, Ayka mengajak Ryan untuk menghabiskan waktu seharian.

Ah ya. Aila, Ayka, dan Ryan dulu sekelas saat masih SMP. Mereka selalu bertiga kemana-mana, tapi Aila dan Ryan lah yang paling dekat. Sedangkan Ayka hanya fokus dengan tugas dan tugas saja. Dan saat SMA, Ayka memilih melanjutkan sekolahnya ke luar negeri bersama sang nenek di sana.

Entahlah, sejauh ini yang Aila tahu adalah Ayka sangat suka caper kepada Ryan. Bukannya tak suka, hanya saja saat melihat wajah risih Ryan ... Aila ingin membawanya pergi saja.

Atau hanya perasaan Aila saja? Bisa jadi Ryan justru nyaman-nyaman saja, sih.

"Bahasa Indonesia aja lah, Ka. Lo udah di Indo, bukan di luar negeri lagi, capek jadi translator dadakan," kesal Ryan, mungkin juga merasa sedikit tidak paham.

Tawa Ayka menggema, diikuti oleh tawa dari neneknya yang sudah duduk di seberang Bunda dan Ayahnya, sedangkan Aila, Ayka, dan Ryan masih berdiri.

"Wah, kalian ini sangat cocok ternyata. Cantik sama tampan, sama-sama pintar juga," puji neneknya dengan suara yang begitu bahagia.

Aila diam saja, meresapi hatinya yang semakin sakit saja. Tidak banyak bicara, tetapi matanya dapat menyiratkan itu semua. Yentu saja Ryan sadar, apalagi perubahan mimik wajah Ai.

"Kita habisin waktu berdua seharian gimana? Sambil cerita, makan, keliling alun-alun. Gue kangen banget sama lo gila! Emang lo nggak bosen sama Aila mulu?" cetus Ayka dengan penuh harap.

Ryan menatap wajah Aila, sedangkan gadis itu hanya diam saja. Kasihan. Satu kata yang dapat Ryan simpulkan. Gadis yang diam-diam disukainya merasa terasingkan kini.

"Ai ikut aja lah, Ka. Nggak mungkin Cuma berdua, lagian Ai juga juga butuh refreshing. Iya kan Ai?" tukas Ryan menatap Aila dengan senyuman.

Aila membalasnya dengan senyuman pula. Kemudian mengangguk, bersyukur karena Ryan menyadari keberadaan tak seperti yang lain.

"Iya, aku juga kangen sama kamu, Ka. Mungkin kita bertiga bisa ketawa bareng, jalan-jalan bareng," imbuh gadis yang masih menggunakan kacamatanya itu sambil senyuman lebar.

"Aila, kamu di rumah saja. Lihat, Ayka baru balik dari luar negeri. Biarin dia sama Ryan dulu, kamu kan udah sama Ryan terus, jangan serakah sama saudara sendiri," cerca Bundanya menyudutkan Aila.

Aila tersenyum, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Tak apa, mungkin memang benar. Ayka butuh waktu bersama Ryan.

"Iya bunda. Aku ngalah," gumam Aila dan tersenyum lagi.

Ryan tersenyum masam, kali ini dia baru menyadari bahwa senyuman gadisnya tak lebih dari senyum paksa. Dalam hatinya, Ryan sangat tidak menyukai Ayka, karena menurutnya, gadis sialan inilah sumber masalah bagi Aila.

"Lain kali aja, Tante. Aku sama Aila kan bentar lagi nerima rapot. Di rumah juga lagi ada acara lamaran kak Ariana, nggak mungkin aku dikasih ijin keluar seharian," sanggah Ryan membatalkan niat itu.

Aila diam saja, memang benar kakak Ryan sedang lamaran. Dan menurut cerita Ryan dalam dua bulan ke depan acara pernikahan kakaknya akan di laksanakan.

"Loh, kan cuma sehari, Yan. Ayka udah semangat tuh," kekeuh Ayah sahabatnya itu.

"Abis Nerima rapot kan bisa," tambah neneknya lagi.

Ryan menatap Aila sebentar, seolah meminta izin dengan kontak matanya. Gadis itutersenyum, mengkode Ryan untuk mengiyakan. Walaupun enggan, tapi jika dia menolak bisa saja Aila akan disudutkan lagi bukan? Ryan tak mau menyulitkan keadaan gadis itu.

"Ya udah kalau gitu kita pergi Sabtu aja nanti, akhir pekan pasti lebih menyenangkan,' jawab Ryan disambut dengan seruan Ayka yang merasa senang.

***

Merasa tidak ada gunanya lagi di sana, Aila melangkah dari tempat itu. Namun, baru beberapa langkah, suara dari Bundanya berhasil membuat langkahnya berhenti.

"Ayka bisa dapat nilai tertinggi di sekolahnya loh, Aila. Di angkatannya Ayka dapat peringkat pertama nilai tertinggi, dia juga mendapatkan penghargaan," papar Bundanya.

Mulai lagi, harus banget pas ada Ryan kayak gini? gumam Aila dalam hati.

"Iya Bunda, syukur kalo gitu Ayka dapat peringkat satu," balas Aila dengan senyum di ujung kalimatnya. 

"Berarti tinggal kamu. Ingat, minimal nilai kamu 90 semua. Jangan ada yang di bawah itu. Satu lagi, harus peringkat 1. Dan nilai biologi paling penting. Supaya kamu masuk fakultas kedokteran, ingat itu," tambah Neneknya dengan suara yang sangat tajam, penuh ancaman.

Ai menghela nafas. Emosinya terpancing. Kemudian menatap Nenek nya dengan kekehan malas.

"Udah lah nek. Nenek mendingan solat, dekat sama Allah SWT. umur nenek udah nggak lama lagi itu. Jangan terlalu maksain diri buat urusin," sambar Ai merasa kesal karena dari dulu neneknya sangat-sangat tidak menyukainya.

Entah apa salahnya, hingga mereka selalu mengagungkan Ayka dan merendahkan dirinya. Ryan yang mendengar itu tersenyum, sedikit senang Aila mau melawan. Tidak diam saja saat ditindas.

Hanya saya, sebuah suara yang didengar Ryan selanjutnya membuat cowok....

"Kamu! Nggak punya adap! Harusnya dari dulu kamu nggak usah lahir!" ketus Neneknya dengan tatapan tajam.

... bertanya-tanya. Bagaimana mungkin gadis mungil seperti Aila bisa bertahan di tengah-tengah monster ini?

-Bersambung ....