Chereads / Our Monday / Chapter 11 - Menahan Tawa Demi Keselamatan Nyawa

Chapter 11 - Menahan Tawa Demi Keselamatan Nyawa

Aila menggigil kedinginan. Malam ini, dirinya terpaksa 'tidur' di kamar mandi. Ya, di kamar mandi, Aila dikunci dari luar oleh Ayahnya setelah menghajarnya dengan puas hanya karena dia berani menjawab ucapan sang nenek. Wajahnya yang memar kemarin saja belum hilang, kini ditambah lagi dengan luka yang baru.

Aila tidak menangis, air matanya sudah kering rasanya. Dia hanya ingin keluar dari sini sekarang, fisiknya butuh kehangatan. Karena di sini sangat dingin, bagaimana caranya tidur dalam keadaan seperti ini? Otaknya benar-benar lelah memikirkan cara keluar.

"A-ayah, dingin ...," lirih Aila dengan menggigil hebat.

Bibirnya sudah membiru, jangan lupakan tubuhnya yang basah kuyup. Bekas tamparan pun bertambah di pipinya.

Dalam hati, Aila bertanya. Apakah dirinya adalah anak tiri? Apakah tidak ada rasa sayang padanya dari orang tuanya sedikit pun? Aila merasakan matanya memanas, tetesan air mata membahasi pipinya. Baju sekolahnya basah, sedangkan tasnya sudah di bawa oleh Ayahnya tadi, hanya ada dia seorang diri di sini.

"Ayah ...," lirih Ai.

Tangisannya semakin pilu, air mata yang mengering pun kembali luruh. Kedua orang tuanya sangat menyayangi saudara kembarnya, tapi kenapa dengan dirinya begitu tidak ada kata sayang? Suara pintu di buka dari luar membuat gadis itu segera menghapus sisa air matanya. Mungkin itu Ayah, atau Bundanya.

Namun, dugaannya salah, begitu pintu terbuka, Aila malah disambut oleh tatapan datar Ayka. Gadis itu tampak juga sehabis menangis. Hidungnya memerah, dan jangan lupakan matanya uang sedikit membengkak.

"Puas?" lirihnya pelan, menatap Aila dengan tatapan tajam. Hatinya sangat kecewa, dan juga sangat menyakitkan. Kenapa dia harus terjebak di antara saudaranya dan Ryan?

"Puas kan lo? Semua dari gue lo rebut. Bunda, Ayah, dan sekarang Ryan," cibir Ayka dengan mata memerah.

Sebentar lagi mungkin gadis itu akan menangis. Namun, Aila hanya diam saja sambil mengamati apa yang akan terjadi dan mati-matian dia berusaha menahan rasa dingin yang menusuk kulitnya.

"Gue ke luar negeri, sekolah di sana. Terpisah dari Ayah Bunda, terus lo masih kurang puas sama kasih sayang mereka? Otak lo di mana Ai?! Gue benci sama lo! Dari dulu sampai sekarang lo yang hancurin hidup gue! Dimulai dari tekanan dari Bunda yang terus menyuruh harus dapat nilai tinggi di sana! Lo pikir itu mudah di raih?! Iya?! Dan sekarang gue butuh Ryan, dan Ryan juga lo ambil!" teriak Ayka dengan kuat, menyalurkan emosi dalam hatinya.

Tak ada respon dari Aila, gadis itu hanya diam saja, ternyata bukan dirinya saja di sini yang tersakiti dan tertekan, melainkan Ayka juga. Namun, biarkan kakaknya berbicara, Aila tak mau menghalangi kali ini. Biarlah Ayka merasakan jadi orang paling di sakiti di sini. Tanpa tahu bahwa Aila lebih sakit dari dia.

"Gue sayang sama lo Aila. Jadi please, don't make me hate you, it's just a matter of love. Ya, gue tau gue kekanakan," ujar Ayka.

"Benci aja aku, Kak, gak papa. I'm oke selama kakak baik-baik saja," gumam Ai, mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar. Baginya menangis di hadapan orang sama saja dengan menunjukkan sisi lemah.

Ayka terdiam, hanya suara tangisannya terdengar.

"Mika ...," isak Ayka dan perlahan mendekati Adiknya.

Memeluknya dari samping, penyesalan timbul di hatinya. Mengapa dirinya malah menyalahkan Aila?

"Sorry, I'm sorry. I'm just thinking about my pain too," tuturnya pelan dan memeluk tubuh Aila yang basah kuyup kini mulai mengering.

Tidak ada balasan dari Aila, dia ingin membuka hati, tetapi asanya sangat sulit untuk percaya dengan orang sekitarnya sekarang. Karena baginya yang sudah pernah mempercayai mereka, hanya akan ada kesakitan yang diterima nanti.

***

"Mika... please. Jangan diam aja.  I, I know I was wrong. But, I beg you, just leave Ryan with me. I'm only here for two weeks, Mika. Bentar aja," lirih Ayka dan melepaskan pelukannya.

Aila yang tadinya diam kini menatap wajah Ayka yang sudah banjir dengan air mata. Ah, di rumah ini air mata Ayka sangat berharga, berbeda dengan air matanya hanya kesialan bagi mereka.

"You can take dad, mom, grandma and everything from me unless Ryan."

***

Pagi ini, Aila sudah berseragam lengkap. Wajahnya tampak masih memar, dan kebanyakan di area bibir. Mau tidak mau gadis terpaksa memakai masker aja, agar tidak mengundang rasa penasaran dan tanda tanya bagi orang-orang di sekolah nanti.

Aila berulang kali bersin. Badannya terasa hangat dan tidak enak. Namun, membolos sekali saja di sekolah bukanlah pilihan yang bagus. Walaupun mungkin hari ini masih sama seperti kemarin dimana hanya ada lomba-lomba antar kelas.

Tadi malam Ayka membiarkannya keluar dari sana setelah mendengar kalimat tajam dari Aila. Apakah ada sayang untuk Ayka dari Aila?

Jelas ada. Hanya saja, sangat tipis. Aila tidak tahu apakah itu bentuk rasa sayang atau hanya rasa peduli saja. Karena Aila rasa tidak ada gunanya memberikan rasa sayang kepada mereka, semua orang nantinya hanya akan mematahkan rasa sayang itu sendiri.

Aila memakai hodie miliknya, kemudian meraih tas peach miliknya dan melangkah keluar kamar. Tidak ada adegan sarapan pagi gadis itu tidak menginginkannya. Dirinya tidak ingin bersitatap dengan mereka. Rasanya bayang-bayang siksaan semalam belum hilang sepenuhnya dari benak Ai.

"Eh, good morning, Mika. Mau sekolah? Ayo sarapan dulu," ajak Ayka yang baru saja turun dari lantai dua.

Aila hanya tersenyum tipis. Namun, itu tidak dapat dilihat oleh Ayka karena ditutupi oleh masker.

"Lo kenapa make masker?" heran Ayka sambil berjalan mendekati saudara kembarnya.

Tapi Aila lebih dulu menggeleng dan pergi dari sana. Mengabaikan adalah jurus paling ampuh untuk terhindari dari sakit hati dan kekecewaan. Haruskah saudara kembarnya bertanya saat sudah tahu jawabannya, hem?

Aila berjalan cepat menuju gerbang rumah, dan benar saja. Di sana Ryan sudah stay dengan cool. Begini saja Aila sudah merasakan semangat lagi, saat melihat cowok itu Ryan seluruh beban rasanya benar-benar ringan.

"Pagi," sapa Aila dengan senyuman membuat matanya menyipit.

Sedangkan Ryan malah memperhatikan wajahnya yang ditutupi masker. Tangannya menurunkan masker itu menampilkan wajah gadisnya yang penuh memar. Di area alis juga ada, hanya saja seperti biasanya, memar itu ditutupi oleh poni Aila.

"Lo dihajar semalam sampe babak belur begini, Ai?" tanya Ryan tak habis pikir.

Sebenarnya, dari mana asal muasal otak orang tua Aila yang tega menghajar anak gadisnya hingga babak belur begini?

"Udah ah, ayo. Bentar lagi bell, kamu harus tanding di final," ajak Aila dan menutup kembali wajahnya dengan masker.

Ryan hanya mampu menghela nafas, kemudian mengangguk. Namun, saat memutar kepala menatap Ai, tak sengaja matanya menangkap Ayka sedang berdiri di pintu menatap mereka. Ryan mendesis kemudian meng-gas motornya meninggalkan area kompleks perumahan mereka.

"Gue sayang sama lo Ai. Jangan minta gue sama Ayka," gumam Ryan amat pelan.

Dia sangat berharap bahwa ucapannya barusan tak didengar oleh gadis ini. Dan setibanya di sekolah, untungnya Aila hanya diam saja di kursinya. Ryan akan bertanding sebentar lagi di babak Final. Babak dimana akan di tentukan pemenangnya, ingin hati Aila tak menonton, sayangnya Ryan terlihat memaksa.

"Ai, lo tonton gue kek! Kasih Semangat! Biar gue semangat!" teriak Ryan dari arah pintu.

Aila terkekeh geli, kemudian mengangguk. Di kelas ini tidak ada yang bicara padanya selain Ryan. Mereka menganggapnya sombong, beberapa bahkan beranggapan bahwa dia dan Ryan lebih dari kata sekedar sahabat.

"Buruan buset, lelet banget ah jadi cewek. Ayo, gue gandeng!" paksa Ryan dan menarik tangan gadis itu.

Seperti halnya yang biasa mereka lakukan, Aila mengangguk dan berjalan berdampingan bersama Ryan. Setidaknya, hari ini Ai merasa lebih baik dibandingkan hari yang lain apalagi semalam. Ryan yang selalu ada padanya, dan selalu peduli padanya.

Terlebih ungkapan sayang Ryan di atas motor tadi semakin membuat Aila tidak ingin jauh dari cowok itu. Meskipun Aila yakin bahwa Ryan pasti tak sadar kalau ucapannya tadi ... bukan dengan suara lirih.

"Yan?" panggilnya pelan.

"Ya?" sahut Ryan.

"Semangat, Ya! Kamu ganteng, hehe."

-Bersambung ....