Aila menatap tanggal di kalender kecil miliknya. Kalender yang berada di sudut ruang ponselnya. Besok lusa, Aila melingkari tanda itu, besok usianya akan berganti tahun. Tepat besok lusa pula akan menerima rapot hasil dari satu semester ini. Aila tidak berharap banyak, tidak juga mengharapkan adanya ucapan selamat dari keluarganya. Karena bagi mereka, dia adalah bagian dari keluarga yang paling bodoh.
Ujian telah selesai, dan seminggu ini hanya diadakan acara-acara lomba-lomba di sekolah. Seperti bola voly, basket, cerdas cermat, pidato, dan masih banyak lagi lainnya. Aila hanya menatap dari kejauhan, dirinya tak terbiasa mendengar bising.
Kebisingan terkadang masih membuatnya takut sampai detik ini. Karena dalam bayangannya, hanya ada monster jahat berbadan besar yang sangat suka keributan, Aila benar-benar tidak menyukainya. Jika diijinkan lebih baik ke perpustakaan lagi, Aila sangat yakin bahwa di sana begitu sepi. Hanya saja, perpustakaan malah ditutup sejak sebulan lalu, parah sekali!
"Aila!"
Aila menoleh ke arah Ryan. Cowok itu tetap berada di sisinya. Ah, tak tahan Aila untuk gak memperlihatkan senyum pada sahabatnya. Hanya Ryan yang mau menjadi temannya, sisanya? Hehe, mereka menganggapnya sebagai sumber kesialan di kelas karena selalu meminta remedial yang membuat yang lain kesal dan sebal.
Sampai detik ini pun Anika belum mau mengajaknya berbicara, teman-teman yang lainnya bahkan diam-diam sering memasukkan bangkai kecoak di tas miliknya. Ryan tak tahu dan Aila sendiri malas menceritakan hal itu. Terlebih lagi ... dia suka kecoak, karena hewan kecil itu selalu mampu menyembunyikan diri.
"Lo nggak ikut lomba kah? Padahal seru banget, Ai," tutur Ryan.
Ryan duduk di sebelahnya, dengan seragam basket yang sudah penuh dengan keringat. Aila menatapnya dari samping, sementara cowok itu malah fokus meminum air mineral yang dia bawa tadi. Ganteng, sungguh dari sisi mana pun melihatnya Ryan terlalu sempurna untuk ukuran siswa kelas 11 yang baru berumur 17 tahun.
Ketampanan Ryan sangat menyilaukan, hanya saja, Aila menatapnya bukan sebagai jawan jenis, melainkan sebagai saudara laki-laki yang selalu menjaganya. Dalam hidup ini Aila bukan tak mau menyukai lawan jenis, dia hanya ingin fokus pada diri sendiri untuk meminimalisir sakit hati.
Ah, ngomong-ngomong, mengapa Ryan tidak mencari kekasih saja? Jadi, bukannya menjawab pertanyaan Ryan mengenai keikutsertaan dalam lomba, Aila malah mengajukan sebuah pertanyaan.
"Kamu nggak ada niat nyari pacar?" tanya Aila.
Ryan yang sedang menahan air mineral itu di mulutnya hingga membuat pipinya menggembung itu pun seketika tersedak. Aila menatapnya kaget, apakah pertanyaannya itu sangat berlebihan?
"Eh, kenapa?" kaget Aila dan membantu Ryan mengelap air itu di sekitar mulutnya menggunakan tisu yang berada di kantongnya.
Ryan menggeleng, merasa lucu dengan pertanyaan Ai. Tidak biasanya gadis itu mau membahas masalah perasaan. Entah mengapa ada gadis yang sangat tak peka seperti ini, hanya saja Ryan memang tak mau merusak persahabatan yang sudah terjalin lama.
"Hm? Emangnya lo mau sama gue?" timpal Ryan begitu sudah mulai merasa enakan, dia hanya bercanda karena sudah bisa memprediksi jawaban Aila.
Gadis yang sedang mengelap di sekitar area bibir sahabatnya itu menghentikan aktivitasnya, dia lantas menurunkan tangannya dan menatap ke sekitar. Cukup banyak yang memperhatikan mereka, mengingat jam kosong dan Aila duduk di kursi panjang yang berada di koridor. Tentu saja hal itu tidak akan jadi tontonan sia-sia bagi mereka.
Aila kembali bersikap normal, menetralkan jantungnya yang tiba-tiba berdetak cepat. Ah, mengapa jadi seperti ini? Ryan hanya sebatas teman yang dianggapnya sebagai saudara laki-laki, Aila tak boleh merasakan sesuatu yang lebih dari ini.
"Ya nggak lah. Kita kan sahabat, Yan, lagian kamu sudah seperti abangku. Nggak ada ceritanya adek yang mau pacaran sama kakaknya, kamu lucu deh," balas Aila dan mengalihkan matanya ke lapangan.
"Yaudah. Lo udah tau jawabannya," singkat Ryan, dia merasa lucu karena sempat beranggapan bahwa Aila akan menanggapinya dengan sedikit serius.
Aila terdiam. Mencerna kalimat Ryan barusan, kemudian menatap wajah sahabatnya yang ternyata juga tengah menatap ke arah lapangan.
"Maksud kamu, aku gitu alasannya kenapa kamu nggak punya pacar?" tebak Aila dengan wajah mengkerut.
"Iya. Karena lo," jawabnya pelan, hembusan nafasnya menerpa wajah Aila membuat gadis itu sedikit berkedip.
Tatapan Ryan membuatnya merasa nyaman, tetapi sedetik kemudian Aila menghela nafas. Tak bisa terlalu kentara mengutarakan ekspresinya, Aila harus bersikap tenang meskipun hal itu membutuhkan usaha mati-matian.
"Aku? Hm ... jangan karena kita sahabatan jadi kamu nggak mau pacaran, Yan. Aku nggak enak gitu, kalau mau pacaran silahkan sih, siapa tahu nanti nilaimu turun," gumam Ai menatap mata Ryan lagi.
Ryan tertawa pelan, kemudian mengelus puncak kepala gadis itu. Ah, gadis itu tidak peka ternyata. Malah menganggap Ryan tidak pacaran karena status persahabatan mereka ini. Sakit sih, tapi Ryan menganggap Aila polos hingga tak menyadari keinginannya ini.
"So, lo mau gue pacaran? Emang Lo ikhlas? Sahabat lo yang paling ganteng ini pacaran sama orang lain? Dan kalau masalah nilai ... rasa-rasanya nggak akan pernah turun, Baby," kekeh Ryan, menetralkan suasana yang tadinya sedikit menegang.
Aila terdiam. Jauh di dalam hatinya dia tidak menginginkan hal itu, tapi menahan Ryan untuk tetap bersamanya dan tidak menjalin hubungan dengan siapapun juga bukan pilihan yang tepat. Kesannya Aila egois ingin memonopoli Ryan untuk dirinya sendiri.
"Gapapa lah. Aku nggak masalah. Bisa nambah teman baru juga, 'kan?" kekeh Aila menanggapinya, mencoba tertawa meskipun dalam hatinya sedikit tidak rela.
Ryan menatapnya datar, entah bagaimana cara berpikir gadis ini. Dia hanya bisa mencoba memaksakan diri untuk memahami.
"Oke. Lusa gue kenalin doi gue ke lo. Jadi, jangan kaget ntar, kalau bisa langsung akrab sih."
Seketika, Aila menyesal telah mengiyakannya tadi. Apakah candaan konyolnya benar-benar diamini oleh Ryan saat ini?
Demi menutupi rasa terkejutnya Aila tertawa geli. "Oke, eh ngomong-ngomong habis ini kamu tanding sama kelas 12, ya?"
Setelah mengalihkan topik pembicaraan, barulah Aila bisa bernapas lega. Tampaknya Ryan memang semudah itu mengalihkan pikirannya, hanya saja ... kenapa lagi dan lagi suasana hati Aila tak tenang? Meskipun kehangatan menyelimuti, tapi Aila merasa bahwa akan ada badai yang datang setelah ini.
"Ai, aku mau tanding. Duluan ya, ngomong-ngomong lo jangan pulang dulu. Awas saja kalau pulang duluan, gue gibeng!" seru Ryan.
Berkat ulahnya itu Aila kembali menjadi pusat perhatian. Risih rasanya, tapi baru saja dia membuat Ryan menatapnya kesal. Jadi, mana mungkin kali ini Aila tak mendukungnya tanding?
"Iya-iya aku di sini, semangat, Ryan!"
-Bersambung ....