Aila menatap orang-orang yang berlalu lalang dalam diam. Siang ini, dia menunggu Ryan di taman dekat sekolah. Entahlah, Ryan mengajaknya bertemu. Padahal cowok itu sedang ujian, dan Aila sendiri sudah selesai ujian. Kini dia mengurai rambutnya dan menutup luka dengan poni, untungnya rambut ini lebat hingga tak ada yang sadar dengan luka sialan ini.
Meskipun aku yakin ini akan membekas nantinya, kekeh Aila sendu.
"Ai!"
Gadis itu menoleh ke belakang, menatap ke arah di mana Ryan berada. Cowok itu berlari kecil menuju ke arahnya, membuat gadis itu tersenyum simpul. Ah, Aila tidak tahu bagaimana nasibnya bila tidak bertemu dengan Ryan. Rasanya sangat tidak mungkin.
"Hm," sahutnya dan tersenyum simpul.
Ryan yang baru saja melihat wajah Aila seketika terdiam. Wajah gadis itu banyak memar, meskipun ditutupi dengan poni juga bedak yang lumayan tebal, tetapi masih bisa terlihat jelas di mata Ryan. Dia bisa menebak apa yang terjadi saat melihat poni dan bando berwarna merah, mau menutupi darah, hem?
"Lo belajar jadi jamet?"
Aila diam saja dan menatap manusia yang berlalu lalang di taman itu. Cukup diam saja adalah jurus ampuhnya selama ini.
"Astaga. Baru pertama kali gue liat lo make bando sialan ini. Lepas! Jelek anjir," cibir Ryan mulai mencoba melepaskan bando itu. Tapi Aila lebih dulu mengelak membuat Ryan heran.
"Gerah Yan. Makanya aku pake, lagipula kalau nggak pakai bando aku gak punya poni," alibi Aila.
Dia hanya tak mau Ryan semakin khawatir padanya. Lukanya sudah Aila obati sendiri, pasti akan sembuh nantinya. Namun, Aila tak akan menunjukkan bekas pecahan gelas kaca itu saat ini karena masih jelas dan basah.
"Belum lagi bedak lo kayak dempul. Astaghfirullah Ai! Sumpah, lo mau jadi jamet juga belajar dulu!" hardik Ryan.
Ryan memijat keningnya, karena sangat kontras bedak itu dengan kulit Aila. Terlihat tebal di beberapa bagian, membuat Ryan semakin curiga saat ini. Namun, bukan Ryan namanya kalau langsung mengajukan pertanyaan, lebih baik membuat Aila mengatakannya lebih dulu.
"Aku lagi coba-coba buat belajar make up, Yan. Jadi, ngertilah kalo masih amburadul kayak gini, hehe," kekeh Aila dan tertawa garing.
"Ai," panggil Ryan pelan.
Aila menatapnya dengan wajah yang menggemaskan, Ryan tersenyum penuh makna padanya. Tidak sia-sia dirinya yang mencoba ngebut untuk mengerjakan ujiannya, dan bisa bertemu dengan gadis seperti ini.
"Lo gendut."
Ryan mencubit pipi Aila, sengaja sedikit keras agar bedak itu hilang.
"Aw!"
Ringisan gadis itu tiba-tiba semakin membuat Ryan yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan gadis itu. Tidak mungkin kan karena Ryan mencubitnya, 'kan? Begitu melepaskan tangannya dari permukaan pipi sang gadis, kini terpampang lah pipinya yang memar. Sangat kontras dengan warna kulitnya.
"Lo kenapa? Orang tua lo ringan tangan lagi?"
Aila menatap Ryan tidak suka. Kemudian menggeram kesal. Tidak, dia tidak marah pada Ryan, melainkan kesal pada Ayahnya yang membuat wajahnya seperti ini. Aila tak mau menyusahkan Ryan, lebih lagi dia cukup malu hari ini lantaran bertemu dengan adik kelas yang disindir olehnya kemarin.
Padahal dia menyindir gadis itu. Namun, lihat apa yang sedang Aila lakukan? Dia yakin penampilannya seribu kali lebih parah.
"Nggak kok, Yan," sahut Aila pelan, berharap Ryan yakin dengan kata-katanya.
"Kalo bukan orang tua lo siapa lagi ha? Udah lah, Jujur aja! Gue selama ini masih biarin lo iya-iya aja, tapi bukan berarti gue biarin lo diginiin sama mereka. Astaga, otak mereka terbuat dari apa sih. Mereka manusia apa psikopat, sialan!" umpat Ryan, merasa kesal. Tidak takut bahwa Aila bisa saja akan membencinya karena menghujat orang tuanya langsung di hadapannya.
"Yan ...."
Ryan menatap Aila, kini pandangannya jatuh ke bando warna-warni itu. Dengan cepat Ryan menariknya membuat bando itu terlepas dan rambut gadis sedikit acak-acakan. Kini matanya diguguhkan oleh pemandangan pelipis yang di perban putih. Jadi fungsi bando itu untuk menutupi perban itu?
"Apa?! Itu apa lagi Ai?! Dipukul?! Di lempar?! Tendang?! Otak lo kemana sih?! Gue tau lo itu sabar, penyayang! Tapi bukan berarti lo sabar digituin sama mereka! Mereka orang tua apa iblis sih! Gedeg gue! Lo juga, sama aja!" amuk Ryan.
Tapi bukannya tersakiti, Aila malah berusaha untuk tertawa kecil. Meresapi hatinya yang semakin sakit. Ingin menangis, meratapi nasibnya yang jauh dari kata baik. Bukan hanya fisik, tapi mentalnya juga ikut down saat ini. Dan Ryan masih bisa mengatakan bahwa dia itu sama saja dengan mereka?
"Lo nggak tau apa-apa, Yan. Please, kali ini diem aja," gumam Aila pelan. Pertama kali menggunakan Gue-lo, karena biasanya Ai tidak pernah menggunakan kata itu.
"Iya! Gue nggak tau! Nggak tau kalo lo bodoh! Jauh dari kata pintar! Dan bodohnya, lo iya aja sama mereka! Gue benci sama sikap sok baik lo ini Aila! Kalo Lo nggak kuat ya bilang! Jangan sok kuat di sini!" ketus Ryan mulai marah.
Aila melunturkan senyumannya dan kini diam saja, membiarkan Ryan emosi. Dirinya juga punya emosi, punya amarah, hanya saja Aila tidak mau mengeluarkan itu karena hanya akan memperumit permasalahan aja.
"Lo mau mati konyol di tangan mereka?! Lo bodoh atau terlalu baik atau penyayang gue juga nggak tau!"
Aila tetap saja diam. Memang benar, dirinya tidak pernah memiliki keberanian saat di depan orang tuanya. Namun, dia akan menyerah di waktu yang pas nantinya.
"Ada waktunya, Yan. Tapi bukan sekarang, aku masih kuat buat bertahan."
Andai tahu begini mereka lebih baik tak usah bertemu. Setidaknya Aila tak merasa sungkan karena telah menyusahkan Ryan.
***
Aila kembali ke rumah, matanya bengkak, habis menangis. Entahlah, dia rasa tidak ada gunanya menangis. Karena menangis akan memperlihatkan bahwa kita itu lemah. Karena itu dia selalu berusaha untuk menangis diam-diam, tak perlu diketahui semua orang.
"Dari mana saja kamu ha?!"
Dia menatap ke arah samping, di mana Bundanya berdiri. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba pandangannya mengabur, dan Bundanya berubah jadi monster bertubuh besar. Sangat menakutkan. Iblis dengan mulut tajamnya.
Aila mundur, merasa sangat takut dengan Bundanya. Halusinasinya semakin jelas, membuatnya tidak bisa membedakan mana orang tuanya dan mana halusinasi nya.
"Ai!"
Aila menoleh ke samping kiri, di mana Ayahnya berada. Tapi di matanya, sosok itu bukan ayahnya, melainkan pria bertubuh besar yang membawa cambuk di tangannya.
Gadis itu menggeleng ketakutan. Bayangan dirinya yang terus disiksa beberapa tahun terakhir ini, serta kata-kata makian yang keluar dari bibir keluarganya mulai semakin mencuat ke permukaan.
"No! Jangan dekati aku! Kalian jahat! "
Aila berteriak kuat, merasa sangat takut sekarang.
"Ai! Kamu apa-apaan ha?! Mau melawan lagi?!" pekik sang Bunda berjalan mendekat.
Aila terus berjalan mundur, menghindari Bundanya yang terus mendekat. Berjarak beberapa meter lagi, dia berlari kuat meninggalkan kedua orang tuanya yang heran. Dan Aila sendiri menutup pintu kamarnya rapat, berharap agar dua monster jahat itu tidak masuk.
Dan semua itu hanya ada pada delusinya. Di dalam kamar, Aila duduk di belakang pintunya, dengan tangan dan tubuh yang bergetar hebat. Gadis itu menggeleng, dirinya tidak boleh takut. Cara ampuhnya adalah menghubungi Ryan, maka dirinya pasti akan selamat. Namun, baru saja akan menelepon Ryan, suara gedoran dari luar membuatnya kaget hingga gawai-nya jatuh ke lantai.
"Ai! Buka pintunya! Jangan buat Bunda marah Ai!"
Tidak!!! Apa yang harus dilakukannya saat monster itu semakin dekat?!
"Yan ... aku takut."
-Bersambung ....