Chereads / Our Monday / Chapter 5 - Curiganya sang Guru pada Muridnya

Chapter 5 - Curiganya sang Guru pada Muridnya

"Selamat pagi."

Sapaan dari wali kelasnya membuat Aila menunduk. Dirinya tidak berada di kelas, justru kini sedang di ruangan BK. Sejak beberapa menit lalu, Bundanya dan Mamanya Anika, sudah menunggu di ruangan ini. Sang wali kelas sedang terlambat membuat mereka terpaksa menunggu beberapa menit.

"Pagi," sahut Bundanya dengan sedikit senyum. Jelas terlihat di wajahnya bahwa dirinya kelas keberatan dengan panggilan wali murid ini.

"Jadi, sudah bisa kita mulai Ibu-ibu?"

Aila hanya mampu menunduk. Suara itu dari guru konseling mereka. Di sebelahnya, ada Anika dengan beberapa memar di wajahnya hasil karya Aila tentunya. Anggap saja itu pelampiasan emosi yang tertahan di hatinya beberapa tahun ini hasil perangai dari orang tuanya.

"Jadi, Ibu-ibu, anak didik kita, Mikaila dan Anika, terlibat perkelahian kemarin. Entah apa pemicunya, Mikaila yang saya kenal itu murid pendiam bisa marah seperti kemarin. Ini saya dengar dari aduan murid-murid yang lain ya Bu." Papar Bu Laila, wali kelas Anika dan Aila.

"Nah, saya sudah mencari tahu titik permasalahan mereka. Ternyata, permasalahan mereka ini sudah terjadi beberapa hari lalu. Murid yang saya tanyakan menceritakan secara detil permasalahan mereka."

Aila menatap takut ke arah Bundanya yang terlihat diam menyimak dengan wajah angkuh.

"Ternyata permasalahan mereka ini berawal dari ulangan biologi. Aila mendapatkan nilai 85, dan mendapatkan peringkat ketiga tertinggi di kelas. Sedangkan nilai Anika pas di KKM sehingga harus ikut juga remedial. Nah, harusnya remedial itu dilaksanakan Minggu depan, tapi Mikaila memaksa ingin remedial dilakukan hari itu juga. Hal itu membuat siswa yang lain tidak terima dan mengeroyok Mikaila saat jam istirahat di hari berikutnya," jelas Bu Laila, lagi.

"Nggak Bu. Aku nggak ada ngeroyok Aila tuh. Aku Cuma tanyain bagus-bagus, tapi cara dia jawabnya buat anak sekelas emosi. Egois Bu! 85 belum cukup nilainya? Harusnya dia nggak usah di kelas kami, sangat meresahkan buat kami, Bu! Selalu harus mendapatkan nilai tertinggi di kelas tapi nggak bersyukur, sombong!" potong Anika merasa jengkel kepada Aila.

Tidak ada bantahan dari mulut gadis berkacamata minus itu, dia hanya diam mendengarkan apa yang dia dengar.

"Anika, jangan potong dulu," tutur Bu Laila sedikit merasa kesal dengan Anika yang langsung nyerocos seolah tidak memiliki sopan santun.

"Saya juga mendengar pengaduan dari beberapa murid. Katanya Mikaila tidak pernah puas dengan hasilnya, kalau tidak mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Jadi, buat Ibu selaku orang tuanya Mikaila, saya ingin mengajukan pertanyaan," lanjut Bu Laila.

Kini Aila mendongak dan menatap wajah wali kelasnya itu was-was.

"Apakah Anda menuntut Mikaila untuk jadi nomor tertinggi di kelas? Tidak mungkin seorang murid terus mendesak guru untuk remedial bila nilainya di bawah 90. Saya menanyakan ini untuk kenyamanan bersama," papar Bu Laila lagi kini menatap Bundanya..

"Nggak ada, Bu. Aku sendiri yang mau," potong Aila cepat, dari pada membuat masalah untuknya nanti.

"Mikaila, tolong diam, saya bertanya pada Ibumu, bukan kamu," tegas wali kelasnya itu.

"Maaf Bu, saya tidak pernah menuntut putri saya untuk mendapatkan nilai tertinggi. Apakah karena putri saya ingin nilai tinggi maka itu dapat disimpulkan itu dari tekanan saya?" tanya Bundanya memutarbalikkan kalimat.

Aila menghela nafas. Kemudian menatap ke arah jendela, di sana, Ryan berdiri dan menatapnya sambil tersenyum.

"Maaf bila saya menyinggung Anda. Saya sudah 21 tahun jadi guru, jelas tahu bagaimana gerak-gerik seorang siswa. Saya baru kali ini menemukan siswa yang terus ingin remedial bila nilainya di bawah 90. Apakah itu tidak jadi pertanyaan untuk saya?" timpal Bu Laila.

"Sudah-sudah. Jadi intinya, kita di sini hanya perlu untuk membimbing mereka ke depannya lebih baik," lerai Guru konselingnya.

"Maaf, tapi putri saya mengalami cedera karena tindakan kekasaran dari putri ibu ini. Saya selaku orang tua Anika tidak terima dengan kekerasan itu," ujar ibu Anika yang sedari tadi diam menyimak.

"Hey! Putri Anda yang bodoh! Bukankah karena bodoh makanya marah saat diadakan remedial? Putri saya sudah melakukan hal benar dengan membabat virus kelas seperti putri Anda," ketua Bunda Aila yang memperkeruh suasana.

Aila menghela nafas kemudian menatap orang tua di sana.

"Sudah Ibu-ibu. Jadi, panggilan ini merupakan panggilan pertama Aila dan panggilan kedua buat Anika. Saya harap ke depannya tak ada peristiwa seperti ini lagi," tutur Guru konseling dengan nada frustasi. Bagaimana mungkin anaknya tidak gelud, tapi orang tuanya sudah siap-siap mau gelud?

"Aila, saya benar-benar berharap bahwa ke depannya kamu lebih bisa menahan emosi lagi. Yang kamu lakukan ini adalah tindakan kasar, jadi jelas kamu yang akan salah di bawa ke hukum manapun."

"Dan buat kamu Anika, jangan memancing keributan di kelas. Beberapa temanku mengadukan kepada saya kalo kamu itu merasa bossy di kelas. Tidak ada istilah Boss di kelas, semuanya sama."

Gadis yang memang sejatinya pendiam itu hanya mengangguk kecil, semua ucapan guru konseling barusan dicerna baik-baik olehnya. Aila berjanji, tak akan membuat masalah lagi. Dengan begitu setidaknya rambut di kepalanya tak akan habis. Namun, ketakutan yang sempat hilang muncul kembali kala ....

"Dan untuk Ibu, orang tua dari Mikaila. Saya ingin berbicara 4 mata dengan Anda. Saya tunggu di kantor guru."

Aila merasakan jantungnya berdetak cepat. Tanda bahaya dalam otaknya tiba-tiba menyala, harus berbuat apa dia saat sampai di rumah tadi?

***

Gadis setinggi 158 cm itu berusaha untuk fokus ke materi yang dijelaskan oleh guru PKN yang berdiri di depan sana. Guru berkacamata tebal itu tampak menjelaskan tentang materi yang akan masuk untuk ujian kenaikan kelas nanti.

Namun, tetap saja, Aila tidak bisa fokus terhadap materi itu. Mau tidak mau, dia menghela napas berkali-kali. Pikirannya terus berkelana ke Bundanya yang mungkin masih di kantor guru berbicara dengan Bu Laila atau mungkin sudah pulang.

"Lo kenapa dah? Cacingan?"

Aila menoleh ke arah Ryan yang tampak juga terlihat bosan dengan materi yang berada di depan sana. Tak mau membuat temannya khawatir, dia menggeleng kecil, kemudian fokus terhadap materi itu.

"Permisi Bu."

Suara seorang siswa menghentikan Bu Uni yang sedang menjelaskan materi.

"Ya ada apa?"

"Mikaila dipanggil sama Bu Laila, Bu. Disuruh ke kantor guru," jelas siswa itu.

Hal itu membuat siswa-siswi satu kelas menatapnya heran. Begitu juga dengan Ryan.

"Oh begitu, ya sudah Mikaila silahkan keluar, jumpai Bu Laila."

Aila mengangguk dan segera  beranjak. Dia tak lupa menundukkan kepalanya sedikit dan keluar dari kelas itu. Gadis itu mengikuti langkah siswa tadi yang membawanya ke ruang guru. Tak lupa mengucapkan terimakasih, selepasnya segera masuk ke ruang guru, lagi.

"Ada apa, Bu?"

Bu Laila yang tadinya sedang memainkan gadget miliknya menatap muridnya itu.

"Duduk dulu baru bertanya, Mikaila."

Aila pun mengangguk dan duduk di hadapan wali kelasnya yang selalu baik padanya itu. Satu-satunya guru yang tak pernah membuatnya ketakutan, orang dewasa yang berhasil membuat Aila merasa nyaman.

"Aila, ibu mohon untuk kali ini saja kamu mau berkata jujur dan terbuka kepada. Anggap ibu ini sebagai Ibumu sendiri."

Aila menatap wajah tua wali kelasnya itu. Jelas sudah tahu kemana arah dan tujuan perbincangan ini. Hanya saja, meskipun nyaman bukan berarti dia bisa menceritakan keburukan orang tuanya.

"Saya bukan guru baru, Mikaila. Saya sudah mengenal banyak karakter siswa-siswi di sekolah ini. Dan tentu nya kamu bukan lain dan asing lagi. Saya memanggil kamu ke sini, menanyakan perihal kejadian tadi. Kamu ... ditekan di rumah untuk mendapatkan nilai sempurna?"

Aila yang sudah menebak pertanyaannya akan seperti ini pun langsung menggeleng. Sebenci apapun itu Aila akan tetap mempertahankan kehormatan kedua orang tuanya.

"Nggak, Bu. Aku juga pengen nilai sempurna biar nanti masuk jalur undangan. Jadi siswa eligible itu nggak mudah makanya saya berusaha mati-matian," papar Aila.

Helaan nafas keluar dari bibir Bu Laila. "Jujur saja, Nak. Kamu nggak mungkin seambis itu, kalo bukan ditekan oleh seseorang. Saya sudah 21 tahun jadi guru, kelas sudah tahu banyak karakter murid."

Kini Mikaila tercenung. Sungguh, dirinya juga merasa tidak enak kepada wali kelasnya.

"Nggak, Bu, saya tidak seperti yang lainnya. Jujur saja, secara pribadi mendapatkan nilai terbaik merupakan kepuasan untuk diri sendiri," tegas Aila.

"Aila ... anggap saya Ibumu. Saya pasti membantu kamu. Apa tadi? Jalur undangan? Saya bakalan bantu kamu supaya bisa menjadi salah satu untuk siswa yang masuk jalur undangan. Tapi kamu nggak boleh se-egois itu, Nak. Teman-teman kamu merasa nggak nyaman. 85 itu sudah nilai yang tinggi. Nggak mungkin kamu nggak puas sama hasil sendiri kalo bukan ada tekanan dari lain arah," tutur sang wali kelas yang terdengar sangat lembut.

Aila terdiam, ingin rasanya menceritakan segalanya kepada wali kelasnya ini, tapi lidahnya terasa kelu untuk di gerakkan dan menceritakan segala keluh kesahnya.

"Nggak Bu. Wajar aku ambis, aku pengen masuk ke fakultas kedokteran di luar negeri," jelas Aila, pada akhirnya dia tetap menomorsatukan orang tuanya. Baginya, yang mendukungnya di saat susah nanti adalah orang tuanya, bukan wali kelasnya ini.

"Aku permisi, Bu. Bu Uni lagi bahas materi buat ujian kenaikan kelas nanti."

Aila segera berdiri dan meninggalkan Bu Laila dengan pertanyaan besarnya. Masih menjadi teka-teki baginya keambisan seorang anak muridnya.

-Bersambung ....