"Ayo pulang, Yan. Udah jam 4," desak Aila terus memaksa Ryan untuk pulang.
Seolah tidak ada yang berbicara, Ryan terus menarik tangan sahabatnya menuju ke rumah pohon yang berada di beberapa meter dari tempat mereka berada.
"Elah lo mah gitu mulu, kali ini ikut aja pokoknyat. Masih jam 4, aman lah, lagian kita udah lama nggak ke rumah pohon loh. Udah dua Mingguan lebih mungkin," sahut Ryan terus memaksa Aila.
Dengan pasrah, gadis pendek itu akhirnya mengikuti langkah Ryan menuju rumah pohon mereka. Rumah yang sudah berumur 1 tahun itu masih terlihat indah. Ah, jangan lupakan, Ryan yang merancang itu dan menyuruh kedua orang tuanya yang membuat rumah pohon itu dengan menyewa tukang bangunan.
Memang benar, sudah dua Minggu mereka tidak ke rumah pohon itu, atau mungkin lebih. Tapi, melanggar waktu pulang sekolah juga bukan pilihan yang tepat. Mereka pulang jam 15.30, dan sekarang sudah menunjukkan pukul 16.00. Lebih lagi tadi pagi Aila sudah membuat masalah. Hanya saja, dengan Ryan rasanya tak apa.
"30 menit aja ya, Yan. Aku nanti kena omel di rumah kalau pulang telat banget," bujuk Aila mengikuti langkah Ryan.
Di hadapannya, kini hamparan danau berukuran kecil terlihat. Danau buatan yang mungkin sudah berumur tahunan, yang dulunya adalah tempat wisata. Namun, kini sudah tidak terjamah oleh tangan manusia, membuat danau itu tidak terurus, meskipun begitu dia masih merasa sangat nyaman di sini.
"Ayo buruan sini, Ai. Nanti aja pikirkan kapan mo pulang," tukas Ryan.
Aila mengangguk dan naik ke tangga menuju rumah pohon itu. Ryan segera mengeluarkan kunci rumah pohon itu dan membuka pintunya. Ah, Aila sangat merindukan rumah pohon ini. Rumah yang dalam artian sebenarnya untuk Aila.
"Nah, cepat masuk," suruh Ryan membiarkan gadisnya masuk duluan. Tentu saja Aila tersenyum dan meletakkan tasnya. Bajunya saja masih seragam sekolah.
"Ah, kalau tau gini tadi kita harusnya bawa cemilan," kekeh Aila dan membuka tasnya. Mengeluarkan buku sketsa miliknya, sebuah buku yang menjadi saksi untuknya jika menjadi arsitek terkenal nanti.
"Mau gambar lagi?" tebak Ryan dan duduk di sebelah Aila. Gadis itu pun mengangguk kecil dan mulai menggores buku sketsa itu.
"Lo mau jadi Arsitek apa pelukis sih? Itu gambar figura, bukan bangunan, Nak," cetus Ryan memperhatikan Aila yang masih menggores kertas hitam itu.
"Entah. Aku mau keduanya. Intinya, buat aku itu gambar ini bagian dari hidup. Arsitek itu impian terbesarku, Ryan," jelas Aila melanjutkan acara menggores kertas itu. Sketsanya sudah terlihat, tampak sebuah sketsa rumah tanpa penggaris, dan beberapa pohon di sebelahnya. Rumah itu bertingkat, masih garis halus belum ditebalkan.
Ryan tersenyum kecil melihat itu, tangan Aila sangat handal dalam hal gambar-menggambar. Tanpa penggaris bisa menggambarkan rumah bagus berlantai dua. Andai Ryan memiliki satu kesempatan untuk menyelematkan gadis dari kehidupan cekamnya.
"Usaha aja Ai. Gue yakin lo pasti bisa. Buktiin, ke mereka kalo Arsitek itu juga keren. Gue yakin lo bisa. Seorang Ai nggak mungkin nyerah. Gue di sini dukung lo terus," tutur Ryan sambil mengelus puncak kepala Aila.
Rasa nyaman dan terlindungi masuk ke rongga hati gadis manis itu. Bahkan Aila merasakan ini hanya saat bersama Ryan, bila bersama orang tuanya, rasa takut dan was-was yang dirasakan olehnya.
"Yan ...." lirih Aila.
Gadis itu menghentikan kegiatannya menggambar sketsa di buku kertas hitam itu. Buku satu-satunya yang bertahan dari situasi pembakaran kemarin. Untung saja Aila menyimpannya di dalam laci meja belajarnya, yang kuncinya disimpan rapi di tas.
"Makasih banyak. Udah terus suport aku ...."
Ailq tersenyum kecil menatap Ryan. Matanya sudah berkaca-kaca, rasanya sangat terharu.
"Dih! Jelek lo kalo nangis. Senyum baru cakep," cibir Ryan.
Aila tertawa kecil mendengar itu, kemudian mengangguk kecil. Perasaannya sudah merasa lebih baik sekarang. Dia menutup buku sketsanya. Melirik jam yang sudah berjalan 30 menit tanpa terasa, mungkin karena saat ini dia sedang bersama dengan Ryan.
"Jam setengah lima, Yan," gumam Aila. "Ayo pulang."
Ryan melirik jam nya. Kemudian mengangguk, tahu bahwa Aila sangat dikekang. Dan bisa keluar saat waktu libur saja, itu pun hanya beberapa jam. Ryan menatap Aila yang memasukkan bukunya ke dalam tas dan beranjak dari sana. Sahabatnya itu melangkah turun dari rumah pohon itu dan berdiri di dekat pohon besar itu menunggunya turun.
"Ayo," ajak Aila langsung dan hendak berjalan. Namun, Ryan menghentikan langkah Aila dengan menahan lengannya.
"Bentar," tahan Ryan dan mendekati pohon besar itu.
Bibirnya menukik ke bawah tersenyum tipis. Tangannya mengeluarkan pisau kecil dari kantongnya, pisau serba guna yang selalu Ryan bawa ke mana-mana. Berguna untuk mengupas buah buat Aila, atau kadang untuk merauti pensil sahabatnyai.
"Kamu ngapain, Yan?" tanya Aila mendekati Ryan. Cowok itu tampak menggores bagian dari pohon itu dan mulai menggambar sesuatu.
Aila mengernyit, apakah ini akan memakan waktu lebih lama lagi?
"Bentar. 10 menitan ya, nggak lama kok, janji deh, Baby!"
Ryan meminta waktu sedikit lebih lama. Aila hanya diam dan mengangguk. Sedikit malas memang untuk kembali ke rumah, tapi, kalau menundanya lagi maka tindakan kasar dari sang Ayah akan menantinya. 15 menit berlalu, Aila menatap tangan Ryan yang kini sudah tampak selesai menggores pohon itu.
Mikaila Alexandra Amzhari.
"Nah, selesai," ucap cowok itu riang sambil menatap hasil karya tangannya yang mengukir nama Aila di pohon itu.
Aila tersenyum kecil menatap itu, kemudian mengurai tawanya. "Keren," pujinya.
Ryan tersenyum pede, kemudian mengangguk. "Wajar lah. Tangan gue itu."
Aila menyentuh pohon berukir namanya itu, kemudian merasa sedikit terhibur. Hari ini, dia merasakan bahagia dan terhibur dari tingkah Ryan. Ada saja yang selalu Ryan tahu cara menghiburnya.
"Makasih banyak, Yan."
***
Aila membuka pintu rumahnya, dengan jantung yang sudah berdegup cepat. Rasanya cukup menakutkan seolah yang dia datangi adalah pengadilan yang akan mengadilinya dengan kesalahan yang fatal.
Gadis mungil itu mengendap-endap ke arah kamarnya, tetapi baru berada di dekat tangga, deheman keras dari Sang Bunda membuatnya mematung.
"Kamu dari mana aja, Mikaila?"
Aila menghentikan langkahnya. Ini sudah menujunya pukul 17.25. Sangat jauh terlambat dari waktu pulangnya.
"Aku ... abis belajar sama Ryan Bunda," jawabnya pelan, berharap sang Bunda percaya. Untuk pertama kalinya gadis itu berbohong kepada Bundanya, melindungi diri sendiri itu tidak berdosa.
"Belajar apa aja?"
Sahabat Ryan itu menggigit bibirnya, kemudian tersenyum kecil. "Aku punya masalah di beberapa catatan biologi sama Matematika, Bunda. Jadi, aku tadi belajar sama Ryan di rumah dia. Maaf terlambat pulang."
"Oh gitu, bagus deh, sana kamu mandi, setelah mandi nanti makan malam. Bunda mau menanyakan sesuatu sama kamu," tutur sang bunda.
Aila menatap Bundanya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin? Apakah bundanya percaya? Astaga, dia merasa senang. Apakah ini adalah salah satu jalan untuknya melindungi diri dengan berbohong?
"Iya Bunda," sahut Aila dan menunduk.
"Aila, satu lagi. Itu bajunya jangan lupa digantung, biar besok nggak bau keringat."
Aila mengangguk cepat, kemudian melangkah menuju kamarnya. Merasa lega sekaligus tenang. Yang dikhawatirkannya sekali lagi adalah, apa yang Bundanya ingin tanyakan? Tidak sesuatu yang berujung meninggalkan bekas di pipinya bukan?
-Bersambung ....