Aila menatap sendu abu di depannya itu. Abu dari buku-buku mengenai Arsitektur yang dia beli beberapa bulan yang lalu. Buku yang memberikannya banyak ilmu, bahkan menopangnya untuk tetap kuat memperjuangkan cita-citanya.
Matanya sudah bengkak, tidak ada air mata lagi. Banyak kesakitan yang tidak bisa Aila ungkapkan secara lisan. Cukup dia saja yang tahu dan memendamnya sendirian.
Buku itu, dibakar oleh sang Ayah beberapa menit lalu. Apinya yang tadinya besar kini disiram olehnya hingga perlahan sirna meski sama sekali tak ada guna. Karena dia sudah sangat terlambat, 80 persen dari buku-buku itu sudah hangus dilahap api.
Aila mendekat, menyentuh buku-bukunya yang sudah hampir hangus. Dia mulai memungut bagian buku yang tidak terbakar, mungkin akan mengeringkannya agar bisa disimpan lagi. Itupun jika itu bisa, entah benar-benar akan terlaksana atau tidak urusan belakang untuknya.
Aila akan menyimpannya, setidaknya untuk menyimpan kenangan perjuangannya membeli buku-buku itu. Usai memungutnya, gadis itu berjalan pelan menuju kamarnya. Mungkin dia butuh satu box tempat barang-barang berharga miliknya agar terhindar dari hukuman ayahnya.
"Aila!"
Dia diam, tidak mau mendengarkan apapun sekarang. Hatinya cukup sakit, apakah cita-citanya terlalu kecil di mata orang tuanya? Baginya itu sudah besar. Kapasitas otaknya tidak dapat menampung banyak pelajaran, karena baginya, biologi adalah satu mata pelajaran paling susah karena kata 'aku suka' tak cukup membantunya.
"Ai! Kamu dengar bunda?!"
Tidak ada sahutan darinya. Di pelukan Aila saat ini ada kepingan buku-buku yang sudah terbakar sebagian. Aila menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Dirinya butuh ketenangan dan kesunyian. Karena sepilah yang menjadi teman dan sahabatnya kala sedang bersedih.
Tumpukan makian dan hujatan dari orang tua serta keluarga besarnya terus memenuhi pikiran. Satu pertanyaan yang ingin Aila tanyakan pada keluarga besarnya.
"Apakah patokan kesuksesan itu dilihat dari hasil orang lain? Aku tak tahu bagaimana pola pikir kalian semua, tapi jujur saja ini benar-benar menyakitkan sampai aku merasa tak lagi sanggup bertahan," gumam Aila.
Orang lain memang bisa sukses dengan memaksa tapi ... semua itu dimulai dari diri sendiri. Dan hari ini, kembali ditegaskan kedua orang tuanya bahwa dia hanya boleh memasuki di FK, bukan Arsitektur.
"Kalian semua benar-benar jahat" kekeh Aila sambil menahan isaknya.
Sampai kapan dia harus seperti ini? Andai saja negeri dongeng mungkin akan ada seorang pangeran yang datang dan mengulurkan tangan. Ah, betapa bodohnya Aila yang berharap pada sesuatu yang semu seperti itu.
***
Plak!
"Aila!"
Aila hanya diam saja dengan kelapa menunduk. Rasa panas dan sakit menjalar di pipinya. Tamparan ini bukan tamparan biasa, sangat perih rasanya hingga dia hanya bisa tertawa mengejek dalam hati saat ini.
"Apa lagi ini, hah?! Berantem sama teman dan membuat kekacauan di kelas? Cih, kalau sudah bodoh setidaknya jangan membuat masalah!"
Lagi, suara menggelegar sang Ayah memenuhi ruangan. Bila kalian bertanya apa pekerjaan Ayah Aila, maka jawabannya tidak ada. Karena, saudara-saudaranya yang memberikan uang kepada mereka, hal itu semakin membuat mereka menekannya untuk menjadi dokter.
"Maafkan aku, Ayah," lirihnya dengan kepala menunduk karena tak ingin menambah masalah.
Beberapa jam lalu, Aila dikeroyok rame-rame oleh geng Anika seperti biasanya. Entah apa salahnya, membuat mereka begitu tidak menyukai gadis pendiam itu. Dia awalnya diam saja, dan sialnya Ryan hari ini tidak masuk kelas karena harus mengikuti pertandingan basket. Dan, terpaksa Aila menghadapinya sendirian.
Akhirnya, karena tidak tahan dipojokan, dia pun melawan. Melakukan kekerasan pada Anika sebagaimana yang sering dilakukan orang tuanya padanya. Bukankah mereka sendiri yang mengajarkan untuk seperti ini?
Kenapa sekarang ia justru dimarahi karena membuat kesalahan yang begitu sepele? Aila menjerit saat sang Ayah tiba-tiba menarik rambutnya dengan begitu kencang. Ah, sekarang dia benar-benar ingin mati saja.
***
Gelap. 1 kata mendeskripsikan ruangan kamar miliknya. Tidak ada cahaya dari dalam kamar. Hanya ada penerangan dari luar, yang mungkin lampu tetangga. Jendela kamarnya masih terbuka. Gadis itu duduk memojok di sudut kamar. Menangisi kekecewaan yang semakin menganga lebar di hatinya.
Bagaimana mungkin hanya dia yang mendapatkan penderitaan seperti ini?
Aila akui, dirinya memang mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Hanya saja, mereka pemikirannya terlalu kolot menurutnya. Selalu saja sama, setiap saat untuk mereka patokan kesuksesannya hanya lingkungan sepupu saja.
"Aku nggak mau," lirihnya.
"Kapan Bunda ngerti kalau aku juga pengen hidup seperti kemauan sendiri?" tanyanya pada kegelapan kamar ini.
Sejak SD, harusnya dia sadar, bahwa dirinya selalu di sudutkan dan direndahkan. Ael, selaku Abang pertamanya selalu mendapatkan rangking 1 paralel. Sementara Adrian, Abang keduanya selalu menduduki rangking 1 di kelas, dan terakhir saat masih kuliah dulu, abangnya itu meraih nomor 1 nilai tertinggi di jurusan kedokteran saat wisuda.
Bangga? Jelas saja Aila sangat bangga dengan mereka.
Tapi bukan berarti dirinya juga di paksa untuk sama seperti mereka. Dan terakhir, Ayka. Alias Milayka Alexandra Amzhari, kakak kembarnya. Gadis yang memiliki otak pintar, dan sangat cepat menghitung. Selalu menduduki rangking 1 dari SD hingga SMA ini. Wajah mereka sama, yang membedakan hanya tinggi. Aila lebih tinggi dari pada Ayka, dan saudara kembarnya juga memiliki lesung Pipit, itu pembeda mereka berdua.
Tertekan kah hidup di antara saudara-saudara yang berotak cerdas?
Dia akan jawab jujur. Iya, tertekan. Aila dipaksa harus sama seperti mereka. Masalah Ayka, gadis itu memilih tinggal di luar negeri bersama Kakek neneknya di sana, mengambil jurusan lebih serius lagi tentang kedokteran ini. Sementara dirinya memilih bersama kedua orang tuanya. Sebetulnya tak diberi pilihan, tinggal di sini adalah kewajiban-kewajiban.
"Syuut! Aila!"
Suara bisikan tapi jelas itu membuyarkan lamunannya. Di jendela, siluet seorang pria membuat gadis berkacamata minus itu terkejut.
"Ai, cepat sini!"
Aila tau suara itu, suara milik Ryan. Dengan segera dia beranjak, kemudian membuka jendela lebih lebar lagi. Akses Ryan untuk masuk semakin besar, hal itu membuatnya tersenyum kecil. Ah, Ryan, sahabat satu-satunya yang tiba-tiba datang dan meminta ijin untuk menjadi penyemangat hidupnya.
"Huh, gilak mau main aja susah banget," eluh Ryan begitu masuk ke dalam kamar gadis itu. Berusaha untuk tidak bersuara keras agar kedua orang tua Aila tidak tahu bahwa ada Ryan di dalam kamarnya.
"Lampu kamar lo kena—"
Aila menghambur ke dalam pelukan Ryan. Saat ini dirinya butuh dukungan, kehangatan. Mentalnya sedang tidak baik. Bayangan tamparan dan jambakan juga makian itu terekam jelas di pikirannya.
Bahkan, saat ini pun juga masih mengenakan seragam sekolah. Ryan yang mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Aila tersenyum tipis, merasa diandalkan dan dibutuhkan. Dia lega karena meskipun tanpa berkata-kata Aila mau membagi beban dengannya, Ryan kelas tahu masalah apa yang sedang dihadapi oleh gadis pendiam itu. Karena itu dirinya datang ke sini dan menerobos masuk seperti yang lalu-lalu.
"Gapapa Aila, luapin aja, ada aku di sini," bisik Ryan pelan seraya mengelus rambut gadis manis itu. Dia bahkan menyempatkan untuk melepaskan kacamata Aila. Suara tangisan Aila pun terdengar pelan.
Beberapa menit lalu Ryan membuka grup chat kelas mereka, yang berisi hanya murid saja, grup terpisah dengan wali kelas. Begitu membaca apa yang sedang terjadi di kelasnya, Ryan jadi panik sendiri. Tentu saja itu akan jadi masalah besar untuk Aila, salahnya juga karena harus ikut pertandingan basket sialan.
Di tengah kegelapan ini, Ryan merasakan bagian depan bajunya basah. Aila, gadis kuat yang pernah Ryan kenal setelah Ibunya, selalu mencoba menyimpan sendiri beban hatinya. Dan hari ini, Ryan merasakan jadi sahabat yang sedikit berguna untuk gadis itu.
"Lo kuat Aila. Gue tau, lo bisa. Gue yakin. Jangan nyerah oke," dukung Ryan terus membisikkan kalimat-kalimat penenang untuk gadis yang lebih pendek 12cm darinya ini.
Namun, seolah Aila tidak mendengarkan itu, suara tangisannya semakin jelas. Ryan mewanti-wanti takut kedua orang tua gadis ini datang dan mengetahui ada dirinya di sini, maka akan lebih sulit lagi keadaannya nanti.
"Yan ...." panggil Aila yang masih terisak pelan, ingin mengeluarkan seluruh unek-unek miliknya, tetapi idahnya seolah kelu untuk memberi tahu itu kepada orang lain.
Penderitaan yang dirasakannya usai menginjak kelas 3 SD hingga sekarang seolah tiada habisnya. Sudah bertahun-tahun selalu dituntut untuk sempurna, ingin menyerah, tetapi takut jika rasa sakit hati dan fisiknya bertambah.
"Baby, i'm so sorry, andai aja tadi gue minta Haris buat mewakili pertandingan. Maaf, aku tadi nggak bisa bantuin kamu," bisik Ryan.
Aila melepaskan pelukannya, kemudian tertawa kecil. Merasa lucu kenapa bisa dirinya menangis seperti ini di depan Ryan, lebih lagi sapaan barusan sudah lama tak didengar olehnya.
"Jangan ketawa goblok. Gue bunuh lama-lama masih bisa ketawa," desis Ryan merasa kesal melihat Aila sok kuat.
Bukannya sakit hati atau tersinggung, Aila justru kembali terkekeh kecil. Dirinya sudah merasa lebih baik sekarang. Di tengah kegelapan, dia bisa melihat binar mata Ryan yang terpantul oleh sinar cahaya dari lampu tetangga.
"Makasih banyak, Yan. Kamu yang terbaik, dari dulu ... sampai detik ini."
-Bersambung ....