"Aila sialan lo!"
"Ngerasa sok pinter apa gimana, Mbak? Nggak jelas banget jadi cewek."
Aila yang sedang berjalan keluar dari kelas bersama Ryan dicegat oleh kelompok Anika, yang berjumlah hampir satu kelas. Tentunya hal yang cukup wajar kalau mereka semua menaruh rasa benci padanya.
Gadis itu santai saja sambil menatap Anika dengan santai. Tidak ada binar takut dalam matanya. Apa salahnya meminta guru melakukan remedi? Toh hal tersebut tak terjadi, kenapa semua orang mempermasalahkan hal-hal sepele begini?
"Maksud lo apaan sih ha?! Kalo lo nggak puas sama hasil ulangan, belajar sialan! Jangan susahin orang lain!" bentak Anika kuat, membuat beberapa orang yang berlalu lalang jadi tertarik untuk mendekat.
"Eits, apaan dah. Udah lah kan nggak jadi juga tadi, minggiran prend kita mau lewat," tukas Ryan merasa malas melihat cewek-cewek adu bacot.
"Diem lo, Yan! Teman lo ini pantesnya dibuang ke tempat pengasingan! Meresahkan kalo masih di kelas! Nilai segitu belum puas?!" sentak Adriel, teman lelaki mereka di kelas yang terkenal emosian dan juga bodoh.
Tentu saja permintaan Aila tadi itu sangat mengusik dirinya meskipun permintaan remedial batal terlaksana. Dia bahkan enggan mengerjakan ulangan dan gadis yang tak tahu cara bersyukur itu terus saja mengajukan remedial di setiap ulangan.
Cih, benar-benar gadis yang menjijikkan!
"Bodoh ya kalian semua," umpat Aila pelan, tetapi masih bisa didengar yang lain. Tidak ada rasa takut dalam ekspresi wajahnya.
"Heh yang bodoh itu lo, sialan! Nyusahin banget ni anak setan. Kalo mau nilai bagus ya belajar! Bukan nyusahin orang!" geram yang lain sudah mulai satu suara.
Ryan menghela nafas. Sudah biasa Aila dibully rame-rame seperti ini. Karena dikenal sebagai siswi yang pelit jawaban dan selalu ingin nilai sempurna. Sangat jauh berbeda dengannya yang memberikan jawaban dengan mudah kepada orang lain, dan tidak terlalu peduli dengan kesempurnaan nilainya.
"Udahlah Nik. Gue laper woi! Mau makan!" kesal Ryan, karena waktu istirahatnya terbuang sia-sia. Perutnya sudah minta untuk diisi.
"Sumpah, Yan, temen lo ini egois! Pantes nggak ada yang mau temenan sama dia!" geram Anika menatap Aila tidak suka. Bahkan ingin meludah, tetapi dia tahan karena saat ini sedang ramai, itu bisa memancing keributan nantinya.
"Kamu nggak tau apa-apa mending diem," balas Ai pelan, tapi sangat menusuk.
Tanpa basa-basi, dia menerobos kerumunan itu membuat orang-orang membiarkan jalan untuknya dan Ryan lewat. Suara teriakan dan makian dari Anika dan yang lain masih terdengar jelas. Namun, seolah tuli, Aila merasa tidak perlu mendengar itu.
"Lain kali nggak usah gitu Ai. Kasian yang lain," ungkap Ryan, kali ini menyalahkan tindakan Ai yang seperti tidak peduli dengan kesejahteraan kelas mereka.
Tidak ada tanggapan, Aila hanya diam saja. Sungguh, dirinya juga tidak ingin seperti itu sebenarnya. Tapi, tekanan itu yang membuatnya harus egois, karena itu bisa mengancam keselamatannya.
Demi nilai yang baik pertemanan di masa SMA pun terpaksa harus direlakan olehnya. Padahal jujur saja, dari sudut hati yang paling dalam Aila ingin bergabung dengan semuanya. Kapan sang Bunda memberikan sedikit akses untuknya?
***
"Kamu cuma dapat segini Aila?!"
Suara teriakan itu membuat Aila menunduk begitu saja. Tidak ada gunanya untuk melawan, toh dirinya berada di situasi yang tidak memungkinkan untuk melawan.
"Maafin aku, Yah. Aku udah berusaha semampuku tapi hasilnya tetap seperti itu," jawabnya dengan pelan.
Kepalanya terus menunduk, takut bila sang Ayah melakukan tindakan kasar.
"Maaf?! Kamu bilang maaf?! Nilai itu sangat penting buat masuk ke fakultas kedokteran, Aila! Kalo nilai kamu kayak gini terus mana mungkin lolos? Dasar gadis bodoh, sainganmu itu sangat banyak!" bentak sang Ayah dengan begitu kencangnya sampai Aila menggigil hebat.
Tak kuasa mendengarnya, dia hanya diam saja sambil menunduk. Lagi, dirinya ditekan untuk menjadi seorang dokter.
Dalan keadaan seperti ini Aila benar-benar membutuhkan kakak pertamanya. Dia begitu ingin mendekat juga mendapatkan sebuah pelukan hangat tapi itu semua sepertinya tak akan terjadi. Dia ... bertempat di rumah ini tapi terasa seperti sendirian di sebuah gudang, gelap, senyap.
"Siapa yang dapat nilai tertinggi di kelas?"
Aila menoleh ke arah samping, dimana sang Bunda yang berdiri dengan angkuhnya. Dia menelan saliva sedikit sulit, lebih takut dengan amukan sang Bunda.
Wanita itu mengajukan pertanyaan yang paling Aila hindari. Seharusnya dia berbohong saja bahwa dengan nilai segini sudah menempati posisi pertama. Namun, lidahnya tak pernah bisa diajak bekerja sama!
"Ry-Ryan Bunda," lirih Aila pelan.
Baju seragamnya saja belum diganti, tapi sudah mendapatkan ceramah dari kedua orang tuanya. Belum lagi karena mendapatkan nilai jelek dia lupa makan siang. Kepalanya pusing bukan main, asam lambung ini benar-benar menyiksanya.
"Ryan? Sahabat kamu itu?" Kembali Bunda mengajukan pertanyaan dengan nada begitu sinis.
Ragu-ragu gadis yang wajahnya mulau pucat itu mengangguk sebagai jawaban. Jantungnya berpacu cepat seiring dengan keringat yang mulai keluar.
Sang Bunda menatapnya dengan tajam, anaknya yang satu ini selalu tidak bisa diandalkan. Mungkin begitulah pikir kedua orang tuanya, Aila hanya bisa mencoba bertahan dengan keadaan yang ada.
"Lalu kamu urutan ke berapa?"
Aila makin menunduk. "Aku di urutan ketiga, Bunda."
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipinya. Sudah biasa, bila membuat kesalahan sedikit saja, maka dia akan menerima balasannya sedemikian rupa.
"Berada di posisi tiga, lalu mau jadi apa kamu ha? Sudah Bunda bilang, usahain dapat nilai 90! Itu penting anak bodoh. Sial, nilai segitu saja tak dapat bagaimana mau bergabung dengan keluarga kita yang lain?!" amuk sang Bunda.
Ini yang Aila takutkan, bila sang Ayah saat ini hanya mengomentari dengan kasar dan menyakitkan, sang Bunda justru main tangan. Wanita yang melahirkannya saja begitu tega, bagaimana bisa Aila bertahan di dunia? Jika mati itu menyenangkan mungkin ia akan menjadikannya pilihan.
"Mau jadi apa sih kamu ini?!" desis bundanya lagi dan menarik lengan Aila dengan kasar.
Gadis mendongak sedikit, tapi tidak berani bersuara. Kakinya mulai gemetar, bukan ketakutan tapi ini semua terjadi karena kepalanya pusing sekali saat ini. Haruskah Aila pingsan saja? Tapi ... bagaimana jika dia seperti itu dan berakhir dengan ditendangnya tubuh ringkih ini?
"Maaf, maafkan aku, Bunda," lirih Ai, menahan air mata yang akan terjun saat itu juga.
Apakah 85 belum cukup? Banyak di luar sana yang mengharapkan nilai seperti itu mengapa kedua orang tuanya berbeda?
"Berapa kali Bunda bilang, perbanyaklah belajar. Lupain cita-cita kamu yang jadi arsitek itu! Bahkan di biologi saja kamu kalah, apalagi kalau mengerjakan matematika nanti? Cih, sesekali gunakan sedikit otak kamu!" maki Bundanya tanpa jeda.
Banyak makian yang Aila dapat. Apakah ini sudah jalan takdirnya dipaksa untuk jadi dewasa dan harus menjadi boneka kedua orang tuanya? Tidak bolehkah dia seperti remaja lainnya?
Setidaknya Aila ingin merasakan menonton bioskop dengan Ryan, atau paling tidak mereka bisa menghabiskan akhir pekan di taman bermain. Ah, harapan Aila terlalu berlebihan.
"Lihat baik-baik, Aila. Apakah ada sepupumu yang masuk ke bidang selain kesehatan? Hah! Bagaimana bisa kamu berpikir untuk masuk ke Arsitektur?!" geram Ayahnya yang sejak tadi hanya diam saja.
Apa salahnya menjadi arsitektur? Aila menginginkan itu karena merasa keren melihat bangunan-bangunan mewah pencakar langit. Pikirannya melayang, suatu saat nanti pasti dirinya yang akan merancang bangunan pencakar langit lainnya.
Namun, berharap kepada keluarga untuk mendukung, justru malah menjatuhkan harapannya. Sejatuh-jatuhnya sampai dia tak bisa bangkit lagi dan harus berusaha merangkak seorang diri.
"Bunda, aku benar-benar sudah berusaha. Tapi hasilnya tetap segitu Bunda," isaknya karena air matanya sudah terjun membanjiri pipi mulusnya.
"Dimana letak usaha kamu ha?! Katakan pada kami usaha macam apa itu kalau hanya mendapatkan nilai segini?! Mau jadi gembel kamu?! Kamu memang nggak bisa diandelin dan cuman jadi beban terus di rumah ini!" bentak bundanya, lagi.
Aila memejamkan matanya. Menikmati hatinya yang serasa ditusuk ribuan jarum karena perkataan Bundanya. Lebih sakit perkataan itu dari pada tamparan yang tadi dia terima.
Apakah sepupu dan saudaranya yang menjadi dokter, Bidan, dan perawat itu menjadi patokan kesuksesannya?
Tidak, Aila benci disama-samakan. Dia lebih suka melangkah sendirian meskipun hasilnya hanya jalan bebatuan. Namun, setidaknya tak ada penyesalan di hari kemudian.
"Mulai sekarang. Handphone, laptop Ayah sita, dan buku-buku kamu yang di luar pelajaran ... sepertinya harus dibakar ," imbuh Ayahnya memperburuk suasana hati Aila.
Gadis yang tengah menangis itu menatap ayahnya, lalu menggeleng. Handphonenya boleh ditahan, tapi kalau buku-bukunya jangan. Aila berusaha membeli itu dari uang jajannya. Buku-buku mengenai Arsitektur, dan semua itu setara dengan hidupnya ini.
"Jangan Ayah, aku mohon ... jangan ambil mereka. Aku janji bakalan lebih giat belajar lagi ...," tuturnya mencoba membujuk ayahnya.
Namun, mana mungkin Aila yang tidak berprestasi dan dianggap sebagai beban keluarga ini akan didengar oleh orang tuanya?
-Bersambung ....