"Bagaimana dengan sekolahmu, Aila?" Nada dingin menyeruak dari pertanyaan barusan.
Aila yang sedang menyantap makan malamnya mengangkat kepala menatap wajah sang kepala keluarga. Dia hanya terus menatap hingga lupa bahwa belum memberikan jawaban.
Hendak menjawab banyak tetapi ada begitu banyak yang melintas dalam benak hingga dia memutuskan untuk menggeleng saja. Sebuah jawaban singkat pun dia tambahkan kemudian.
"Baik-baik saja, Yah. Tak ada sesuatu yang terjadi," sahutnya pelan.
Tidak terlalu banyak tambahan, karena mencari aman itu lebih baik. Lagi pula tak perlu dia menyebutkan kisah hidupnya, cukup gambaran umum di sekolah saja.
Karena secara garis besar tak mungkin mereka ingin mengetahuinya. Siapapun itu juga mereka hanya berpikir bagaimana hasil akhirnya tanpa peduli sesulit apa prosesnya.
"Baguslah. Tingkatkan nilaimu, khususnya Biologi dan Kimia. Kamu itu calon dokter, jadi harus mempersiapkan matang-matang ilmunya," tegas Sang Ayah.
Gadis yang memang sudah bad mood itu menghela nafas, inilah tuntutan yang dia dapat. Menjadi nomor satu dalam bidang pelajaran IPA dan meraih gelar dokter tentu saja Aila tertekan, karena otaknya bukan jurusan itu, melainkan jurusan yang lain.
Sesekali dia ingin menyalahkan kedua orang tuanya karena tak menuruti apa maunya. Namun, lagi-lagi Aila tak berani lantaran ada begitu banyak alasan. Lebih lagi tanpa mereka dirinya ini bukan apa-apa.
"Iya, Yah," jawab Aila singkat.
"Benar, Nak. Lihat lah Ayka, dia mendapatkan rangking satu semester ganjil kemarin. Dan juga mempertahankan rangking itu. Karena memang dirinya pengen jadi dokter. Kamu harus mencontoh dia, begitu juga dengan saudaramu yang lain," timpal Sang bunda yang setuju dengan ayahnya.
Aila hanya mampu mengangguk, karena memang kewajibannya sebagai anak adalah membanggakan orang tuanya seperti Kakak kembarnya membahagiakan mereka. Kewajiban, ya? Aila ingin tahu mengapa titipan memiliki tuntutan seperti ini.
"Jadi, untuk semester ini kamu yakin bisa rangking 1 di kelas saja. Nggak usah jadi ranking paralel juga, karena ayah tahu susahnya dapat rangking 1 di angkatan itu sangat sulit," kata Ayahnya santai.
Aila merasakan bebannya semakin berat saja. Kini dituntut jadi rangking satu. Lebih lagi kata ayah tadi 'di kelas saja' seolah-olah mendapatkan posisi itu semudah mengedipkan mata. Nyatanya begitu berat untuk dilalui olehnya.
Apakah itu bisa dia meraihnya dengan kemampuan di bawah rata-rata ini?
"Maaf Ayah. Tapi, aku nggak yakin bisa dapat rangking 1 ayah. Di kelas aku semua pintar-pintar. Kelas aku itu unggulan dan kebanyakan sudah pernah mengikuti olimpiade, rasanya mendapatkan posisi pertama itu ... terlalu berat," jawab Aila pelan, takut kalau jawabannya itu salah, nanti akan lebih rumit lagi.
"Aila! Lebih baik kamu itu berusaha, bukan malah terus mengeluh seperti ini. Kapan lagi bisa banggain Bunda sama Ayah?" ketus Bundanya dengan mata yang menyorot tajam gadis berusia enam belas tahun itu.
Tidak ada jawaban selain iya untuknya. Semua sudah di rancang oleh orang tuanya. Dan jawabannya harus IYA tidak boleh membantah sedikit saja.
"Iya, Bunda."
"Nah gitu dong. Kalo kamu mampu jadi juara satu, kita liburan ke rumah Bang Ael. Setuju?" cetus Ayahnya dengan nada senang.
Gadis itu pun mengangguk semangat. Mungkin akan lebih giat belajar lagi untuk mendapatkan rangking satu agar bisa bertemu dengan Abang pertamanya, Ael Pradibta Amzhari. Ah Aila benar-benar merindukan sosok yang selalu membelanya itu.
***
Mikaila Alexandra Amzhari. Gadis 16 tahun yang kini sudah duduk di bangku kelas 2 SMA. Memiliki kemampuan menggambar yang sangat bagus, tetapi memiliki kekurangan di bidang pelajaran IPA, fakta ini sangat tidak disukai oleh orang tuanya.
Berbeda dengannya, seolah Aila ini sisa-sisa dan saudara kembarnya yang memiliki otak cerdas. Hal ini selalu jadi ancaman untuk Aila. Belum lagi sepupunya yang lain, yang sudah mendapatkan gelar dokter. Makanya saat dia berada di posisi bawah maka semua orang akan menertawakannya.
Aila jadi tertekan dengan banyak tuntutan itu, karena cita-citanya jadi seorang Arsitek, bukan Dokter. Namun, itu ditepis jauh-jauh oleh keluarganya. Seolah sudah turun-temurun semua orang yang lahir di keluarga ini mesti bekerja di bidang kesehatan.
"Baiklah, ini pengumuman hasil nilai ujian biologi Minggu lalu," ucap guru yang mengajar.
Aila yang sedang mencoret-coret buku tulis halaman paling belakangnya menatap wajah sang guru. Jantungnya sudah berpacu cepat.
Antara takut dan gugup. Segalanya bercampur menjadi satu, membuat kerongkongannya terasa begitu pahit. Dia ingin pergi tapi selalu dipertemukan dengan keadaan menyedihkan seperti ini.
"Baiklah, ibu umumkan yang paling tertinggi dulu ya," tambah Bu Dwi, guru Biologi Aila yang memiliki sifat lembut dan pemaaf.
"Ryan Aidan, kamu mendapat nilai biologi tertinggi kali ini. Nilai kami 90. Tepuk tangan buat teman kita."
Aila langsung lemas begitu tau siapa nomor 1 untuk ulangan harian kali ini. Sebetulnya dia sudah tahu bahwa temannya memiliki kemampuan seperti ini. Jujur saja alasan ia mau berteman karena setidaknya saat sang Bunda bertanya bisa aman posisinya.
Huft, sudah jelas kalah tetapi mengapa rasanya Aila tetap ingin menangis saja? Pengumuman sudah selesai. Kemarahan Ayah dan Bunda jelas akan hadir menyelimuti waktu pulang sekolahnya.
"Yang ke dua, Adinda Rafika. Nilai kamu selisih satu sama Ryan."
Lagi, suara tepuk tangan meriah terdengar di telinga Aila. Hal itu seperti suara tawa yang meledek dirinya untuk kegagalan ini lagi.
"Hey, lo gapapa?" bisik Ryan.
Mungkin saja dia merasa tidak enak pada Aila karena meraih nilai tertinggi di kelas akan membuat bencana pada gadis dengan senyum manis itu. Ryan juga ingin mengalah, tetapi saat dia melakukannya para guru justru curiga sampai dia sendiri bingung harus bagaimana.
"Dan yang ketiga, Mikaila Alexandra Amzhari. Nilai kamu cukup memuaskan kali ini, 85, selamat ya," puji sang Guru mengakhiri pengumumannya.
Aila menggeleng kecil. Kemudian menatap Ryan dengan senyumannya, sekali lagi dia sudah mulai terbiasa dengan ini semua sehingga tak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.
"Gapapa kali, Yan. Santai aja, lagian aku malah nggak suka kalau lihat kamu mengalah untukku," balas Aila tulus dari hatinya.
"Bu." Aila dengan segala keberanian meski mungkin akan mendapatkan sindiran teman-teman pun memberanikan diri mengangkat tangan kirinya.
"Iya ada apa, Aila?" tanya Bu Dwi yang tengah membagikan kertas ulangan itu jadi berhenti.
"Bu. Apa nggak bisa remedi? Aku mau memperbaiki nilai, Bu, sepertinya jawaban yang sudah saya usahakan melawan ekspetasi," ujar Aila memberitahukan tujuannya mengintrupsi sang Guru.
"Aduh Aila, ini sudah termasuk nilai tinggi loh. Lihat teman-teman kamu, banyak yang gagal ulangan ini. Kamu belum puas dengan hasilnya?" jelas Bu Dwi merasa tidak percaya dengan kepuasan Aila.
Bukan, bukan Aila tidak puas. Jelas sudah puas mendapatkan nilai tertinggi ke tiga di kelas. Tapi orang tuanya yang tidak puas nanti nya.
Bukankah kepuasan mereka jauh lebih utama ketimbang pemikiran Aila? Atau bahkan mungkin pendapat teman-teman sekelasnya yang menurutnya tidak begitu penting saat ini.
"Iya, Bu," jawab Aila tenang tanpa takut sedikitpun.
"Maaf tapi ini sudah nilai tertinggi, Nak. Kenapa kamu selalu merasa nggak puas sama hasil kamu sendiri saat ibu saja mulai bangga padamu?" timpal Sang Guru menasehati Aila.
Setiap ada ulangan, Aila pasti meminta remedi karena nilainya tidak jadi yang nomor 1. Semua teman-teman sekelasnya sudah hapal tentang hal satu ini, bagi mereka gadis sombong seperti Aila tak usah diajak bicara.
"Aila, udah jangan gini nanti lo makin dibenci semua orang. Nilai gue aja buat lo. Nggak usah minta remedi," bisik Ryan, yang duduk di sebelah Aila.
Bersaing di kelas unggulan jurusan IPA bukanlah hal yang mudah. Aila yang sudah belajar setiap hari dan sangat keras masih belum bisa jadi nomor 1 di kelas, lantas mengapa Ryan yang belajarnya sangat santai bisa mendapatkan nomor 1?
Dia tahu teman-teman sekelasnya mengikuti banyak les, terlahir dengan gaya hidup elit tanpa peduli susahnya mencari tutor cocok supaya tak jenuh mengajarkan sesuatu. Karena semua orang yang diminta mengajarinya pasti berujung melarikan diri, tak kuat dengan permintaan neko-neko Ayah dan Bundanya.
"Please, kamu diam aja. Aku harus melakukannya," desis Aila pelan.
Wajahnya sudah pucat, hari ini baginya adalah hari kesialan. Ryan tentu tahu masalah apa yang tengah dihadapi oleh sahabatnya itu. Aila beranjak dan berjalan menuju ke depan menghadap sang guru biologi.
"Bu, aku tetap mau remedi," kata Aila pelan. Berharap sang guru mau memberikan dia remedi agar nilainya masih bagus.
"Kamu duduk saja. Bukan berarti setelah remedial nilaimu bagus. Justru akan saya bagi dua, bagaimana jika nanti nilainya justru di bawah rata-rata, Aila? Lebih baik pikirkan kemungkinan ini dan kembalilah ke tempat dudukmu," suruh Bu Dwi pada gadis itu.
Aila yang sudah memikirkan kemungkinan terburuk itu pun hanya bisa menghela nafas lalu mengangguk. Sepertinya dia memang sudah tak memiliki harapan, padahal di mata pelajaran lain nilai 70 saja sudah sangat baik untuknya.
Dengan wajah lesu Aila kembali ke bangkunya. Dia sungguh iri pada Ryan yang selalu menempati posisi pertama. Padahal ... cowok yang mengaku ingin berteman dengannya itu gak begitu mendambakan posisi pertama.
Sial, aku benar-benar bisa gila kalau begini kepadanya, gumam Aila merasa ketakutan dengan segala keadaan.
-Bersambung ....