Netra Raymond tampak begitu sadis menatap wajah Divya. "Cepat ikuti aku! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" titahnya.
Divya pun segera bangkit dan mengikuti Raymond sampai ke tempat yang jauh dari aktivitas penghuni sekolah. Pandanganya masih sangat liar memantau tiap-tiap sudut yang ada di dalam ruangan kosong itu. Setelah masuk, Raymond melemparkan segugus uang kepada wanita yang sudah berdiri di hadapannya. Dahi wanita berkacamata itu sontak berkerut tegas.
"Apa ini, Kak?" tanya Divya secara spontan.
"Kau masih bertanya apa? Sudah jelas-jelas matamu itu melihat uang! Masih berpura-pura bodoh! Ambil uang itu dan segera cabut dari sekolah ini. Aku akan memberikanmu uang yang lebih banyak dari itu!" berang Raymond sembari kembali melangkahkan kakinya.
Divya pun mulai memundurkan langkah kakinya untuk menjauhkan diri dari serangan Raymond. Beberapa benda usang yang sempat tersenggol oleh tangannya mulai berjatuhan ke atas lantai. Sungguh takutnya Divya setelah menatap wajah kakak kelas yang tegas itu. Ia pun semakin tersentak ketika tubuhnya sudah mentok menempel pada dinding yang berdebu.
"A–apa yang mau kamu lakukan, Kak?" tanya Divya terbata-bata.
"Kau mendengar ucapanku tadi, tidak? Hah? Pergi dari sekolah ini atau kau akan sangat menderita menimba ilmu di tempat ini! Hanya ada dua pilihan saja. Pergi atau tersiksa!" cecar Raymond seraya menyentil kacamata Divya.
Air mata Divya langsung menetes karena sudah merasa sangat tertekan. "Aku harus bersekolah di mana? Mengurus perpindahan sekolah sangat rumit, Kak! Kamu—"
Raymond segera memotong ucapan Divya. "Kau pikir aku peduli? Terserah kau mau melanjutkan sekolah di mana! Itu urusanmu, Divya!" Raymond mulai menepuk-nepuk pipi Divya dengan penuh penekanan.
Ancaman-ancaman yang sudah Raymond lontarkan langsung menciutkan semangat Divya untuk bersekolah. Tampak beberapa hari setelah penyerangan, wanita berkacamata itu tidak masuk ke sekolah. Setiap malam Divya harus kembali berperang pada mimpi buruknya. Ucapan penuh penekan dari Raymond terus terngiang di dalam benak si gadis kutu buku tersebut.
"Tidak! Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat menjalani hidup yang semakin keras ini. Aku harus tunjukkan kepada semua orang, bahwa aku bisa hidup tanpa mereka semua! Namun, bagaimana caraku untuk menjauhkan diri dari Kak Ray? Dia akan selalu membayang-bayangi hidupku. Kenapa nasibku menjadi seburuk ini? Oh, Tuhan." Divya kembali merebahkan tubuhnya di atas ambal tipis itu.
***
"Hei lihat, wanita cupu itu masih berani datang ke sekolah!" gerutu salah satu siswa yang sedang berkerumun di depan gerbang sekolah.
"Iya, benar! Dia memang anak tidak tahu malu, ya. Sudah menjadi publik enemy, masih saja berani bersekolah di sini!" sahut temannya.
"Aish, wajahnya saja tampak polos. Aku tahu hatinya pasti menyimpan segenap kelicikan!"
"Iya benar."
Gunjingan-gunjingan semua siswa masih sangat jelas terdengar di gendang telinga Divya. Namun, wajahnya masih tetap terlihat datar sembari berjalan sampai ke dalam halaman sekolah. Namun, sebuah kejadian yang tidak pernah terpikirkan terjadi begitu saja. Beberapa siswa mulai melemparinya dengan menggunakan telur busuk. Bukan hanya itu saja, mereka juga melemparkan tepung beserta sampah plastik kepada Divya.
Tatapan Divya kembali menajam melihat semua siswa yang sudah berkeliling di sekitarnya. Tidak ada orang pun yang mau menolong dirinya. Selama dua tahun ke depan ia tidak pernah mendapatkan perlakuan yang baik dari semua siswa yang bersekolah di sana. Masa-masa sulit pun bisa ia lewati dengan berlapang dada. Kini, sudah hampir empat tahun masa kelam itu sudah berlalu.
Wanita yang dulu dikucilkan sudah berubah menjadi sosok wanita yang sangat menawan. Semakin bertambah usia, Divya menjadi wanita yang sangat memperhatikan pola nutrisi, kesehatan dan kecantikannya. Tidak ada satu orang pun yang mengenalnya sekarang. Wanita yang digadang-gadang sebagai trouble maker, kini sudah berubah menjadi sosok yang sangat populer. Tidak sedikit pria yang ingin menjadi kekasihnya, tetapi Divya memilih untuk tetap sendiri dan fokus kepada studinya.
Divya juga tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan studinya di salah satu universitas bertaraf internasional. Kemampuan berbahasa asingnya juga sudah tidak diragukan lagi. Sehari setelah kelulusan, ia mendapat panggilan wawancara dari salah satu perusahaan yang bergerak di bidang properti. Wilfred Estate, perusahaan yang sedang ramai diperbincangkan pada forum yang sealur. Pengusaha muda dan berbakat yakni pelopor kebangkitan perusahan tua tersebut.
"Hm, kantornya bagus banget. Selama tinggal di tempat ini, aku hanya bisa melihatnya dari luar saja. Dan di dalamnya, tampak sangat luar biasa," pikir Divya dengan kedua kaki yang masih terus melangkah.
Perasaan gugup sudah pasti menyelimuti pikiran Divya. Namun, ia sebisa mungkin tetap bersikap tenang dan ramah kepada para pewawancara yang ada di depannya. Selesai melakukan wawancara, HR langsung mengumumkan bahwa besoknya Divya sudah bisa bekerja di sana. Sekretaris CEO yakni posisi yang sudah ditetapkan untuknya. Sungguh bahagianya Divya, memang posisi itu yang sangat ia impikan sejak lama.
"Bersyukur banget aku bisa bekerja di tempat ini. Dengar-dengar kompensasi para pekerja di sini cukup besar. Hm, lumayan untuk membayar cicilan rumah. Terima kasih banyak Tuhan," ungkap Divya setelah keluar dari perusahaan tersebut.
Hari yang terik membuatnya merasa sangat lelah. Sebelum pulang, ia pun sejenak merehatkan tubuh pada salah satu restoran yang tidak jauh dari pusat kota. Tempat itu memang menjadi persinggahan favoritnya selama ini. Tidak lama setelah kedatangannya, seorang lelaki bersama dengan pacarnya datang dan membawa beberapa pengawal ke tempat tersebut.
"Hm, terlalu berlebihan sekali. Dia mau makan atau mau pergi ke konser?" pekik Divya di dalam pikirannya. "Terima kasih, ya," ucap Divya kepada salah satu pelayan restoran.
Divya pun segera menyantap makanannya. Ketika ingin membayar tagihan, ia tanpa sengaja menjatuhkan segelas jus kepada salah satu pelanggan yang ada di sana. Hal itu terjadi karena tanpa sengaja ia melihat wajah lelaki yang ada di sudut ruangan. Wajahnya tidak terlihat asing pada tilikkan matanya.
"Ya ampun, maaf! Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja," ungkap Divya merasa bersalah. "Aduh, Divya! Kenapa selalu menjadi pusat perhatian semua orang, sih? Ceroboh sekali," pikir Divya merasa kesal sendiri.
Lelaki yang sedang duduk bersama kekasihnya pun langsung menatap wanita yang ada di depan kasir. Ia langsung memiringkan senyumannya sembari mengkritik kecerobohan wanita tersebut. Wanita yang kini duduk di hadapannya hanya bisa tersenyum.
"Jangan sampai kamu mempunyai sekretaris ceroboh seperti dirinya," ungkap wanita tersebut.
"Aku juga akan segera memecat pekerja seperti wanita itu, Sayang." Lelaki itu segera mengunyah makanan yang sempat terhenti di dalam mulutnya.
Setelah membereskan segala kekacauan, Divya segera pergi dari tempat tersebut. Ia juga harus membayar ganti rugi akibat kecerobohannya. Setelah sampai di rumah, pikirannya kembali kacau. Uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah, kini sudah terpakai. Hal tersebut membuatnya kembali memutar otak untuk menutupi kekurangannya.
"Aku sudah memakai separuh cicilan rumah untuk dua bulan yang lalu. Argh, nasibku memang selalu buruk. Namun, aku masih punya uang makan untuk menutupi kekurangan tunggakan rumah. Kalau begitu, sisahnya hanya tinggal dua ratus ribu. Mana mungkin cukup untuk makanku selama satu bulan ke depan." Divya kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.