"Ba–baik, Pak. Saya akan segera membuatkan kopi yang biasa Anda konsumsi," jawab Divya dengan cepat. "Hm, bagaimana aku tahu bentuk dan rasa kopi yang biasa dia konsumsi? Ah, sudah pasti nyawaku akan segera melayang hari ini juga," gerutu Divya di dalam batinnya.
Setelah sampai di depan dispenser air, Divya segera mengambil gelas secara acak. Ada beberapa tumpuk bungkusan kopi di dalam lemari nakas. Banyak sekali jenisnya, hal tersebut semakin membuat wanita berusia dua puluh dua tahun itu merasa kelimpungan. Akhirnya, ia memilih kopi susu untuk diberikan kepada Raymond.
Ia juga sengaja memakai satu per-empat gula sachet. Setelah mengaduk semuanya, ia segera berjalan mendekati meja kerja Raymond. Tubuhnya menjadi gerah ketika melihat satu persatu tegukan yang terlihat sangat jelas pada leher sexy pria tersebut. Ia pun sedikit mengepakkan tangan pada wajahnya.
"Bagaimana mungkin dia bisa tahu selera minumku? Bahkan, rasanya sangat nikmat dari kopi yang biasa aku konsumsi. Apakah Divya mencicipi kopi ini sebelum memberikannya kepadaku? Atau bagaimana?" Raymond kembali meninjau durja wanita yang ada di hadapannya.
Divya langsung tersenyum canggung. "Bagaimana, Pak? Saya tidak jadi dipecat, 'kan? Hehe, kopi buatan saya memang sangat enak. Saya juga sangat menyukainya," puji Divya, ia kembali membusungkan dadanya.
Raymond langsung tersedak melihat gelagat wanita itu. Ia juga kembali mengeluarkan sebagian air yang sudah hampir terteguk ke dalam kerongkongannya. Divya sontak membulatkan kedua matanya. Wajah kesal sang atasan pun terlihat sangat tegas. Ia tidak menyangka reaksi Raymond akan menjadi seperti itu. Ia dengan sigap segera mengambil tisu yang ada di atas meja. Namun, Raymond langsung memukul meja dan membentak dirinya.
"Keluar dari ruanganku sekarang!" titah Raymond.
"Hah? Apa, Pak?" Divya merasa tersentak dengan suara besar pria tersebut.
"KELUAR!" Raymond semakin mengeraskan intonasi suaranya.
Divya pun segera keluar tanpa bertanya kembali. Ternyata, semua karyawan yang ada di luar ruangan sedang menguping pembicaraan mereka. Setelah dirinya keluar, satu persatu karyawan pun berhamburan untuk kembali duduk pada posisinya. Dahi wanita menawan itu langsung berkerut maksimal menatap satu persatu wajah mereka.
"Sepertinya mereka juga sudah tahu apa yang akan terjadi kepadaku. Hm, kalau begini aku harus mencari satu teman untuk mengusut tabiat buruk si Raymond!" batin Divya kembali bergejolak.
Sampai jam pulang kerja, Divya masih belum berani bertemu dengan Raymond. Ia masih duduk dan menunggu kepulangan sang atasan. Pria yang sedang memantau gerak-gerik sekretarisnya pun langsung tersenyum meledek. Ia tidak menyangka bahwa wanita manis itu begitu tangguh dalam menghadapi sikap kejamnya.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan malam. Namun, Divya masih duduk di dalam ruangannya. Rasa curiganya pun mulai mencuat. Ia pun mulai memberanikan dirinya untuk memeriksa ruangan yang ada di sebelah. Sudah tidak ada siapapun di sana, ia langsung memejamkan kedua netranya untuk mencurahkan rasa kekesalannya.
"Hm, kenapa aku tidak melihatnya keluar dari sini? Apakah ada jalan lain untuk pergi dari sini?" gerutu Divya, ia kembali masuk ke dalam ruangan tersebut. "Sepertinya memang ada jalan lain." Divya segera pergi dari sana.
Namun, Divya kembali berbalik karena merasa sakit melihat berkas yang masih berantakkan di dalam ruangan Raymond. Ia pun segera merapikannya dan menyusun berkas sesuai dengan jadwal yang sudah mendekati deadline. Setelah semuanya selesai, Divya bergegas pergi dari sana. Udara di malam itu terasa sangat dingin. Sehingga, membuat perutnya merasa semakin terhisap. Ia juga tidak menyangka akan pulang selarut ini.
"Perutku sangat keroncongan. Namun, uangku hanya tersisa sepuluh ribu. Kalau aku menggunakannya, nanti pulang aku naik apa? Kenapa hariku sangat buruk?" Divya kembali merasakan dilema.
Akhirnya, Divya memutuskan untuk menahan bunyi keroncongan yang terus menggerutu di dalam perutnya. Setelah sampai di dalam rumah, ia langsung tergeletak di atas lantai. Ia sudah tidak bisa mengutarakan bagaimana rasa lelah yang sudah menggerogoti seluruh tubuhnya. Tatapannya pun mulai samar-samar menatap langit-langit.
KRING
KRING
KRING
"Argh, kenapa alarm pada ponselku cepat sekali berdetak? Padahal, aku baru saja tertidur!" gerutu Divya. "Masih jam empat pagi! Masih ada waktu setengah jam untuk beristirahat," lanjutnya.
Hari ini tidak seperti kemarin. Ia menjadi sangat tidak bersemangat pergi bekerja. Namun, ia kembali tersadar ketika melihat pengingat di dalam ponsel tentang jadwal pembayaran cicilan rumah. Ia pun terpaksa tersenyum ketika berpapasan dengan karyawan lainnya. Setelah masuk di dalam lift, ia segera merapikan seluruh penampilannya.
"Hatiku merasa dilema. Rasanya aku ingin sekali keluar dari perusahaan ini. Namun, hal itu tidak mungkin aku lakukan. Perusahaan raksasa ini akan memblacklist namaku dan mengirimkannya ke seluruh perusahaan. Kalau sudah begitu, hancur semuanya! Oke, semangat Divya! Harus semangat! Demi cuan!" Divya kembali bersemangat ketika mengingat bahwa banyak tanggungan yang harus ia selesaikan dalam waktu dekat ini.
Baru keluar dari lift. Ia sudah dihadapkan pada masalah besar. Raymond sudah membariskan semua pekerjanya di sepanjang jalan menuju ruangan CEO. Tentu saja hal tersebut membuat Divya merasa sangat buncah. Tatapannya mulai tergagap ketika tanpa sengaja saling bertautan dengan kedua netra Raymond.
Semua bidikan mata insan yang ada di sana langsung tertuju kepada Divya. Ia pun mulai mempercepat perjalanannya dan berdiri di sebelah sang atasan. Setelah itu, Raymond kembali melanjutkan celotehannya. Hanya perkara bolpoin cair yang hilang, ia bisa semarah itu kepada semua karyawannya.
"Permisi, Pak. Kalau boleh saya tahu, bolpoin yang bapak cari bukanya yang seperti ini?" Divya dengan polosnya langsung mengeluarkan benda yang ia katakan tadi.
Raymond langsung tersedak, ia mencoba menahan rasa geli terhadap kepolosan sekretaris barunya. Namun, ia segera mengatur gelagatnya dan kembali menatap tajam wajah Divya. Wanita yang ada di sebelahnya pun segera menundukkan kepala. Dengan kasar Raymond langsung meraih bolpoin yang ada di tangan wanita rupawan itu.
"Apa ini? Kamu pikir aku menggunakan alat murahan seperti ini?" Raymond langsung menghempaskan benda yang sudah ia rampas tadi.
Bahu Divya langsung terguncang karena merasa terperanjat. "Maaf, Pak. Warna bolpoin yang Bapak maksud bukannya yang berwarna emas itu?" sambung Divya.
Raymond kembali menatap wajah wanita yang ada di sampingnya. "Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?" Alis Pria itu segera menanjak tajam.
Divya langsung menghela napasnya dengan panjang. "Bolpoinnya ada di tangan Anda, Pak!"
Raymond langsung tersentak setelah mendengar ucapan Divya. Wajah tegas yang sejak tadi tertantang tegas, kini sudah runtuh bagaikan luruh terhempas air. Karena merasa malu, Raymond langsung membubarkan seluruh karyawannya dan berbalik masuk ke dalam ruangan. Namun, ia segera memanggil Divya untuk segera mengikutinya.
Tanpa banyak pertanyaan, wanita berpenampilan kasual itu pun langsung mengikuti Raymond dari belakang. Setelah masuk ke dalam ruangan, Raymond segera memutar tubuhnya, sehingga membuat Divya merasa terperangah. Divya langsung menyentuh dadanya dan mengelusnya secara lembut. Memang refleks yang tidak bisa tertolak lagi.
"Divya! Kamu sengaja ingin mempermalukan saya, ya?" tanya Raymond dengan lantang.
Divya langsung menggaruk kepalanya meskipun tidak terasa gatal. "Maaf, Pak. Bukan seperti itu. Saya hanya kasihan kepada semua karyawan yang sudah Bapak hukum. Eh, bukan seperti itu, Pak. Maksud saya—"