Ia juga merasa terperangah ketika bangun sudah melihat wajah sang atasan. Dengan tatapan dinginnya, Raymond langsung melemparkan beberapa perlengkapan mandi dan pakaian ganti untuk Divya. Wanita itu sontak menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pikirannya menjadi liar karena sudah pasti ada pakaian dalaman di dalam bungkusan tersebut.
"Jangan berpikir mesum! Aku tidak menyentuh satu inci pada tubuhmu itu. Cepat pergi untuk membersihkan dirimu. Kamu lama sekali bangun. Coba lihat jam yang bertengkar di sana." Raymond kembali berdiri dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
"Apa? Sudah jam sepuluh? Hah? Apa mataku salah melihatnya?" Divya kembali mengucek kedua matanya.
"Kamu tidak salah melihat jam. Memang sudah jam sepuluh pagi. Cepat mandi sana! Kita harus bergegas pergi ke kantor," ungkap Raymond dengan santai.
Divya pun segera pergi ke dalam kamar mandi. Setengah jam kemudian, Divya sudah selesai membersihkan diri. Namun, ia masih mengenakan kimono setelah keluar dari sana. Netra Raymond langsung melotot melihat area terbelah Divya yang sempat terlihat. Ia pun segera memalingkan pandanganya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
"Aneh, dia kenapa menjadi tegang seperti itu?" pikir Divya merasa penasaran.
Setelah melihat ke cermin datar, Divya langsung berteriak. Tentu saja Raymond mendengar suara itu. Pria yang ada di dalam kamar mandi hanya dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Divya memang begitu ceroboh. Ia sampai lupa menutup area intens pada tubuhnya.
"Apa yang sudah dia lihat tadi? Ah, aku bodoh sekali! Kenapa aku begitu ceroboh? Bahkan, aku tidak ingat berada di dalam kamar ini dengan pria yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun denganku. Raymond sudah melihat apa saja, ya?" Divya kembali menatap bagian cembung itu.
Satu jam kemudian, di dalam mobil. Divya masih diam dan tidak berani menatap wajah Raymond. Ia masih merasa malu atas tindakan cerobohnya tadi. Namun, tidak dengan Raymond. Ia malah berpikir liar tentang kemolekan tubuh sang sekretaris.
"Aku juga pria normal. Sudah pasti merasa tertarik dengan apa yang sudah aku kulihat tadi," ungkap Raymond di dalam benaknya.
"Bagaimana kalau Raymond melihat bagian anuku? Bisa hancur harga diriku ini!" gerutu Divya di dalam hatinya.
Divya pun menjadi salah tingkah ketika sampai di kantor. Pekerjaannya menjadi tidak beraturan dan berantakkan. Hal tersebut juga membuat Raymond merasa kesal. Akhirnya, ia memanggil Divya ke dalam ruangannya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kerjaanmu menjadi tidak beres seperti ini? Apa yang ada di dalam pikiranmu, Divya?" bentak Raymond, kedua alisnya sudah hampir bersatu.
Divya dengan cepat langsung menundukkan kepalanya. "Maaf, Pak. Hal ini terjadi karena saya masih kepikiran perihal kejadian di dalam hotel tadi, Pak."
Raymond langsung tertawa mengejek. "Hahaha, kamu memikirkan hal apa? Aku tidak melihat apapun. Hei, jangan kamu pikir aku pria seperti itu, ya! Kamu itu bukan levelku, Divya!"
Divya segera mengangkat kepalanya. "B–b–benarkah? Benar Bapak tidak melihat bagian—"
Raymond langsung memiringkan kepalanya. "Melihat bagian apa?" sosor pria itu dengan melempar senyuman mematikannya.
"Hm, tidak. Permisi, Pak. Maaf atas kekacauan yang telah saya perbuat. Saya segera memperbaiki semua kesalahan yang sudah terjadi," ungkap Divya seraya pergi dari hadapan atasannya.
Raymond masih terus menatap kepergian sekretarisnya. Setelah wanita itu keluar, Raymond kembali tertawa seraya menggelengkan kepalanya. Ia juga merasa heran, tidak biasanya dia berekspresi seperti itu ketika melihat sebuah kesalahan. Ia pun segera merubah ekspresinya menjadi sangat dingin dan datar.
Setelah masuk ke dalam ruangan pribadinya. Divya kembali merasa ada yang tidak beres dengan hatinya. Jantungnya pun kembali berdetak dengan kencang setelah sekian lama tidak demikian. Dengan lembut ia pun mulai memukul-mukul dada dengan kepalan tangannya.
"Ada yang tidak beres dengan jantungku. Sudah sangat lama aku tidak merasakannya. Apa mungkin aku kembali jatuh hati dengan Raymond? Ah, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi lagi. Kenapa hatiku menjadi sangat lemah seperti ini?" gerutu Divya merasa kesal sendiri.
Satu harian itu Divya berusaha untuk tidak bertemu dengan atasannya. Hal itu ia lakukan untuk mengatur perasaan terhadap Raymond. Bukan menghindari sumber masalah, Divya malah semakin dekat dengan sang atasan. Pria itu memang sengaja terus membuat sekretarisnya sibuk mengerjakan tugas yang sudah ia berikan.
"Argh, kenapa manusia ini begitu menyebalkan? Bahkan, dia memerintahkan aku untuk membersihkan ruangan pribadinya. Ini bukan tugasku sebagai sekretaris, 'kan? Apa mungkin dia memang sengaja ingin membuatku tidak betah kerja bersama dengannya? Atau dia hanya ingin menguji kesabaranku saja? Hm, memarik sekali. Kalau begitu aku akan melayani setiap permainannya," gerutu wanita yang sedang membersihkan ruangan tersembunyi itu.
"Lama sekali! Pekerjaanmu sudah selesai belum?" sosor Raymond, ia sengaja ingin membuat sekretarisnya merasa terangsang.
Bahu Divya sontak terangkat, ia juga langsung berteriak setelah mendengar suara seseorang dari belakang. Dengan cepat ia segera berbalik badan dan menatap wajah sang atasan dengan tajam. Dadanya juga masih terlihat sangat tegas naik turun. Setelah itu, ia kembali memalingkan tatapannya.
"Kenapa dia tiba-tiba ada di sana? Sejak kapan? Apa dia sengaja ingin membuatku marah? Atau terkejut?" batin Divya merasa sangat kesal.
"Hei, telingamu sudah rusak? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku tadi?" sosor Raymond sekali lagi.
"Sebentar lagi, Pak. Saya belum membersihkan kamar mandinya," jawab Divya dengan suara lesunya.
"Hm, tinggalkan saja. Sekarang bersihkan tanganmu dan segera ikuti aku!" titah Raymond, ia segera pergi dari tempat berdirinya.
Divya pun sedikit berlari kecil untuk mengejar kepergian sang atasan. Setelah keluar dari ruangan, ia langsung merubah ekspresi beserta cara berjalannya. Kini, ia sudah menjadi sosok wanita berparas berwibawa. Semua karyawan pun mulai memberikan salam hormat ketika mereka berdua melintas dari sana.
Setelah sampai di dalam mobil, Divya menjadi bingung sendiri. Kini Raymond sengaja memakai supir pribadi untuk bepergian. Tatapan Raymond kembali membidik wanita yang masih berdiri di depan pintu kendaraan mewah itu.
"Kenapa kamu masih berdiri di sana? Cepat masuk!" titah Raymond sembari melemparkan tatapan sinisnya.
"Hm, maaf." Divya langsung masuk ke bangku sebelah supir. "Semoga saja aku tidak salah masuk ruangan," ungkapnya di dalam hati.
Setelah sampai di tempat tujuan, Divya segera mengikuti perjalanan Raymond. Ada banyak sekali orang-orang penting di dalam gedung pertemuan itu. Namun, Divya masih tidak mengerti apa tujuan mereka datang ke sana. Ia mencoba mempercepat langkah kakinya dan bertanya kepada atasannya, tetapi Raymond malah cuek, dan tidak menjawab pertanyaan.
"Aish, cuek sekali!" batin Divya.
Setelah duduk bersama dengan Raymond, Divya tanpa sengaja melihat Devan di ujung lorong. Pria itu segera tersenyum dan berjalan mendekati tempat duduk mereka. Setelah duduk, Devan langsung memberikan beberapa berkas kepada Divya. Alis Divya pun segera berkerut melihat empat tumpukan berkas berwarna senada.
"Baca beberapa berkas itu, Divya. Bila perlu hafal tiap poin-poin pentingnya," titah Devan.