Di dalam kamarnya, Raymond masih terus mengingat beberapa kejadian yang sempat tertangkap oleh kedua netranya. Sosok sekretaris lugu dan berbakat berhasil menarik perhatian sang atasan bertampang ketus. Pria bertubuh atletis itu sering tersenyum sendiri ketika mengingat semua tingkah laku Divya. Sangat menggemaskan dan langka.
"Aneh, kenapa aku menjadi seperti ini? Tidak mungkin aku menyukai wanita itu, 'kan? Haha, yang benar saja. Hm, tetapi aku seperti pernah mengenalnya. Namun, di mana? Tatapan kedua matanya itu sangat tidak asing dimataku," pikir Raymond merasa penasaran.
Ia pun kembali berjalan menuju ranjangnya. Ia mulai merebahkan tubuhnya sembari kembali menatap profil sang sekretaris. Alis tebalnya langsung berkerut tajam. Ia pun masih mencoba mengingat di mana pernah melihat tatapan indah itu.
"Sangat tidak asing! Argh, tetapi kenapa aku harus pusing-pusing berpikir tentang dirinya? Pesona Zeline juga tidak kalah dari dirinya. Ya, meskipun pacarku terlihat lebih ramping dari Divya. Pikiranku ini menjadi tidak waras karena wanita itu. Wajar saja, aku ini juga pria normal." Raymond langsung memejamkan matanya.
Sedangkan, Divya masih terus mencoba melupakan tatapan-tatapan yang sempat terekam di dalam memori ingatannya. Senyuman Raymond memang sangat manis dan mempesona. Perasaan yang sudah terkubur dalam, kini kembali memuai ke permukaan. Rasa buncah kembali menyelimuti pikirannya.
"Aku tidak mau kembali menjadi bahan ledekan Raymond. Sudah cukup dia mempermalukanku waktu bersekolah dulu. Rasa sakit hatiku sudah cukup dalam. Namun, kenapa dengan sekejap aku bisa melupakan semua dendam itu? Ah, kamu ini memang wanita yang sangat lemah Divya! Sekarang aku bisa apa? Bagaimana kalau aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini lagi? Cepat atau lambat Raymond akan mengetahui siapa aku sebenarnya," gerutu Divya seraya menatap wajahnya dari pantulan cermin datar.
Keesokan paginya, Divya terlihat sangat tergesa-gesa berjalan menyeberangi jalan raya. Hal itu terjadi karena hari tampak sangat mendung. Ia tidak membawa mantel hujan di dalam tas kerjanya. Sesampainya di depan kantor, tanpa sengaja ia bertemu dengan sang atasan.
Divya langsung berbalik, ia tidak ingin wajahnya terlihat oleh pria itu. Ia pun kembali berlari kecil untuk bersembunyi di dalam kerumunan yang ada di depan antrian lift. Ia juga tidak menyangka Raymond bisa dengan mudah mengenali gerak-geriknya. Meskipun begitu, ia masih berpura-pura tidak mendengar panggilan sang atasan.
"Divya!" panggil Raymond sekaligus membuat karyawannya tersentak.
Mereka pun langsung menyingkir dan hanya tersisa Divya di tengah-tengah kerumunan itu. Wanita berparas menawan tersebut langsung berbalik sambil menebarkan senyuman canggungnya. Tanpa banyak berkata-kata, Raymond langsung menarik tangan sekretarisnya dari sana. Wanita yang mendapatkan perlakukan dari atasan merasa sangat terperanjat.
"Pak, kenapa Anda menyeret tangan saya seperti ini?" tanya Divya merasa tidak bersalah.
Raymond masih menjaga setiap gerak-geriknya di sana. Ia kembali menatap semua wajah yang sedang memperhatikan mereka bertiga. Setelah itu, Luke langsung mengambil alih pembicaraan. Ia segera mengajak pria bertubuh atletis itu untuk segera masuk ke dalam lift pribadi.
"Argh, syukurlah! Aku tidak jadi di hakimi," gerutu Divya di dalam benaknya.
Ia pun berusaha pergi dari sana. Namun, Luke langsung menarik tangannya untuk masuk ke dalam ruangan yang sama. Sungguh tegangnya perasaan Divya setelah berdiri di antara kedua pria yang ada di tempat yang sempit itu. Keringatnya mulai bercucuran dan sebisa mungkin ia tetap bersikap tenang.
"Kenapa kamu menghindariku tadi?" tanya Raymond secara mendadak.
Divya secara tidak sadar langsung terguncang. "A–a? Gimana, Pak?"
"Wanita ini, kenapa tuli sekali! Aku harus berbicara sampai dua kali baru dia mengerti!" gerutu Raymond di dalam benaknya. "Kau itu—"
Luke langsung memotong ucapan Raymond. "Maaf, Pak. Silakan keluar, pintunya sudah terbuka," ungkapnya.
Dengan tatapan kesal Raymond segera keluar dari sana. Namun, niatnya ingin menghakimi sang sekretaris masih sangat menggebu-gebu. Setelah berjalan empat langkah dari sana. Ia kembali berbalik dan menatap wajah takut wanita itu. Namun, amarahnya kembali tertunda ketika menatap wajah Luke.
"Divya, cepat masuk ke dalam ruanganku! Sekarang!" bentak Raymond, ia segera pergi masuk ke dalam ruangannya.
Divya masih mencoba untuk menetralisir jiwa yang sudah terguncang. Ia pun kembali menatap wajah Luke yang ada di depannya. Pria itu hanya tersenyum dan mengisyaratkan kepada Divya untuk selalu berhati-hati. Karena merasa kesal, akhirnya Divya mengayunkan tangannya untuk menggertak pria yang berprofesi ganda itu.
Luke hanya bisa tertawa geli melihat ekspresi Divya. Setelah itu, ia pun segera beranjak dan masuk ke dalam ruangannya. Sedangkan, Divya masih tetap berdiri di sana. Ia mencoba mengatur napas dan tangan nya yang sudah beresonansi.
"Mimpi apa aku tadi malam, sehingga mendapatkan hari yang sangat menegangkan ini," gerutu Divya pelan.
TOK!
TOK!
TOK!
"Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" tanya Divya setelah membuka separuh pintu kaca itu.
Raymond langsung tersenyum menatap wajah sekretarisnya. "Ya, silakan!"
Tampak Divya sedikit mengatur napas ketika berjalan masuk. Ia pun masih merasa takut menatap wajah Raymond. Sedangkan, Raymond masih tersenyum menatap wajah menggemaskan sekretarisnya. Ia juga segera mengubah ekspresinya ketika wanita yang ada di hadapannya mulai mengangkat pandangan.
"Ada keperluan apa, ya, Pak? Kenapa Bapak memanggil saya sepagi ini?" tanya Divya sangat berhati-hati.
Raymond langsung melemparkan senyuman miring kepada sekretarisnya. "Kenapa kamu menghindariku tadi? Ada sesuatu hal yang membuatmu harus melakukan tindakan tidak terpuji itu?"
Batin Divya langsung berbicara, "Kenapa dia masih mempermasalahkan hal itu? Aku harus menjawab apa?"
"Divya!" bentak Raymond.
"Eh, iya. Maaf, Pak. Bukanya saya mencoba menghindari Anda. Namun, saya sungguh tidak mendengar panggilan itu. Bapak juga sudah tahu saya berada di tengah-tengah kerumunan karyawan. Mereka juga berbicara di sana. Tentu saja hal itu membuat saya tidak mendengar panggilan Anda, Pak," jelas Divya mencoba mengelabui sang atasan.
"Sepertinya telingamu itu bermasalah. Mau aku antar ke Dokter THT?" tawar Raymond sekaligus membuat Divya merasa terperanjat.
Divya sontak merubah ekspresinya terperangahnya. "Haha, kenapa Bapak begitu perhatian dengan saya? Hm, telinga saya masih berfungsi dengan baik. Eh, sejak kapan ada bunga hias di atas meja Bapak?" Divya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.
Raymond langsung tertawa pelan setelah mendengar ucapan sekretarisnya. "Masih berusaha mengalihkan pembicaraan. Nanti temani aku untuk berbelanja, ya."
"Nanti kapan, Pak?" tanya Divya dengan spontan.
"Setelah kamu meletakkan barang-barang bawaanmu itu. Segeralah balik ke sini!" titah Raymond.
"Owh, baiklah, Pak. Kalau begitu saya letakan dulu barang-barang bawaan saya, ya." Divya segera berlalu dari sana.
Setengah jam kemudian, Zeline datang dan masuk ke dalam ruangan CEO. Sungguh terperangahnya Divya ketika melihat kehadiran wanita itu. Ia pun kembali menatap wajah Raymond dengan tajam. Tubuhnya sudah beresonansi secara maksimal.
"Ternyata, pria ini ingin berbelanja dengan kekasihnya! Kenapa dia harus membawaku ke sana? Dia 'kan bisa membawa Luke untuk menemaninya berbelanja! Argh, lama-lama dia semakin nyeleneh saja!" gerutu Divya di dalam benaknya.
Dengan rasa keterpaksaan, Divya langsung mengikuti kedua insan yang sedang berbunga itu untuk berbelanja. Divya terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju parkiran bawah tanah. Tatapannya juga menjadi memerah ketika melihat kemesraan keduanya. Perasaan kesal dan sedih sudah bersatu menjadi satu kesatuan.