Setelah sampai ditempat tujuan, Divya malah menjadi tumbal kejahilan Raymond. Ia dengan sengaja membeli banyak barang untuk dilimpahkan kepada sekretarisnya. Wanita bertubuh semampai sampai merasa kelimpungan membawa semua kantong belanja yang ada di kedua tangannya. Meskipun begitu, ia masih berusaha mencoba membawa beberapa bungkusan tersebut.
"Divya, kamu bisa membawa semua bungkusan itu?" tanya Raymond sedikit melemparkan tatapan meledek kepada sekretarisnya.
Divya pun segera tersenyum canggung melihat durja pria itu. "Haha, saya bisa membawa semua barang-barang ini, Pak. Tenang saja," ungkap Divya santai. Padahal, di dalam hati sudah mengutuk habis kedua insan yang ada di depannya.
Raymond segera memalingkan pandangannya. "Baguslah, kalau begitu. Kamu ambil beberapa barang lagi, Sayang!" perintah Raymond kepada kekasihnya.
Sungguh kesalnya Divya ketika mendengar ucapan sang atasan. Namun, keharusaan memaksa dirinya untuk menerima semua perintah pria itu. Tidak disangka, Devan ada di tempat yang sama. Keningnya langsung berkerut tajam ketika melihat wanita yang sedang membawa banyak bingkisan di belakang Raymond.
"Raymond, kamu itu sangat keterlaluan sekali," gerutu Devan di dalam benaknya.
Ia pun segera berjalan mendekati mereka dan tanpa menyapa, ia segera mengambil semua barang yang ada di tangan Divya. Sungguh terperangahnya Divya setelah melihat kehadiran Devan di tempat tersebut. Kedua insan yang berada satu langkah di depan Divya pun merasakan hal yang sama. Dengan cepat Divya segera bertindak untuk kembali mengambil bingkisan tersebut.
"Permisi, Pak Devan. Biar saya saja yang membawa barang-barang ini, Pak," ungkapnya seraya mencoba merampas barang yang ada di tangan Devan.
Devan langsung tersenyum ketika melihat wajah Divya. "Sudah jangan khawatir, Divya. Biar aku saja yang membawanya. Barang-barang ini sangat berat. Kamu tidak mungkin bisa membawanya sendiri."
"Devan, kenapa kamu ada di sini?" tanya Raymond kemudian.
Devan segera mengalihkan pandangannya kepada pria itu. "Hm, aku tadi sedang meeting bersama klien. Dan aku tidak sengaja melihat kehadiran kalian di sini. Aku hanya ingin membantu sekretarismu untuk membawa semua barang-barang belanjaan kalian." Ia kembali menatap wajah Divya. "Aku akan memanggilkan pengawalku untuk membawa barang-barang ini ke dalam mobilmu, Ray."
Divya langsung tersenyum ketika mendengar ucapan pria berkharismatik itu. "Ah, sudah tampan, mapan dan baik pula. Idaman banget, tidak seperti Raymond!" pikir Divya. "Terima kasih banyak, ya, Pak Devan. Namun, saya juga sudah biasa membawa barang-barang sebanyak ini."
"Hm, Divya. Kamu jangan membantah titahku. Raymond juga tidak akan marah kalau aku membantumu untuk membawa barang-barang ini. Bukan begitu, Ray?" Devan kembali melirik ke arah Raymond.
Raymond sontak mengangguk ketika mendengar ucapan teman akrabnya. Untuk meleraikan suasana tegang itu, Raymond pun segera mengajak mereka untuk singgah pada salah satu toko yang ada di sana. Tanpa banyak berpikir panjang, Devan pun segera menyetujui permintaan temannya. Setelah sampai di tempat tujuan, ia segera memperlakukan Divya dengan sangat sangat baik.
Bahkan, ia rela menarik kursi makan untuk disajikan kepada wanita itu. Sungguh kesalnya Raymond ketika melihat senyuman Divya untuk temannya. Ia pun segera mengalihkan pandangan mereka dengan cara memberikan menu makanan kepada sekretarisnya. Sedangkan Zeline, ia terus memantau gerak-gerik kekasihnya.
"Kenapa Raymond begitu cemas melihat kedekatan mereka? Apakah dia mulai menyukai sekretarisnya ini?" Zeline kembali melirik ke arah Divya. "Cih, aku semakin tidak menyukainya," gerutu Zeline di dalam hatinya.
Usut punya usut, ternyata departemen store yang mereka kunjungi saat ini merupakan saham milik Devan. Divya yang baru saja mengetahui hal tersebut pun merasa sangat tercengang. Ia sebelumnya tidak mengetahui bahwa Devan seorang milioner muda yang sangat berjaya. Pria itu juga mulai menyentil Raymond dengan cara ingin menarik Divya, jika wanita tersebut merasa terbebani bekerja dengan Raymond.
"Haha, Pak. Saya merasa sangat senang bekerja dengan Pak Raymond, kok," ungkap Divya berbohong.
"Nah, kamu mendengarnya sendiri, 'kan?" sahut Raymond dengan cepat.
Devan langsung tersenyum lebar. "Ya, aku sangat senang mendengarnya. Ray, kamu jangan sia-siakan sekretaris secerdas Divya," ungkap Devan kemudian.
Sungguh kesalnya Zeline ketika mendengar ucapan pria itu. Ia sampai tidak sadar sudah memotong semua daging makananya sampai hancur. Ia pun segera mengambil minumannya dan mengajak Raymond untuk segera pergi dari sana. Namun, Raymond menolak dan masih ingin menyantap makanannya.
"Sayang, duduklah sebentar lagi. Habiskan dulu makanan kamu," bisik Raymond ke telinga Zeline.
"Sayang, aku sudah merasa sangat kenyang." Zeline juga berbisik ke telinga kekasihnya.
"Baiklah, kalau begitu tunggu sebentar lagi. Aku akan segera mengunyah halus makanan yang ada di dalam mulutku ini," ungkap Raymond.
Setelah mendengar ucapan itu, Zeline langsung menatap wajah Divya. Ia masih merasa sangat kesal dengan wanita itu. Rasanya ia ingin sekali memukul, menjambak dan menghakimi wanita tersebut. Sedangkan, Divya masih terus fokus pada makanannya. Namun, instingnya masih terlalu tajam untuk menyadari pandangan tidak sedap dari sang artis pendatang baru.
"Kenapa Zeline terus menatap wajahku? Apa yang sedang dia pikirkan mengenai diriku?" pikir Divya merasa tertekan.
Ia pun segera menegakkan pandangannya. Tatapan netra wanita yang ada di seberang mejanya masih sama. Namun, hal tersebut tidak membuat Divya merasa takut. Ia dengan santai kembali membalas tatapan Zeline.
"Widih, wanita ini sangat berani menatap wajahku seperti itu! Kurang ajar, dia belum tahu siapa diriku ini, ya!" gerutu Zeline merasa sangat kesal.
"Haha, kamu pikir aku takut dengan tatapanmu itu? Sudah pasti kamu merasa panas dengan pujian-pujian yang diberikan oleh Devan untuk diriku," serang Divya di dalam benaknya.
Setelah menyelesaikan kunyahannya, Raymond pun segera mengajak kekasihnya untuk pulang. Ia juga tidak lupa memerintahkan Divya untuk kembali hadir di dalam kantornya. Namun, Devan menolak titahnya. Devan sedikit bermohon kepada Raymond agar meringankan jam kerja Divya untuk bisa menemaninya berbelanja hari ini.
Raymond langsung berasumsi di dalam benaknya, "Kenapa Devan menjadi seperti ini kepadaku? Sebelumnya ia tidak pernah mau bergaul dengan sekretarisku yang lain. Namun, kenapa saat ini dia malah sangat berniat bersama dengan Divya? Tidak mungkin dia menyukai sekretarisku ini, 'kan?" gerutu Raymond merasa sedikit khawatir.
"Ray! Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku? Bolehkah aku meminjam Sekretaris kamu untuk beberapa jam ke depan?" Devan kembali menegaskan ucapannya.
Raymond langsung tersentak. "Hm, i–i–iya boleh, tentu saja," jawab Raymond terbata-bata.
"Terima kasih, temanku yang baik hati. Kamu harus berhati-hati di jalan, ya. Pastikan bahwa Zeline dalam keadaan selamat sampai di tujuan," gumam Devan seraya menebarkan senyuman manisnya kepada kedua insan yang hendak pergi dari sana.
"Tentu saja, aku akan memastikan hal itu," sahut Raymond dengan pandangan yang masih terfokus kepada Divya.
Setelah kepergian Raymond, Devan segera mengajak Divya untuk kembali berkeliling di sana. Ia merasa sangat nyaman berada disamping wanita tersebut. Hal itu juga tidak ingin ia sembunyikan dari sekretaris menawan milik temannya. Divya yang mendengar ucapan Devan pun menjadi merasa salah tingkah. Wajahnya sangat merah dan tangannya mulai merasa dingin.
"Wajah kamu sangat merah. Apakah kamu merasa tersipu denganku?" ledek Devan penuh percaya diri.
"Hahaha, Pak Devan bisa saja. Ngomong-ngomong, tidak ada yang marah ketika saya dekat dengan Anda, 'kan?" tanya Divya sekedar ingin mencairkan suasana canggung itu.
"Tentu saja tidak ada, Divya. Siapa yang mau marah? Aku tidak mempunyai kekasih hati," jawab pria itu dengan cepat.
Divya langsung menghentikan perjalanannya. "Benarkah? Pria setampan Bapak tidak mempunyai kekasih?" Divya malah terperangah mendengar ucapan pria itu.