"Pria dengan perban di wajahnya? Hm, kalau tidak salah, Inspektur itu juga mengatakan ada pria dengan ciri yang sama. Misal dia adalah orang itu, tapi dia siapa?" batin Owen
"Ini hari kamis, bukan?" tanya Owen tiba-tiba.
"Ya, itu benar. Ada apa?" Tris balik bertanya.
Kemudian Owen menghampiri putri kecilnya.
"Tidak, bukan apa-apa. Mia, tidak tidur?"
"Tidak, Mia ingin bicara sama papa."
"Oh, apa itu?"
"Setelah waktu yang lama kakak pulang tapi kenapa tidak ada yang menyambutnya?"
Baru kali ini, putrinya bersikap aneh. Sepertinya tindakan Owen yang berlebih membuat kejadian ini berubah drastis. Situasi di antara mereka pun semakin menegang.
"Apa maksudmu?"
"Orang yang tadi masuk itu, kakak bukan?
Deg!
***
Bermula Owen datang ke rumah teman anaknya yang juga merupakan kenalan sesaat. Cctv yang terpasang di setiap sudut ruangan luar dan dalam rumah, membuat Tris sedikit khawatir. Namun tak menyangka bahwa ada seseorang yang memaksa masuk ke dalam.
Tetapi, usai orang itu pergi dengan mendecih dan menatap sinis pada Owen. Kini, Mia justru berbicara hal tak masuk akal.
"Orang tadi itu, kakak? Iya, 'kan?"
"Kau bicara apa Mia? Kau tahu kalau kakakmu sudah–"
Owen tidak mengerti namun tidak lagi setelah Ia menatap wajah takut pada Tris.
"Tris, kau tidak bilang hal ini padanya?" tanya Owen dengan serius.
"Maaf, aku belum sempat."
"Apa katamu? Belum sempat?"
Owen marah, Ia berdiri dari tempat duduknya lalu menatap wajah Tris yang semakin ketakutan. Suasana hari ini menjadi semakin tegang.
Belum lagi, ketika Owen mulai melepas satu persatu cctv dengan perasaan marah. Saat itu juga Mia menatap ayahnya dengan penuh pertanyaan. Hendak bertanya namun lidah tertahan ketika sesuatu di sekitar Owen terasa lebih mengerikan.
"Berdiri sekarang." pinta Owen sembari menyeret kedua lengan Tris, agar lebih cepat berdiri dan saling bertatap muka.
"Mia masih kecil. Harusnya kau sudah tahu itu akan membuatnya trauma," kata Tris, dengan menahan kemelut amarah dan tangis.
"Eka adalah kakaknya tapi kau tidak memberitahukan hal sepenting itu padanya? Aku tahu dia baru masuk Sekolah Dasar tapi menyembunyikan kebenaran akan membuatnya semakin terpuruk. Apa kau tahu, barusan dia menyebut orang sinting tadi itu adalah kakaknya?"
"Aku tidak tahu soal itu. Tapi bagaimana denganmu yang sudah lama menyembunyikan sesuatu tentang Eka? Kematian Eka? Katamu, menyembunyikan sesuatu lebih lama akan membuat kita terpuruk. Dan sekarang apa? Kau menelan ludahmu sendiri!" ungkapnya sedikit membentak, tahan tangis.
"Itu hal yang berbeda!"
"Apanya yang berbeda!? Ah, tidak, Mia saat ini mendengarkan kita. Melihat kita bertengkar seperti ini, ini tidak baik. Apalagi kalau dia sampai mencontoh!"
"Tris!" Kemudian Owen kembali meninggikan suaranya. Tris amat terkejut lantas terdiam.
"Aku sudah bilang berulang kali, katakan yang sebenarnya padanya karena aku tak ingin Mia terus berharap pada kakaknya. Kalau dia sudah berharap lalu kecewa karena baru saja tahu kalau kakak yang diharapkannya sudah tidak ada, apa kau bisa membayangkan apa yang terjadi?" kata Owen yang menegaskan.
"Ini masih terlalu dini! Lagipula kau sama! Kau tidak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya pada kami, penyebab Eka meninggal bukan karena kecelakaan, 'kan? Dan ya, aku tahu kalau tidak memberitahukannya pada Mia tentang Eka, maka dia mungkin akan seperti saat Eka kecil dulu, pergi dari rumah sampai diculik! Tapi, Mia, Mia … Mia tidak seperti bayanganmu," kata Tris yang menangis.
"Aku memang tidak memberitahukan kalau Eka meninggal sebenarnya karena apa. Sebab para jaksa dan aparat itu berniat untuk menutup kasus dengan paksa. Tapi Tris, setidaknya beritahu Mia kalau kakaknya sudah lama meninggal. Dia telah berjuang hingga akhir riwayatnya. Aku tidak suka kebohongan belaka, karena aku tidak ingin ada kebohongan di antara kita, Tris," bisiknya lembut
"Alasanku yang lain, karena jika aku beritahu sesuatu, lebih dari kematian Eka maka nyawa kita akan dalam bahaya," imbuhnya
Setiap kali Ia mengingat setiap kejadian itu terjadi. Detik demi detik hingga kepalanya terasa pusing. Tris menangis begitu juga dengan Mia yang kemudian berlari ke atas menuju kamarnya.
"Mia?"
Tris menahan tangan Owen yang hendak pergi menghampiri Mia dengan berkata, "Biarkan Mia sendiri. Kau bahkan tak tahu apa yang berbeda antara kedua anak kita. Sejak dulu Mia-lah yang selalu menghibur kita. Tapi di saat dirinya sedang ingin merajuk, maka dia akan menyimpannya sendiri. Persis seperti ayahnya."
Pertengkaran kerap kali terjadi baik di dalam kekeluargaan, pertemanan atau di manapun bahkan dengan orang asing sekalipun. Mungkin terdengar sepele, namun justru itu adalah masalah besar.
Begitu juga dengan keluarga Owen, Owen bermaksud agar Mia mengetahui berita kematian kakaknya sejak dulu namun Tris, sebagai Ibunya Ia harus menahan karena Mia adalah anak perempuan dan masih belia.
Berbeda dengan Tris, Owen memiliki pikiran, Ia takut jika Mia tahu bahwa dirinya telah dibohongi selama ini maka Ia akan melarikan diri. Kabur dari rumah sama seperti Eka saat waktu kecil. Yang kemudian berujung penculikan.
"Laki-laki dan perempuan memang berbeda. Ya, kau benar aku tidak tahu apapun soal Mia. Persis apa yang telah kau katakan, bahwa aku menutup diriku sejak insiden itu. Tapi apakah tak apa membiarkan Mia seperti ini?"
Owen menyadari apa kekurangannya, terutama pada melihat apa yang terjadi dalam keluarga kecil ini. Namun, tetap saja yang namanya orang tua pasti akan khawatir jika membiarkan anaknya sendiri dalam kesedihan, meskipun tahu bahwa itu adalah sifat sejatinya.
"Ya. Mia tidak seperti Eka yang cengeng. Mia jauh lebih mirip denganmu daripada aku," ungkap Tris kembali menegaskan.
"Benarkah? Aku tidak menyadari itu sama sekali."
"Itu benar."
Setelah amarah mereda satu sama lain. Owen dan Tris kembali duduk bersebelahan di sofa. Tanpa menyalakan layar televisi dan membiarkan pintu terbuka lebar.
Dalam ketegangan, keheningan dan sejuknya angin berhembus masuk, mereka pun secara tak sadar menghela napas secara bersamaan.
"Tidak kusangka kau masih mengingat kejadian dulu Tris."
"Eka berhasil meloloskan diri lalu pergi ke kantor polisi. Itu adalah laporan pertama Eka ke sana sebagai korban. Tentunya tidak dapat dipercaya sampai pelakunya datang dan menculiknya lagi."
"Keras kepala seperti dirimu, Tris. Anak itu tidak ada takutnya, justru dia benar-benar tegar dalam menghadapi situasi apapun. Meksi dia agak cengeng," tukas Owen sedikit terkekeh di akhir.
"Haha, lalu apa kau mengingat saat kita masih kecil? Kau pernah berpura-pura tegar saat menghadapi omelan dari Ayahmu. Tapi tidak ada yang tahu bahwa kau menangis diam-diam di dalam gudang," oceh Tris yang sedikit menyindir Owen pada saat itu.
"Hei, itu memalukan! Lagipula mana mungkin aku menangis di hadapan perempuan yang selalu mengintip setiap saat?" Owen pun balik menyindir
"Apa? Aku tidak mengintip, saat itu aku hanya tidak sengaja lewat rumahmu." Tris memperjelas
"Iya, iya. Wanita zaman sekarang pandai sekali beralasan. Biar kukatakan itu alasan klasik namanya," ejek Owen
"Sudah, dong!" pinta Tris sedikit malu.
Pukul 18.00, menjelang magrib beberapa saat lagi. Owen kini sedang mengunjungi makam putranya. Hari ini terasa lebih dingin.
Letak makam yang persis di halaman belakang rumahnya, nisan bertuliskan almarhum 'Eka Geraldo'
Dengan tanpa sadar, kejadian itu kembali terlintas. Owen sedikit menghela napas dan keningnya berkerut. Ditambah lagi fenomena yang Ia alami saat ini.
Pada tengah malam sekitar pukul 12 sampai 2 malam adalah pertaruhan untuknya, kembali mengulang atau mengungkap siapa pelakunya!
"Perlu ku bantu sesuatu?"
Pria yang mengenakan jaket tebal, datang dan bertanya pada Owen.