Jam dinding menunjukkan angka 12 pas. Rumahnya penuh dengan bercak darah, entah di jendela, lantai maupun pintu. Kedua tangannya pun penuh dengan darah hingga menetes jatuh. Pisau yang berada di dekatnya pun sama berlumur darahnya, warna perak dari pisau itu bahkan sama sekali tak nampak lagi.
Hanya warna merah lah yang saat ini dilihatnya. Selain hal itu, ada hal yang lebih mengejutkannya lagi. Sosok dua mayat terbaring bersimbah darah. Hingga menggenangi kental di bawahnya, rasa mual muncul dan Ia tak kuasa menahan muntah.
***
"Ya, halo? Oh, Ibu Tris rupanya."
Di tengah malam, Tris kembali menelpon Irvan. Sebelumnya pada jam 9 malam pun, Ia menelpon dan Irvan sendiri yang berkata bahwa suaminya Owen sedang tertidur pulas. Padahal Tris berharap Owen segera pulang saat ini juga.
"Maaf suami Ibu tertidur pulas. Mungkin besok pagi dia akan kembali, tidak, dia pasti akan kembali. Jadi tenang saja."
"Maaf mengganggu malam-malam begini, Irvan. Apakah kamu bisa membangunkannya?"
"Sudah aku coba tapi percuma. Pak Owen tampak lesu juga. Sepertinya dia lelah sekali."
"Ah, begitu rupanya. Kalau boleh tahu apa yang dilakukannya di rumahmu? Dia tidak mengganggu bukan? Aku khawatir jika dia merepotkan orang lain. Apalagi kamu punya pekerjaan penting."
Kecewa berat tentang Owen yang takkan pulang malam ini, namun Tris masih dapat bersabar.
"Tidak, tidak masalah bagiku. Yang lebih penting sekarang Ibu Tris lebih baik tidur saja."
"Sebenarnya ada hal yang menggangguku daritadi. Tentang kepergian Owen yang ke rumahmu, itu sangat jarang kecuali kamu bertemu Eka. Apakah dia ada urusan denganmu mengenai kejadian tadi pagi? Aku yakin kau tahu soal itu darinya, Irvan."
Tris menduga-duga akan kedatangan Owen ke rumah Irvan adalah karena pria dengan perban itu.
Irvan lantas terkejut. Tris mengetahui hal ini walaupun Owen tidak pernah mengatakan apa-apa pada Tris sendiri.
"Aku tidak suka berbohong. Yang kau katakan benar, bu. Tapi kenapa bertanya? Atau mungkin Ibu memiliki suatu petunjuk tentang siapa dia?"
"Aku hanya tahu kalau dia adalah rekan kerja Owen meski Owen sendiri menyangkal hal itu. Hanya itu yang aku tahu. Dan karena ini tampak berbahaya maka akan lebih baik jika lapor polisi," pikir Tris
"Pak Owen menolaknya. Dia tidak mau menghubungi polisi."
"Apa? Dia melakukan apa sebenarnya sampai dia tak mau polisi terlibat?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi sejak 3 bulan lalu Pak Owen memintaku untuk mencarikan beberapa orang lalu melacaknya. Akan tetapi orang yang merepotkan malah muncul. Namun tenang saja, Pak Owen mengantisipasi hal ini dengan baik bahkan dia mampu menyelamatkan kalian dari pembunuh,"
"Dia pembunuh? Sudah kuduga! Irvan, aku minta dirimu dan Owen untuk jangan sekali-kali menyelesaikan urusan ini sendirian! Aku akan segera melapor polisi, meski kalian mencegahku maka aku akan tetap melaporkannya!"
Tris sudah marah dengan kukuh pendiriannya, Ia akan melaporkan kejadian tadi pagi pada kantor polisi segera. Irvan terkejut panik, tak sengaja Ia meninggikan suara saat berusaha meyakinkan sekaligus menjelaskan berulang kali kalau melaporkannya akan membuat pembunuh itu kembali datang.
"Jangan! Pak Owen bilang dia akan kembali jika Ibu melaporkannya."
"Kembali? Tentu dia akan kembali karena dia punya target untuk dia bunuh. Karena itulah aku akan melaporkannya."
"Memangnya Pak Owen tidak bilang untuk tetap diam saja?"
"Tidak! Dia tidak bilang apapun padaku saat pergi."
"Ya, ampun. Tak kusangka akan semerepotkan ini. Ditambah lagi Pak Owen tak bilang untuk jangan laporkan ini pada Ibu. Dan jika dia sudah melaporkannya aku akan bilang apa pada Pak Owen? Kecurigaan Pak Owen terhadap aparat kepolisian itulah yang membuatnya ragu untuk melapor. Dia juga melarangmu terang-terangan," batin Irvan yang panik tak karuan.
Ia bergidik merinding sesaat.
"Nanti Pak Owen akan marah," kata Irvan dengan tutur kata yang lembut.
"Siapa peduli, aku akan melaporkannya!"
Klap!
Tris menutup telepon dengan kesal. Irvan merasa bersalah hingga tubuhnya bergetar karena ketakutan. Sebab Ia tak tahu apa yang terjadi jikalau Owen tahu, Tris melaporkan hal ini pada polisi.
"Uh, aku tertidur?"
Dalam kondisi setengah sadar, seraya mengubah posisinya untuk duduk. Owen yang terbangun pun sontak membuat Irvan makin terkejut panik hingga keringat dingin bercucuran di tubuhnya.
"Aku mendengar suara berisik. Aku pikir kau sedang bernyanyi?" pikir Owen, berkenyit.
"Maaf telah membuatmu bangun, kalau begitu–"
"Jam berapa sekarang?" tanya Owen memotong ucapan Irvan.
"Sudah lewat tengah malam. Oh, ya, Istrimu mencarimu."
Tak sedikitpun Irvan melirik wajah Owen saat berbicara. Karena Ia takut.
"Eh?"
Dan Owen, saking terkejutnya Ia mendengar bahwa saat ini sudah tengah malam. Ia pun bergegas pamit kembali ke rumahnya. Irvan hanya mengangguk.
Pukul 12 malam lewat 15 menit. Bagaimana dengan keadaan rumah? Owen sangat khawatir karena jam saat ini adalah pertaruhannya lagi. Nyawa Tris dan Mia dalam bahaya.
"Gawat, Tris dan Mia … Semoga belum terjadi apa-apa," harapnya dengan tulus
Tetapi, setelah Ia datang. Firasat buruknya yang mungkin telah Ia rasakan saat perjalanan pulang pun pada akhirnya benar-benar terjadi.
Pintu rumah dalam keadaan terbuka, banyak barang-barang yang di dalam menjadi berantakan. Kaca yang pecah, tirai yang rusak. Tertinggal sosok mayat, yang tidak lain adalah Tris dan Mia terbaring dalam keadaan bersimbah darah. Dingin dan pucat.
"Ini …,"
Selain itu, terdapat bekas gesekan tali bercampur kuku di leher Istrinya, Tris.
"Bekas dicekik?"
Simbahan darah itu pula berasal dari tubuh Tris dan Mia di bagian belakang dan depan. Terdapat beberapa tusukan yang sepertinya itu dilakukan berulang.
Membuat Owen teringat akan mimpi mengenaskan. Namun bedanya hanya satu, tidak ada senjata di sekitar mereka.
"Irvan! Apa Irvan tahu ini?"
Segera Ia kembali ke rumah Irvan, dan mendapati dirinya sedang terduduk lemas.
"Hei Irvan! Apa yang kau lakukan!? Apa kau tak memonitor mereka dengan benar?"
"Apa maksudmu, Pak?" tanya Irvan, kaget
"Aku menyisakan satu kamera di dalam rumah. Apa kau tak memonitornya?"
"Tidak. Kameranya tidak aktif. Tidak menyala," ucap Irvan
Seketika itu Owen syok. Dalam beberapa detik, Owen kembali mengalami fenomena itu.
***
Di pagi hari yang cerah. Owen dengan cepat menuliskan beberapa yang sudah Ia ketahui. Seperti ciri-ciri, orang yang terlibat dan jam kematian itu. Ia menulisnya di selembar kertas dan menyimpannya dengan baik di bawah nisan mendiang putranya.
"Aku mulai bosan tapi ada yang berubah semenjak aku datang ke rumah Irvan. Seolah hal-hal yang telah terjadi itu baru saja terjadi. Apalagi aku melupakan apa yang aku lakukan pada waktu tertentu. Ini tak masuk akal. Apa yang telah terjadi padaku? Apakah karena aku melarikan diri dari kasus itu?"
Sekian lamanya Ia bergumam. Usai Ia berziarah, seperti biasa Ia menuju ke rumah Irvan.
"Tunggu, kau membawa laptop? Untuk apa?" tanya Irvan
"Sepertinya bermasalah. Saat aku membukanya pasti selalu ada pemberitahuan masalah keperawatan meski sudah kucoba perbaiki pasti selalu mati, dan terkadang akunku seperti diintai," jelas Owen yang meminta untuk diperbaiki laptopnya.
"Hei, aku bukan tukang servis! Aku programmer!"–Irvan menerima laptopnya–"tapi yang ini kasih bayaran, ya."
"Bagus sekali ada perubahan sedikit. Tergantung dari kejadian ini maka mungkin orang itu takkan muncul di rumah meski aku tidak ada," pikir Owen dalam benaknya.
"Irvan, sebenarnya aku telah mengulangi waktu. Berkali-kali. Dan saat ini aku sedang melacak nomor si penelpon yang mungkin saja dia adalah orang yang akan membunuh keluargaku. Tengah malam, itulah tengat waktunya. Tapi terkadang berubah-ubah. Jadi,"
Irvan tak mendengar apapun yang dikatakan oleh Owen. Ia hanya berfokus mencari permasalahan laptopnya.
"Pak Owen sepertinya punya musuh. Apalagi dia ini peretas yang cukup handal."
"Apa maksudmu?"
"Tadi kau bilang saat mencoba untuk melacak nomor itu, tiba-tiba saja ada pemberitahuan keperawatan dan lain sebagainya kan?"
"Iya, kau benar. Lapotku rusak sejak mencoba melacak nomor itu."
"Jadi? Apa Pak Owen masih tak percaya dengan keberadaan Hacker Nata yang masih ada?"