Pukul 9 pagi.
Meski Owen tidak diberitahu tempat di mana mereka akan pergi ke tempat mananya, Owen mengetahuinya sendiri semenjak fenomena yang Ia alami. Tak lain adalah, bagian bawah Mall, karaoke.
Disamping itu, Owen sekali lagi mendapatkan panggilan dari ponselnya.
"Halo, Pak Owen. Sekarang Bapak di mana?"
"Kau lagi, biarlah ada apa. Aku sendiri sedang mencari istriku."
"Ya begini. Nomor itu sudah berhasil kulacak meski ada kendala sedikit. Ingin aku beritahu darimana asalnya?"
"Katakan jangan buang waktuku!"
Tanpa sadar Owen membentaknya. Irvan menghela napas dan berkata, "Oke." Ia segera memberitahu di mana lokasi nomor itu berada. Sedangkan saat ini Owen berjalan masuk ke dalam Mall bagian bawah.
"Apa kau mendengarnya Pak Owen? Jika tidak aku akan mengulanginya saja. Di sana berisik."
Begitu kedua matanya melihat tempat karaoke itu dari jarak jauh. Ia tanpa ragu mendekat dan langsung saja membuka pintunya perlahan.
"Tempatnya di Jakarta Barat. Tahu tidak? Rumah kosong, bekas TKP kasus 3 bulan lalu."
Owen terkejut saat mendengarnya bersamaan dengan melihat pria itu dan Istrinya bersama di dalam. Serta senar yang membuat pergelangan tangannya tergores.
"Ini, senar yang sama saat pertama kali," batin Owen
Duar!
Yang tidak lain itu adalah pemicu ledakan. Membuatnya semua berhamburan.
***
Membutuhkan banyak waktu untuk sampai ke sana. Sesuai apa yang dikatakan oleh Irvan, usai dilacak Ia mengetahui lokasi orang itu berada. Namun, ini adalah tempat perkara kejadian 3 bulan lalu. Rumah kosong yang tak dihuni siapapun. Tapi mengapa nomor asing itu mengarah ke tempat tersebut?
"Hacker Nata lalu 3 bulan lalu? Ledakan bom dan senjata api? Apakah ini ada kaitannya dengan orang itu? Jika iya, dia adalah si Hacker maka pasti terlalu berbahaya untuk diselidiki. Tapi aku belum bisa menghapus kecurigaan terhadap aparat itu," kata Owen
"Apa yang orang tua itu lakukan di sini?"
Jakarta Barat, pada siang hari.
Mendengar beberapa anak sedang mengocehi dirinya, Owen pun membalasnya dengan sedikit kesal.
"Kalian sendiri kenapa?" Meski ini kekanakan, Owen sedikit menaikkan sebelah alisnya.
"Ini adalah markas kami. Orang tua sepertimu tidak boleh masuk!"
"Benar! Apalagi dia hanya bapak-bapak beruban," ucapnya dengan ketus.
"Apa? Markas? Ternyata hanya anak kecil yang bermain. Mana mungkin salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Jelas tidak mungkin. Pasti Irvan salah melihat lokasinya," pikir Owen dalam benak.
Terbesit, anak kecil ini ada hubungannya dengan peretas tapi itu tak mungkin. Jika dipikir lebih panjang, memang tidak mungkin tapi hal yang mustahil itu terkadang terjadi betulan.
"Hei, apa ada orang lain selain kalian?" tanya Owen
"Ada. Dia adalah anggota tertua kami. Dia yang memerintah, dia yang yang memimpin. Pokoknya dia itu orangnya keren!" Salah satu dari mereka menjawab Owen dengan bersemangat.
"Oh, ya? Siapa namanya?" Owen menundukkan kepalanya.
"Dia lebih tinggi dari kami. Dan sudah kubilang sebelumnya dia adalah anggota tertua kami. Namanya Ervan."
"Apa? Anggota tertua? Tapi katamu dia pemimpin?"
"Iya itu juga. Dia yang memimpin, dia yang memerintah. Tapi dia bukan ketuanya, melainkan aku," kata anak yang paling besar badannya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.
"Hah? Oh jadi, si nak Ervan ini semacam wakilnya … Dasar."
Merasa menyesal, Owen lantas menghindari mereka semua dan berniat masuk ke dalam rumah kosong itu. Tetapi anak-anak itu terus menghalangi jalan Owen sebab mereka tak mau orangtua ini masuk begitu saja.
Sempat ingin membentak mereka semua namun entah mengapa justru Owen kembali teringat hal buruk. Ia terdiam tak bergerak sedikipun, membuat anak-anak di sekelilingnya terkejut keheranan.
Di salah satu ruangan dalam rumah kosong tersebut, adalah tempat di mana para penjahat singgah.
Ia masuk begitu saja, setelah berdiri di posisi Eka dan rekannya saat itu. Mengingatnya membuat Ia sungguh tersiksa.
"Bapak ini kenapa sih? Mukanya serem begitu," kata anak lelaki bersama dengan kumpulannya memandang ke arah Owen seorang.
"Di mana anggota tertuanya? Aku ingin bertemu."
Mumpung, anak-anak itu juga ikut masuk ke dalam. Owen lantas menanyakan tentang keberadaan anak tertua yang katanya suka memerintah mereka.
"Kak Ervan takkan mau bertemu siapa-siapa kecuali para anggotanya. Oh jangan bilang bapak ingin bergabung dengan kami, ya?" pikirnya
"Jangan kepedean, bocah."
"Kalau ingin bergabung setidaknya bawa anakmu mungkin kam Ervan ingin bertemu. Eh, tapi tunggu sebentar,"–Ia kemudian duduk bersandar pada dinding dan tampak memikirkan sesuatu."anakmu pasti sudah tua juga, ya."
Pertama, Owen terdiam sejenak menahan kesal. Kedua, wajahnya mulai berkerut. Tapi emosinya mereda sesaat setelah memikirkan Istri dan putri kecilnya yang sedang tersenyum.
Owen tersenyum dan berkata, "Aku punya anak perempuan yang seumuran dengan kalian."
"Oh, benarkah? Kalau begitu aku ijinkan bergabung asalkan orangtua seperti dirimu mengijinkan aku untuk menikahi anak perempuan itu ya?" katanya secara blak-blakan.
"Katanya yang memerintah adalah si anggota tertua. Lagipula kau belum cukup dewasa untuk menikah. Setidaknya belajar sana," ucap Owen keningnya kembali berkerut.
"Ini hari libur tahu! Ini waktunya bermain bukan belajar!"
Tiba-tiba mereka mendemo Owen yang telah berkata sewajarnya. Owen pun hanya menghela napas dan sedikit memijit kening. Lantaran tak begitu mengerti ada apa dengan anak-anak ini sebenarnya, sebab mereka terkadang memutarbalikkan fakta. Membantah dan melawan semua nasehat Owen. Sampai-sampai membuatnya pusing.
"Dia itu ke mana?" tanya Owen yang merujuk pada seseorang bernama Ervan.
Sembari duduk bersandar di dekat jendela. Anak-anak yang mengikutinya pun juga ikutan duduk mengitari. Seolah mendengar ceramah.
"Kak Ervan sepertinya banyak urusan hari ini. Jadi mungkin bapak tidak akan bertemu hari ini. Tapi tenang saja, ada kami di sini."
"Aku datang bukan untuk ini. Pergi sana, kalian. membuatku pusing tahu."
"Huh, dasar orang tua. Sudah ditemani begini, tapi malah mengomel." Anak paling kecil dan cerewet ini, membuang muka dengan kesal.
"Ngomong-ngomong kenapa kalian bermain di sini? Bukankah kalian sudah tahu di sini itu berbahaya."
"Kalau soal ledakan, itu semua orang juga tahu. Tapi kami baru bermain minggu ini di rumah kosong. Jadi tidak ada yang memarahi kami," ucapnya dengan sombong.
"Bukan itu maksudnya. Tempat ini bekas ledakan 3 bulan yang lalu. Walaupun dibilang sudah terbebas namun bukan berarti kalian bisa seenaknya masuk. Dengar ya, kalau bermain itu di taman atau lapangan. Bukan tempat seperti ini," oceh Owen menasehati mereka sekali lagi.
"Orang tua memang hanya bisa bicara." Salah satu dari mereka tampak mengeluh. Ia sama sekali tak berniat untuk mendengarkan nasihat Owen.
"Anak ini!" Dalam batin, Owen marah besar namun sepertinya Ia akan membiarkan kali ini.
"Hei coba ceritakan sedikit tentang anggota tertua kalian itu, dia sepertinya dapat diandalkan. Yah, kalau kalian tak keberatan."