Owen telah kembali. Ia saat ini tengah berada di depan rumah Irvan dan selama beberapa mengetuk pintu, Ia masih terpikirkan soal keberadaan Ervan yang mungkin saja adalah dia. Dan merasa curiga pada Irvan yang dengan mudahnya melacak.
"Pak Owen, ada yang bisa aku bantu?"
"Maaf aku datang di saat yang tidak tepat. Apa kau selalu berdiam di rumah?"
"Ya, itu benar. Tumben sekali bertanya. Pak Owen sendiri tahu bahwa aku selalu mengerjakan pekerjaanku di rumah. Kalau masih ada yang perlu dibicarakan lebih baik masuk ke dalam."
Irvan mempersilahkan Owen untuk masuk ke dalam rumahnya. Owen pun menerima itu.
"Sekali lagi aku meminta maaf."
"Untuk apa? Lagipula aku tidak terganggu. Dan jika ada sesuatu semisal kau membutuhkan bantuan padaku. Aku bersedia."
Berbagai teori, pendapat serta alasan yang logis seringkali Ia tangguhkan karena suatu hal. Kekurangan bukti yang cukup, Ia hanya dapat terpikir kalau pelakunya adalah orang dekat. Tapi suatu ketika Irvan, orang yang juga di curiga olehnya mengatakan sesuatu yang membuatnya semakin curiga.
"Pak Owen, apa hari ini bapak mengulangi waktu?"
Bahkan di masa ini saja, Owen baru sekali bertemu dengan Irvan. Lantas bagaimana rahasia Owen diketahui? Tris saja tidak tahu, karena Owen dengan sengaja tidak cerita.
"Kau tadi bilang apa?" Owen merasa tak percaya dengan apa yang barusan Irvan katakan.
Perlahan melangkah mendekati Irvan dengan menunjukkan mimik wajah serius.
"Pak Owen, aku–"
Belum sempat Irvan hendak menjelaskan sesuatu, Ia terkejut begitu Owen memegang kedua pundak serta menatap tajam ke arahnya. Irvan pun bungkam diri, lantaran pria tua yang dihadapinya terasa menyeramkan.
"Kenapa kau tahu hal ini, Irvan?"
"Aku … Aku …,"
Irvan terbata-bata. Belum mampu Ia bicara langsung karena ketakutannya.
Emosi Owen memuncak. Ia menarik kerah bajunya sembari berteriak bahwa Irvan adalah pelaku yang dimaksud. Dan berulang kali Ia meminta Irvan mengaku tanpa sebab yang jelas. Mungkin Ia sangat stres hingga kadangkala Owen membentak marah.
"Bukan itu! Aku mengetahuinya karena kertas ini!"
Irvan membalas dengan nada meninggi. Sembari Ia menunjukkan secarik kertas bertulis tangan milik Owen.
Owen pun merebut dan memastikan tulisan tangan yang ada di secarik kertas tersebut.
"Maaf. Maaf aku terlalu emosi. Aku memang menulis hal ini tapi kenapa kau menyimpulkan bahwa ini pengulangan waktu? Ini hanya catatan kegiatan saja bukan?"
Owen meredakan emosinya sedikit demi sedikit. Dan kemudian suasana di antara mereka pun jadi canggung.
"Tapi di situ tertulis hal yang belum terjadi. Seperti, 'aku meminta Irvan untuk melacak nomor ini' dan itu benar-benar terjadi."
"Bisa saja aku sengaja menulisnya dan membuat itu terjadi agar terjadwal?"
"Bapak tidak mungkin melakukan hal seperti ini. Ini bukan hobi bapak. Dan sebelum itu, aku berpikir bahwa Pak Owen adalah peramal sebelum membaca semua tulisan itu," kata Irvan seraya menunjuk kertas yang dipegang Owen.
Owen tersentak diam sembari menelan ludah serta berkedip sekali. Ia berusaha untuk tetap tenang meski perkataan Irvan sedikit menyayat hati. Kemudian Ia menghela napas panjangnya lalu duduk di atas lantai yang dingin dan kembali menatap Irvan yang kini sedang duduk bersandar membelakangi tirai jendela.
"Aku tak menyangka kau menemukan ini."
"Ya, aku menemukan ini di bawah nisan Eka."
"Irvan, apa kau sudah melacaknya? Apa itu berada di tempat perkara dulu? Jakarta Barat?"
"Sebenarnya aku sudah mampir ke sana pagi ini setelah berziarah. Tapi aku tidak menemukan apapun selain orang yang bernama Ervan, terlalu mencurigakan buatku. Katakan, apa kau mencoba membodohiku?"
"Bapak bicara apa? Jika kau tak percaya lantas mengapa tak lakukan sendiri? Kau bisa melakukannya. Melacak juga keahlianmu, bukan?" jelas Irvan sedikit kecewa.
"Tidak perlu. Dari awal aku tahu kau tidak akan membodohiku. Itulah yang ingin aku katakan tapi entah kenapa setelah beberapa kali melewati waktu dan bekerja sama denganmu justru banyak hal berubah. Memang itu membuatku menemukan banyak petunjuk. Tapi tetap saja aneh, apalagi dengan kau yang menemukan kertas itu."
"Pak Owen menuduhku tanpa bukti."
"Apa kau pikir aku datang dengan tangan kosong? Semua bukti mengarah padamu Irvan."
Owen tetap berbicara dengan mengintimidasi meski sebenarnya dia sendiri hanya memiliki beberapa bukti yang tidak bisa dibilang sebagai bukti. Masih ada yang hilang.
"Apa bapak bercanda!? Tadinya aku berniat menolongmu setelah tahu apa yang telah terjadi hingga saat ini, Pak. Tapi ternyata kau selalu menatapku dengan penuh hal negatif. Selalu berburuk sangka. Katakan, apa aku punya salah padamu? Apakah ini karena Eka? Eka yang menyelidiki hal itu bersama denganku tapi yang mati hanyalah dia?"
Irvan benar-benar tak bisa tenang. Pikirannya sudah dipenuhi dengan emosi sesaat. Karena Owen sendiri pun sudah pasti akan bereaksi yang sama ketika dituduh yang tidak-tidak.
"Hah, sudah kuduga. Irvan mana mungkin orang itu. Aku benar, 'kan? Eka?" Owen mengatakannya dalam hati, merasa cukup lega karena emosi Irvan yang terlihat tulus.
"Cukup sudah."
"Apa!?"
"Kupikir Irvan adalah Ervan lalu dia ada hubungannya dengan Hacker Nata. Lagipula Eka meninggal setelah berusaha untuk melacak jejak Hacker Nata. Dan itu Ia lakukan bersama dengan Irvan, tentu aku mencurigainya. Tapi sekarang apa? Irvan bisa saja membunuhku sekarang. Menghilangkan jejak itu perkara mudah, apalagi jika memiliki backingan dari aparat."
Setidaknya Ia masih bisa bersikap tenang dan memahami situasi yang ada. Di dalam pikiran orang tua ini sungguh kusut. Terkadang Ia menghela napas lalu menggelengkan kepala selama beberapa kali.
"Apa yang dipikirkan oleh Pak Owen? Menuduhku lalu sekarang terdiam begitu saja?" tanya Irvan tampak kebingungan.
"Dengan ini aku yakin. Maaf sebelumnya telah membuatmu emosi. Aku salah sangka. Dan apa kau nanti akan membicarakan soal Hacker Nata lagi?" pikir Owen, Irvan pun terdiam sejenak.
Membuat Irvan berpikir keras. Tapi memang inilah karakter Owen. Bahkan saat Eka juga telah bercerita bahwa Hacker Nata pasti masih hidup pun Owen tak mudah percaya. Owen punya karakter yang kuat dan tak mudah percaya orang lain.
"Pak Owen barusan mengujiku?" Berakhir pada kesimpulan yang simpel.
"Hm, anggap begitu."–Owen berdeham–"di masa sebelumnya, Orang itu mengajak Tris untuk bertemu di sebuah Mall. Aku hanya mendengar suaranya dari penyadap. Dan terkadang suara biasa dan dengan disertai berbagai emosi itu berbeda. Maka dari itu, aku ingin mendengar suaramu yang berbeda emosi."
"Hah, menyebalkan. Jika aku adalah Hacker Nata, maka tak mungkin membiarkan Eka menyelidiki diriku lebih jauh. Apalagi sampai ikut bergabung untuk menyelidiki. Dan mana mungkin mengajak orang lain juga apalagi dia kolot sekali?" ucapnya dengan sedikit menyindir seseorang.
"Aku tahu kau menyindirku. Dan ya … Itu bisa saja. Eka lalu kau saat itu berusaha mati-matian untuk meminta tolong padaku agar membantu. Tapi kan, aku percaya kalau dia sudah mati. Lagipula insiden yang biasa dia lakukan sudah lenyap."
"Pak Owen benar juga. Tapi hasilnya akan berbeda jika bapak ikut waktu itu."
Sekilas, ingatan 3 bulan yang lalu kembali terlintas dalam kepalanya.
"Aku bukan siapa-siapa kecuali pegawai kantoran."