Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Re Time

🇮🇩Xa_Nda
--
chs / week
--
NOT RATINGS
22.3k
Views
Synopsis
Hidup yang paling didambakan oleh semua orang adalah kebahagiaan. Namun bagaimana jika hal itu hancur? Owen Geraldo dikenal sebagai pria workaholic. Ia sudah berkeluarga namun hanya itu saja yang diketahui oleh banyak orang. Tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Kebahagiaan yang selama ini Ia dambakan telah pergi, setelah Ia pulang kerja di tengah malam. Seseorang telah membuat Istri dan putri kecilnya mati dengan mengenaskan. Tapi tak berakhir sampai situ, setelah melihat kematian keluarganya Ia mendadak kembali ke awal. Sehari sebelum itu semua terjadi.
VIEW MORE

Chapter 1 - Pembukaan Waktu Di Rumah

Malam pada dini hari, sekitar pukul 2 pagi.

Beberapa petugas dari kepolisian bersiap untuk menggerebek TKP. Dari luar maupun dalam, penjagaan yang ketat.

Brak!

Mereka mendobrak pintu dan menodongkan senjata, membuatnya terkejut pun terdiam dalam kepanikan.

"Angkat tangan kalian semua!" seru salah petugas yang memimpin tim tersebut.

Tetapi, hal yang tidak diinginkan terjadi. Sosok di balik para kriminal itu sedang menyeringai. Seolah waktu dalam kendalinya, satu persatu ruangan dalam rumah tersebut meledak secara beruntun hingga menyisakan para oknum.

"Cepatlah! Tinggalkan tempat ini!"

"Kau juga!"

Para petugas dilanda kepanikan. Namun, ledakan takkan menunggu. Yang pada akhirnya sudah terlambat untuk menjauh.

Tetapi hanya para pengguna narkoba itu yang selamat, setelah mereka melompat dari jendela. Tapi mereka berakhir ditangkap, setelah salah satunya terluka. Polisi yang berada di kejauhan segera mengamankan.

***

Elysian Residence, di salah satu rumah bertingkat dua dengan halaman berumput hijau asri.

Sekitar pukul 7 pagi,

"Papa! Bangun! Sudah siang! Ayo ke taman belakang untuk bermain!"

Pria tua berjanggut tipis perlahan membuka kedua matanya, Ia terbangun ketika putri manis itu membangunkannya dengan semangat.

"Bermain?"

"Benar! Benar! Sarapan sudah menunggu juga!"

"Ah, baiklah. Aku mengerti."

Dengan penuh keluh kesah, Ia pun beranjak dari tempat tidurnya. Mengelus kepala putrinya yang mungil, sambil tersenyum lega.

"Kau sudah bangun? Ayo kita sarapan lalu setelah itu kita berziarah sebentar," ujar si Istri menghampiri suaminya yang baru saja terbangun.

"Tris, ada banyak yang kulupakan."

Kalimat ambigu itu terdengar seolah sesuatu baru saja terjadi padanya.

"..." Tidak ada jawaban.

Tris, Istri dari pria tua yang bernama Owen Geraldo. Nama panjangnya mungkin asing, tapi Ia asli orang Indonesia. Tahun ini Ia berusia 45 tahun. Cukup tua karena mereka kini memiliki putri yang baru saja masuk SD.

"Kali ini sarapannya apa?"

"Papa, jangan protes. Lagian kan Papa belum mandi. Kenapa sudah duduk di meja makan?" tanya Mia, putrinya yang bermaksud menyindir.

"Ah, itu aku malas." Owen menjawabnya dengan malas.

"Kau ini memang selalu malas. Setidaknya jadilah Papa yang baik agar Mia mencontohmu." Bahkan si Istri pun menganggap perkataan putrinya benar.

"Ya sudah. Aku mandi."

Pak Owen kalah menghadapi mereka berdua. Lantas, setelah mereka sarapan pagi di pagi yang cerah ini, mereka pergi ke halaman belakang rumah.

Berdiri di depan sebuah nisan, bertuliskan nama almarhum, Eka Geraldo. Putra pertama mereka namun sudah lebih dulu meninggal.

"Papa. Mainnya cuman menatap batu ini?" tanya Mia dengan polos, tak mengerti.

"Mia, berdoalah. Agar semua kita dapat dilindungi."

Tentu saja, Owen hanya diam saja. Sebagai Ibunya, Tris lah yang akan menjawab namun dengan perasaan resah setiap kali melihat nisan tersebut.

"Apa Mia mengatakan sesuatu padaku?" tanya Owen, menoleh ke arah mereka berdua yang kini terduduk di depan nisan.

Mia menggeleng, lantas berbisik pada Tris, "Mama, Papa kelihatan sedih hari ini. Apakah mainnya cukup membosankan?"

"Sudah, jangan katakan itu. Papamu memang begitu dari dulu, 'kan?" jawab Tris dengan senyum terpaksa.

Hari ini adalah hari libur di kantor. Owen pun hanya sekadar menonton tv di rumah, sedangkan Tris menyapu halaman. Mia bermain sendiri di kamar dengan boneka-boneka yang Ia miliki.

***

Pada jam 10 malam, pada hari yang sama. Owen masih menonton tv, sedangkan Tris membaca buku di salah satu sofa dekatnya. Mia sudah tertidur sejak sore hari tadi.

Menatap layar tv tanpa berkedip seolah Owen sama sekali tak menonton tv tersebut, sesekali Ia menyeruput kopi yang sudah beberapa kali dihidangkan kembali oleh si Istri.

Sesekali pun Owen menghela napas, ketika melihat jam dinding.

Ketika keheningan yang biasanya mereka jalani setiap hari. Tiba-tiba sebuah telepon rumah berdering.

"Biarkan aku yang mengangkatnya."

Tris mengangkat telepon itu, mendengar apa yang dikatakan oleh penelepon namun nomor itu tampak asing, dan tidak ada di buku catatan teleponnya.

"Tidak. Tidak. Tidak. Maaf tidak. Tidak bisa. Tidak."

Berulang kali Tris mengulang kata yang sama sehingga Owen pun bertanya mengenai telepon itu.

"Siapa?"

Tris menjawab setelah menutup telepon, "Aku pikir hanya orang iseng saja. Karena nomornya tidak pernah tercatat di sana."

"Oh, begitu rupanya. Kalau begitu biarkan saja. Dan duduklah di sini."

"Baiklah."

Selang beberapa menit, telepon itu kembali berdering sekali lagi. Suara dering membuat mereka pening, sehingga Tris pun mau tak mau harus mengangkatnya lagi.

"Ah, nomor ini lagi," kata Tris, mengerutkan kening.

"Tutup saja."

"Tidak bisa, maaf!"

Tris mengatakan kalimat tersebut dengan suara meninggi, lalu menutup telepon dengan marah. Kemudian kembali ke tempat duduk.

Dan sekali lagi, telepon mereka berdering kembali. Owen menyuruh Tris untuk tetap duduk dan membiarkan telepon itu berdering tanpa diangkat sama sekali. Berulang kali, membuat suara televisi tidak lagi terdengar.

Kedua pasangan suami istri itu hanya menatap telepon rumah yang berdering, lagi dan lagi.

"Ck, siapa malam-malam begini?"

Owen pun sudah tak tahan lagi. Lantas ketika Owen berdiri dari tempat duduk, telepon itu berhenti berdering.

"Di kamar," kata Tris yang mendengar nada dering telepon yang berasal dari kamar mereka.

"Ponselnya. Biarkan aku yang mengangkatnya."

Owen bergegas ke kamar, dan ternyata hanya telepon dari atasan.

"Pak Seta rupanya. Ya halo? Maaf–"

"Kau! Ya kau! Daritadi aku menelepon rumahmu, tapi tidak pernah diangkat sama sekali!"

Sembari mendengarkan omelan dari atasan, Owen kembali ke ruang tamu, lalu mengecek telepon rumah mereka. Terdapat dua nomor yang menelpon, satunya adalah Pak Seta yaitu atasan Owen dan satunya lagi adalah nomor asing tak terdaftar.

"Maafkan saya. Karena ini hari libur, jadi saya pikir Bapak takkan memanggil saya."

"Karena hari libur katamu? Bukankah kau sendiri bilang kalau kau akan ke kantor jika ada panggilan desakan meski sedang libur. Apa aku salah?"

"Tidak, tidak. Saya yang salah. Kalau begitu, saya akan ke sana secepatnya."

"Baguslah, Pak Owen! Cepat ya!"

Sebagai pekerja kantoran, mau tak mau Owen harus melakukan standby di saat-saat yang terdesak sekalipun. Owen mendapatkan panggilan dari Pak Seta, direktur utama di suatu perusahaan.

"Tris, aku akan pergi ke kantor. Jangan lupa kunci pintu setelah aku pergi."

"Baik, berhati-hatilah. Apa kau akan membawa mobil?"

"Aku pikir jalan kaki adalah yang terbaik. Tapi aku akan membawanya kali ini," ucap Owen dengan sedikit tersenyum lalu menutup pintu dan pergi.

***

Pekerjaan yang cukup simpel didengar, Owen hanya mencatat beberapa catatan yang kebanyakan salah penempatan pada waktu dan tanggal. Catatan itu cukup banyak hingga menggunung, bahkan menghabiskan 3-4 jam.

Owen pulang ke rumahnya pada jam 2 kurang. Dini hari yang sunyi dan dingin.

"Tris, aku pulang! Tolong bukakan pintu," ucap Owen yang telah berpulang, mengetuk pintu berkali-kali namun tidak ada jawaban.

"Tris? Apa kau sudah tidur?"

Setelah berlama-lama di depan pintu, Owen memegang gagang pintu dan perlahan dapat dibuka. Owen merasa ada yang aneh.

"Bukankah aku sudah menyuruhnya untuk mengunci pintu?" pikirnya dengan gelisah.

Segera Ia masuk ke dalam dan bertepatan dengan suara telepon rumah yang kembali berdering.

"Pak Seta?"

Awalnya Ia mengira bahwa telepon itu dari atasannya lagi. Tapi ternyata salah besar, itu dari nomor asing yang baru-baru ini menelpon mereka.

"Ayo kita bertemu." Itulah kalimat yang terucap dari si penelepon.

Setelahnya, suara bising yang memekikkan telinga terdengar cukup keras. Membuat Owen menutup kedua telinga dengan kesakitan seraya meninggalkan telepon itu dalam keadaan masih tersambung. Perlahan Ia melangkah mundur menjauh dari sana.

Berkali-kali Ia memanggil istri dan anaknya, namun setelah Ia membuka pintu kamar, Owen terdiam dengan menatap dua mayat terbaring bersimbah darah.

"Tris! Mia!" teriak Owen panik.

Yang tidak lain adalah, istri dan putri kecilnya.

Telepon berdering sekali lagi setelah si penelepon itu menutupnya. Owen pergi dan bermaksud untuk menghubungi seseorang, tapi suara bising yang terdengar sejak tadi membuat Owen hilang fokus.

Owen tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat mereka berdua menggantungkan diri di langit-langit kamar, bersamaan dengan telepon dan suara bising itu.

Ia lagi-lagi mendengar suara bising kian mendekat ke arahnya. Berpikir bahwa suara bising itu berasal dari luar, pergelangan tangan Owen pun tergores usai Ia membuka jendelanya.

"Apa ini? Tanganku terjerat!"

Takut terjadi sesuatu pada tangannya, Ia memutuskan untuk diam sementara. Owen kemudian melirik ke arah telepon.

Ingatan tentang sesuatu yang terjadi pada sebuah rumah kosong kembali teringat. Seolah Yang Maha Kuasa ingin pria paruh baya tersebut mengingatnya dalam-dalam.

Owen syok, raut wajahnya pucat. Suara di sekitarnya pun lenyap. Kenangan buruk terus menghantuinya hingga Ia terdiam dalam ketakutan.

Kejadian sekitar 3 bulan lalu, insiden ledakan yang entah siapa yang benar-benar melakukan hal itu. Kasus misteri yang bahkan belum sempat terkuak, akhirnya kembali terjadi di kediaman mereka!

Duar!

***

Saat Ia berkedip, Owen telah berada di ranjang tidur dengan Mia yang berusaha untuk membangunkan dirinya.

"Papa, bangun! Sudah siang!"

Terdiam dan syok sesaat. Napasnya pun terengah-engah, isi kepalanya pun terasa campur aduk tak karuan. Benar-benar aneh.

"Itu tadi mimpi, bukan?" Mungkin bertanya namun Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hal yang lalu adalah mimpi buruk saja, sembari Ia menatap wajah Mia dan kemudian memeluknya erat.