Chereads / Re Time / Chapter 2 - Waktu yang Terulang Kembali

Chapter 2 - Waktu yang Terulang Kembali

Setelah beberapa saat memeluk Mia, Ia pun kembali mengingat apa yang terjadi, pria tua itu lantas berteriak dengan sangat keras hingga menggema ke seluruh rumah mereka. Mia pun ketakutan saat melihat Ayahnya berteriak sembari memegang pergelangan tangannya.

Mia memojokkan diri, menjauhkan diri dari Owen, sebagaimana Ia sudah sangat ketakutan. Lantas, Tris yang juga mendengarnya pun segera pergi ke kamar dan menenangkan Owen.

"Tenanglah. Ini rumahmu. Apa kau barusan bermimpi buruk?"

"Ah, tidak. Maaf. Maaf aku membuat pagi ini semakin runyam. Lagi."

Tris sangat khawatir dengan keadaan Owen. Namun, Owen sudah nampak tenang seperti sedia kala, perilaku dingin itu kembali muncul.

"Sebenarnya mimpi apa yang kau impikan semalam?"

"Tidak. Bukan mimpi, aku yakin!" kata Owen menanggapi hal sebelumnya terjadi itu nyata meski sekarang dirinya bersama dengan keluarga.

"Maksudmu?"

"Kau dan Mia terbunuh. Lalu benang baja melilit pergelangan tanganku saat membuka jendela, kemudian rumah ini meledak."

"Ternyata hanya mimpi, bukan? Lihat? Sekarang, Mia dan aku ada bersamamu. Kemari lah, Mia, Papamu sudah tenang."

Mia masih merasa ketakutan, Ia pun menyembunyikan tubuhnya di balik Ibunya. Owen menghela napas, Ia meminta maaf karena telah membuat pagi ini menjadi berantakan. Tentunya Ia pun meminta maaf pada Mia, karena telah membuatnya ketakutan.

"Papa bermimpi buruk?"

"Ya, seperti itulah." Tris tersenyum ketika menjawab pertanyaan Mia.

"Maaf ya. Setelah ziarah, aku akan membawa kalian pergi sebentar sebagai gantinya."

"Pergi? Liburan? Ke mana?" tanya Mia yang dengan tiba-tiba antusias.

"Tenang, tenang. Habiskan dulu sarapanmu maka nanti kau akan tahu."

Mia pun menggangguk dengan semangat, segera Ia menghabiskan makanannya di meja.

"Apa kau benar baik-baik saja? Katakan sejujurnya."

"Tidak, mungkin ini benar. Seperti katamu, aku bermimpi."

Tampaknya Owen masih tidak berniat cerita hal lebih dari itu karena masih banyak hal yang menjanggal sehingga tak tahu apakah ini perlu diceritakan. Lagipula Tris menganggap itu mimpi. Apapun yang Owen ceritakan hal lainnya mungkin takkan dipercaya.

Owen hanya memegang kepalanya, merasa sakit di bagian itu, berkali-kali Ia mengacak rambut dan berdecak setiap waktu.

"Kau tidak kelihatan baik."

"Ah, tidak. Aku baik-baik saja."

"Jangan kubur dalam-dalam perasaanmu. Setelah apa yang terjadi pada putra kita, kau menjadi begini." Tris berkata namun dengan wajah khawatir sekaligus kecewa.

"Apa?"

"Tidak. Lupakan saja. Segeralah mandi dan sarapan. Katamu kita akan pergi, 'kan?"

Tris kembali menunjukkan senyum itu lagi. Mereka akan pergi tak lama setelah mereka berziarah di halaman belakang.

Saat itu Owen mengerutkan kening lalu berkata dalam hatinya, "Ini benar-benar kembali terjadi. Kita berziarah, lalu kalau tidak salah–"

"Papa. Mainnya cuman menatap batu ini?" tanya Mia dengan polos, tak mengerti.

"Mia, berdoalah. Agar semua kita dapat dilindungi."

Ada alasan tertentu bagi Owen, saat membatin Ia pun mendengar kalimat perbincangan di antara Istri dan Anaknya. Owen pun terkejut, kini Ia menggenggam tangannya kuat-kuat dengan perasaan takut.

Mia berbisik pada Tris, "Mama, Papa kelihatan sedih hari ini. Apakah mainnya cukup membosankan?"

"Diamlah!"

Tanpa sadar Owen membentak Mia di hadapan makam putranya sendiri. Lalu, Owen kembali ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Resah setiap waktu, membuat rencana liburan mereka di hari libur pun dibatalkan.

***

Tris mondar-mandir di depan Owen yang sedang duduk sembari menatap kosong ke arah layar tv. Entah apa yang terjadi, Tris bingung menghadapinya.

Mia pun hanya berdiri di dekat tangga. Memeluk raling tangga dengan perasaan takut terhadap Ayahnya.

"Tidak biasanya dia begini. Dia pasti selalu stabil dalam menghadapi keluarganya. Namun apa yang telah terjadi? Apakah karena mimpi? Seburuk apa? Tidak, bukan mimpi. Aku yakin jika dia menjadi begini pasti ada hal yang tak masuk akal terjadi."

Sembari mondar-mandir persis di depannya, Tris berpikir apa yang telah terjadi pada si suami. Tak lama setelah itu, Ia pun segera menyuruh Mia untuk kembali ke kamar. Dengan begitu, Tris dan Owen dapat berbicara tentang masalah hal ini.

Tris pun terkejut saat kembali, Ia melihat Owen membaca artikel dari ponselnya bukan melihat televisi ataupun tidur.

"Maaf menganggumu. Apa kau tidak ingin cerita? Pasti ada hal yang tak masuk akal sehingga membuatmu begini. Ya, terakhir kali kau bersikap begini setelah 3 bulan lalu. Hei?"

Tris mengajaknya berbicara namun Owen tak menanggapinya. Lalu, Tris pun sedikit demi sedikit mengintip artikel apa yang sedang Owen baca hari ini.

Owen memiliki beberapa pencarian tentang deja vu, lucid dream atau lainnya yang berhubungan dengan hal yang terjadi saat itu. Tetapi, Owen berakhir buntu, sekali lagi berdecak kesal lalu melempar ponselnya ke meja.

"Merepotkan. Kenapa itu terlalu jelas. Bukan mimpi."

"Kau mencari sesuatu?"

"Oh, Tris. Aku yakin itu bukan mimpi. Tapi katamu itu mimpi."

Tris menghela napas, "Ceritakan apa yang terjadi. Maka mungkin aku akan percaya dan dapat membantumu."

Setelahnya, Owen menceritakan hal itu secara mendetail termasuk dengan telepon berdering secara berulang. Namun, Tris tampak tidak percaya. Hal itu terlihat jelas dari wajahnya.

"Semuanya berakhir kacau. Ketika aku mati, semuanya kembali terulang dari pagi ini."

"Aneh sekali. Aku ingat pernah membaca buku cerita, novel. Kasusnya sama sepertimu. Aku ingat itu disebut, re time? Pengulangan waktu," ujar Tris sembari berdeham di akhir dan sedikit berpikir kembali.

"Apa katamu?"

"Ya. Pengulangan waktu. Tapi apakah kau mengingat kita pernah berbicara begini? Jika tidak maka itu hanyalah mimpi."

Owen terkejut, dan benar saja apa yang diperkirakan saat Tris mendengarkan ceritanya. Bahwa itu nyata namun secara tidak langsung Tris menyangkalnya.

"Sudah kuduga kau takkan percaya."

Acara televisi kali ini menyiarkan berita baru-baru ini terjadi. Pada pukul 12 siang, ledakan terjadi di beberapa rumah, serangan acak yang diduga ulah teroris. Namun, pernyataan itu juga dikuatkan oleh bukti yaitu, bom waktu itu sendiri.

Serangan acak yang tak kenal waktu maupun tempat namun sepertinya targetnya adalah rumah petugas kepolisian.

"Sepertinya akan terjadi hal buruk," ucap Tris berwajah khawatir.

"Jangan bilang begitu. Target teroris takkan mudah ditebak seperti ini. Lagipula, kita tidak mempunyai anggota keluarga kepolisian lagi kecuali putramu."

"Lalu target mereka?"

"Kemungkinan besar, kawanan mereka? Tapi tidak mungkin kalau sampai mereka harus menelpon setiap targetnya," kata Owen

"Eh? Telepon? Maksudmu kau masih menganggap telepon yang barusan dibicarakan itu bukan mimpi lagi? Lalu kawanan mereka? Tapi berita itu katanya adalah polisi sebagai target mereka."

"Terserah kau percaya atau tidak. Mereka selalu menelpon setiap target mereka sebelum dibunuh. Dan bukan rumah seorang polisi, itu hanya dalih karena korban pertama adalah polisi itu."

"Kenapa kau mengetahui hal itu? Kau bukan seorang polisi, kan? Kau ingat pekerjaanmu sekarang apa?" tanya Tris dengan rasa curiga pada suaminya sendiri.

"Apa? Kau tidak perlu tahu soal itu. Aku tahu karena aku memang tahu yang seharusnya. Dan ingat, jangan katakan apapun lagi soal berita ledakan oleh bom waktu itu pada yang lainnya. Dan jangan sampai kau mengangkat telepon dari nomor asing. Kau mengerti, Tris?"

Tampaknya Owen sangat menanggapi hal yang terjadi pada saat itu secara serius. Lantaran, hatinya masih mengebu, detak jantung tak hentinya berdetak dengan sangat keras hingga rasanya ingin keluar. Owen mendapat firasat tak enak jika Ia tidak melakukan sesuatu pada hari ini.

Owen pun pergi ke kamarnya sambil membawa ponsel. Ia menghubungi direktur dengan ponsel pribadinya segera pada siang ini.

"Pada tanggal 23, tepatnya seperti kemarin. Tapi nyatanya ini baru saja tanggal 23. Jika Adinda memang masih bekerja untuk menyatat catatan itu sebelum diriku, maka kejadian itu adalah kenyataan."

Selang beberapa waktu, akhirnya Pak Seta mengangkat telepon.

"Ya, ada yang bisa ku bantu, Pak Owen?"

"Maaf menganggu. Saya ingin bertanya apakah benar Adinda saat ini berada di kantor?"

"Ya. Kau benar. Adinda salah menyatat di bagian tanggal dan tempatnya. Semua itu salah kaprah. Maka dari itu aku segera memanggilnya pagi ini. Tapi kenapa kau tahu?"

"Maaf soal itu. Saya pikir, menggantikan Adinda akan jauh lebih baik."

"Oh, yang benar?"

"Ya. Daripada menunggu nanti malam."

"Wah? Kau seperti peramal. Padahal aku berniat memanggilmu malam ini jika catatan Adinda tak kunjung selesai." Pak Seta sedikit tertawa.

"Kalau begitu saya segera ke sana."

Owen menutup telepon. Menghela napas, sesaat Ia melihat ke arah luar jendela dengan kerutan di keningnya.

Tanggal 23 sekitar pukul 2 dini hari. Itulah yang akan terjadi jika Owen akan mengulangi setiap kejadiannya.

Namun, ada beberapa kejadian yang tak ingat dalam beberapa waktu di pagi maupun siang ini. Seolah, kejadiannya rumpang.

"Kau akan pergi ke mana?" tanya Tris menghalangi pintu kamar, melihat Owen kini sedang berganti baju.

"Aku akan pergi ke kantor. Ingat, jangan terima telepon dari nomor asing terutama pada jam 10 malam," kata Owen memperingatkan Istrinya sekali lagi.

Terlihat, Tris berwajah sedih. Kecantikannya seolah memudar begitu mendapat perlakuan dingin dari suaminya. Seolah-olah, ada dinding yang menghalangi mereka dan membuat jarak di antara mereka semakin melebar.

"Kau akan kembali?"

Ketika, Owen menyadari bahwa Tris sebenarnya tidak ingin ditinggal. Ia pun sekali lagi menghela napas, usai merapikan kemeja yang Ia kenakan. Owen berjalan menuju ke arah pintu.

"Maafkan aku jika selalu bersikap kasar padamu dan anakmu. Tapi, Tris, kau mungkin tak percaya. Bahwa apa yang ku ceritakan itu adalah kebenaran. Namun, penyebab dari pengulangan waktu-ku, aku tidak tahu."

"Aku bertanya apa kau akan kembali?"

"Tenang saja. Aku akan kembali dan menyambut kalian dengan banyak cemilan. Dan ingat apa yang barusan kukatakan? Jangan angkat telepon dari nomor asing terutama pada saat jam 10 malam."

Owen pun pergi meninggalkan rumah. Bergegas menuju ke kantor untuk menyelesaikan tugas, dengan begitu Ia takkan ke manapun saat malam hari.

Mia pada saat itu tidak sengaja menguping pembicaraan kedua orang tuanya di dekat tangga bagian atas. Ia memeluk bonekanya dalam posisi duduk di lantai.

"Apakah Papa dan Mama bertengkar? Tapi jika benar maka seharusnya kakak akan datang dan membantu mereka."

***

Di dalam kantor, dengan serius Ia menatap layar komputer dan beberapa catatan yang tersebar di mejanya. Mengetik lalu menulis sembari memikirkan cara untuk menghadapi kejadian yang mungkin akan terjadi pada malam ini.

"Pak Owen, kau tidak perlu terburu-buru. Karena ini hari libur jadi jangka waktunya bisa diperpanjang."

Pak Seta memperhatikan pekerjaan Owen di meja dekatnya. Setelah lama diperhatikan, Owen terlalu berkerja keras.

"Tidak apa, pak. Lagipula ini memang pekerjaan saya."

"Janganlah begitu. Padahal Pak Owen sudah seharusnya pensiun, 'kan? Sejak 3 bulan lalu."

Tangan Owen berhenti sejenak ketika mendengar perkataan itu.

"3 bulan lalu, Bapak mengingat sesuatu?"

"Ya. Anakmu, Eka sudah bekerja 5 bulan lamanya. Tapi kau tetap memaksa untuk terus bekerja sampai anakmu terbiasa dengan pekerjaan mengejar para penjahat. Benar kan?"

"Benar sekali. Eka, anak itu aku biarkan bekerja menggantikanku selama 5 bulan. Tetapi, saat aku memutuskan untuk pensiun justru terjadi hal tak terduga."

Tangan Owen kembali bekerja. Lantas Seta meminta maaf karena membuat Owen mengingat kejadian hal buruk itu.

"Saya akan segera menyelesaikan hal ini secepatnya. Setidaknya sebelum sore hari ini tiba."

***

"Mama, Papa ke mana?" tanya Mia sambil menuruni tangga.

"Mia? Apa kau telah tidur siang?"

"Tidak. Aku sama sekali tidak bisa tidur."

"Oh, begitu. Kemarilah, Mia. Mamamu akan membuatmu tertidur pulas dan saat kau terbangun nanti, Papamu akan datang dan menyambutmu."

Dengan senang hati, Tris membuat Mia berbaring di atas pahanya. Sembari bersenandung, membuat Mia terlelap dalam waktu singkat.

"Mia, setiap waktu akan terus berjalan. Tidak mengenal sesuatu, maka akan membuatmu rugi. Tapi maafkan jika Mamamu tidak bisa memberitahu tentang kebenaran."

Tris mengelus kepala putrinya dengan sangat lembut. Di balik senyum seorang Ibu adalah kegelapan tak berdasar yang tak ingin hal-hal buruk terjadi pada keluarganya. Karena itu, Tris selalu tersenyum meski sedang merasakan firasat buruk sejak tadi pagi.

"Mama, jangan sedih ya?"

"Oh, Mia? Kau terbangun?"

"Mama, Papa akan kembali kan? Kalau begitu bersama dengan kakak?"

"Rupanya kau hanya melindur," ucap Tris sedikit tertawa kecil di akhir.