Chereads / Re Time / Chapter 6 - Berpura-pura Tidak Tahu Menahu

Chapter 6 - Berpura-pura Tidak Tahu Menahu

"Papa, bangun! Sudah pagi!"

Owen kembali mengulang waktu pada tanggal 23 ini. Ia terbangun dengan syok begitu mendengar ponselnya berdering.

Segera, Owen mengambil ponselnya lalu melihat bahwa ada telepon yang masuk.

"Ya?"

Tertulis nama Pak Seta, Direktur suatu perusahaan.

"Selamat pagi. Maaf menganggu. Apakah hari ini kau ada waktu?"

"Maaf."

Owen menutup teleponnya. Lalu menghela napas ketika melihat wajah Mia. Anak yang kedua.

"Lagi-lagi. Setiap salah satu tidak, mereka mati. Pasti pengulangan waktu akan terjadi. Kenapa?"

Keluhan yang diderita. Mengusap wajah lantaran masih tidak percaya dengan hal-hal tak masuk akal. Tapi kenyataannya, ini benar-benar terjadi.

"Papa?"

"Iya? Kau butuh sesuatu, Mia?"

Mia menggelengkan kepala, "Tidak. Soalnya aku khawatir sama Papa."

"Begitukah? Benar-benar anak yang baik." Owen mengelus kepala anaknya dengan lembut lalu tertawa kecil.

Mendengar itu dari dapur, Tris ikut senang.

"Sarapan pagi sudah siap. Apakah kalian tidak lapar?"

Tris mulai memanggil mereka untuk sarapan pagi hari ini.

Benar sekali, pagi hari yang cerah. Dengan rumah yang terlihat sederhana bertingkat. Halaman belakang dan depan pun nampak asri. Penghijauan oleh rerumputan dan desiran angin yang membuat sejuk di dalam rumah. Kehangatan keluarga pun, sulit tuk digantikan.

"Sepertinya, aku tidak boleh memberitahukan masa depan yang mungkin akan terjadi. Jika tidak, entah waktunya yang terlalu cepat, atau bahkan setiap kejadian dalam beberapa waktu tertentu akan hilang."

Menikmati sarapan pagi dengan bersama keluarga, tentu membuat mereka bahagia. Tapi tidak dengan Owen, Ia tersenyum dalam hati yang rapuh.

Mengingat setiap kematian, berulang kali terjadi. Terus-menerus hingga merasa bosan dibuatnya. Mungkin, hatinya takkan kuat untuk menahan beban itu semua. Bisa saja dirinya akan gila.

"Aku akan lakukan sesuatu. Tapi tidak boleh mencolok," pikir Owen sembari menyuap sesendok terakhirnya.

"Aku habis duluan!"

"Tidak, tidak. Papa duluan yang habis!"

"Eh? Kenapa? Papa itu laki-laki, harusnya mengalah, dong!"

"Haha, kenapa jadi kontes makan?"

Mereka semua tertawa di atas meja makan setelah menghabiskan sarapannya. Kemudian, meneguk segelas air secara bersamaan. Mengucapkan rasa terimakasih serta menatap pemandangan di depan mereka.

"Setidaknya, kami bersyukur telah diberi hidup, makan dan minum. Lalu kebahagiaan."

Tris mengucapkan kalimat itu, seolah Ia adalah penyair. Mampu mengait hati Owen yang kini rapuh. Membuat sang kepala keluarga tersentuh, dan tanpa sadar itu membuatnya sekali lagi berharap.

Owen tertawa diam-diam.

"Papa?"

Mia menyadari bahwa Ayahnya senyum-senyum sendiri, mengira ada sesuatu. Lalu, Owen menjelaskannya.

"Papa senyum-senyum sendiri."

"Ah, maaf. Papa hanya terharu saja."

***

Setidaknya sekali saja Ia berharap. Maka doanya 'kan terjawab oleh Yang Maha Kuasa.

Pria yang memiliki rambut berwarna putih di balik rambut hitamnya yang lebat. Duduk di atas sofa, mengenakan pakaian santai dengan menatap layar laptop dan segelas kopi di atas meja.

Sembari menyangga tangan kirinya dan mengetuk jari tangan kanan ke meja berulang kali. Terlihat wajahnya yang serius, menandakan Ia sedang berpikir.

Pagi menjelang siang. Mia bermain ke rumah tetangga. Dan Tris duduk di sebelahnya untuk membaca buku.

"Kalau sulit lebih baik beristirahat sejenak," ucap Tris pada Owen.

"Oh, ya. Mungkin kau benar. Ngomong-ngomong apakah kau sedang sibuk? Aku ingin kau mengambilkan selembar kertas untukku."

"Tidak masalah. Aku akan mengambilkannya."

Setelah Tris mengambil selembar kertas padanya. Owen segera menulis dengan pena yang ada di dekat laptop.

Bukan tentang pekerjaan, Ia menulis sesuatu yakni tentang kejadian yang telah Ia saksikan sejak pengulangan waktu yang pertama.

"Hari ini libur. Aku pikir kau takkan diganggu oleh pekerjaan kantor."

"Yah, Pak Direktur membuat produk baru untuk perusahan. Aku memang tidak terlibat dalam produk barunya, tapi aku disuruh untuk membuat banner pengiklanan untuknya."

"Oh, pantas saja."

"Ini mungkin mudah. Tapi aku sedang kehabisan ide saat ini. Apalagi, barusan aku menutup telepon dari atasan dengan tergesa-gesa."

Owen menutup layar laptopnya ketika Ia mulai buntu. Saat Owen meminum kopi yang saat ini masih hangat, tanpa sengaja Tris mengintip isi catatan yang barusan ditulis oleh Owen di atas selembar kertas.

Selang beberapa detik, Tris membacanya. Kemudian kembali membaca buku begitu Owen menaruh cangkir kopi yang sudah kosong melompong.

***

Pukul 10 malam. Telepon rumah kembali berdering, tepat sesuai yang Owen pikirkan. Kejadian di mana pembunuh akan memulai aksinya ketika Ia pergi dari rumah.

Sebelum pergi, Owen mencatat nomor asing itu di kertasnya. Lalu mengangkat telepon namun tak ada jawaban.

"Sesuai dugaan, Pak Seta masih menginginkan diriku di kantor walau sudah menugaskan sesuatu yang lain tadi pagi," gumam Owen

Sebelum meninggalkan rumah dengan membawa ponsel pribadi yang tetap menyala.

Di layar ponsel milik Owen tertera nomor 110 yang akan segera Ia telpon setelah memencet tombol panggilannya.

"Kunci pintu dengan baik."

"Baiklah. Berhati-hatilah di luar."

Owen berjalan keluar dari rumahnya. Menuju ke salah satu jalan yang di mana Ia dapat mengawasi seseorang yang akan lewat.

Bersamaan dengan hal itu, Owen menelpon 110, nomor polisi. Dan menjelaskan kejadian akan yang terjadi sebentar lagi. Tetapi, hal itu belum tentu akan terjadi. Namun, baru saja Owen menelpon polisi, rumahnya meledak, api membara membakar seluruhnya.

Polisi datang setelahnya. Melihat kejadian itu menjadi nyata dan ada benarnya. Owen tetap berada di posisinya, lantas Ia mulai bingung. Dan mengapa Ia masih berdiri di sana? Tidak ada tanda-tanda Ia akan mengulangi waktu.

"Hei, kamu!"

Salah seorang petugas polisi memanggil Owen. Owen pun bergegas menuju mereka.

"Apa yang kamu lakukan di sana? Malam-malam begini?"

"Maaf sebelumnya, saya yang memanggil polisi. Tapi, laporannya bukan ledakan–"

"Kamu tahu ini akan terjadi? Lalu bagaimana dengan orang yang di dalam rumah? Keluargamu ada di sana bukan?"

"Ya, maaf. Aku–"

"Bapak sangat ceroboh. Damkar akan segera tiba dan menanganinya. Lebih baik, bapak tetap di sini."

Owen tak pernah menyangka kalau kejadiannya terjadi lebih cepat dari biasanya. Ini terlalu tiba-tiba. Bahkan Ia tak tahu harus bilang apa lagi pada mereka. Dan mana mungkin Owen akan menjelaskan bahwa dirinya telah berulang kali mengulangi waktu, yang selalu disebut re time ataupun si penjelajah waktu.

Hal ini tentu di luar akal. Owen pun hanya duduk di dalam kursi mobil polisi sembari memegang ponselnya. Dan selembar kertas di dalam saku jaket.

"Hei, pak? Apa bapak baik-baik saja? Lagian kok bapak tahu kalau akan terjadi ledakan. Dan bukankah seharusnya bapak mengungsikan keluarga agar selamat? Kenapa justru memanggil polisi?"

"Berita ledakan yang terjadi secara acak. Berantai, target mereka petugas kepolisian. Saya pikir ini ada hubungannya, tetapi saya kaget karena ledakannya terjadi begitu aku keluar dari rumah." Harusnya Owen berkata begitu namun akan tetapi, Ia terdiam sebab tak pernah Ia bayangkan bahwa di malam hari akan terjadi ledakan sedangkan yang Ia tahu hanyalah pembunuhan itu terjadi.

"Saya masih kaget."

"Ya, ampun. Ini pasti karena kecerobohan di dapur, entah gas-nya bocor atau apa."

Ketika, Owen dalam kondisi berpikir. Saat itu, Ia baru mengingat telah mencatat nomor itu di kertas yang saat ini ada di dalam saku jaketnya. Lantas, Ia pun bergegas mengambilnya.

"Jika dengan petunjuk ini, maka pelakunya akan segera ditangkap."

Tetapi, setelah Ia mengambilnya lalu membuka lipatan di antara kertas. Saat kedua matanya akan melihat beberapa nomor yang tercatat, namun Owen saat ini sudah mengulang waktunya lagi.

Ia berbaring di atas kasur dengan tangan yang Ia julurkan ke atas. Persis seperti saat Owen hendak membaca kertas itu.

"Hi-hilang? Kertasnya!"