"Mia, jangan kemari!"
Owen memperingatkan Mia agar tetap di dalam mobil. Tidak tega karena pemandangan sadis yang ada di hadapannya, jika terlihat maka mungkin akan menimbulkan trauma besar pada putrinya.
Tidak berselang lama kemudian, Owen kembali ke awal sekali lagi.
***
Tanggal 23, pukul 07.00 WIB. Berziarah ke makam Eka, yakni makam putra mereka yang ada di halaman belakang. Dengan ditemani pohon kecil nan rindang.
"Ah, lelah."
Hanya kalimat itu saat Owen menghadap makam putranya. Ia sangat lelah karena terus-menerus mengulang waktu, setiap kali, setiap waktu, setiap hari. Apapun yang Ia lakukan selalu berujung kematian pada keluarga kecilnya.
"Papa terlihat murung," batin Mia seraya menggenggam tangan Tris.
"Ada apa?" Tris bertanya pada Mia.
Mia menggelengkan kepala, "Aku pikir Papa tidak suka menatap batu."
Pikirannya buntu, kosong melompong. Kali ini Owen benar-benar sudah kehabisan akal untuk mencari cara agar terlepas dari ini semua. Mengingatnya kembali membuat Owen kehilangan semangat, meski kenangan itu bercampur dengan kenangan indah namun yang terburuk selalu terngiang di akhirnya.
Owen yang lesu pun memutuskan masuk ke dalam kamar untuk tertidur di pagi hari ini.
"Tidak baik jika kau tertidur kembali di pagi hari."
"Papa, butuh apa? Mau aku ambilkan sesuatu yang bisa membuat Papa senang?"
Istrinya menasehati dengan baik begitu juga dengan putrinya, Mia menawarkan bantuan dengan tujuan agar Ayahnya kembali senang.
Namun akan tetapi, Owen tidak menjawab mereka sama sekali. Ia menutup pintu kamar lalu berbaring di kasur. Hingga terlelap, seolah dirinya telah menghabiskan waktu semalam untuk begadang.
"Papamu mungkin sedikit lelah karena bekerja?"
"Eh, bukankah ini hari libur? Papa kerja malam lagi ya?"
"Mungkin."
Jam 9 pagi, Tris mendapatkan telepon dari telepon rumah dari seseorang dengan nomor yang tidak tercatat di memori. Nomor asing dan mungkin adalah pelaku ledakan itu.
"Ya, dengan siapa?"
"Ayo kita bertemu."
"Maaf, tidak bisa."
"Mama?"
Mia mencoba untuk meraih Tris namun Tris mengisyaratkan dengan satu jarinya di depan mulut agar Mia diam untuk sebentar. Lalu, Mia pun mengangguk paham lalu kembali duduk di sofa untuk menonton televisi dengan volume kecil.
"Hei, mari kita bertemu. Aku yakin suamimu akan mengerti."
"Apakah kau sedang mengawasi kami?"
"Oh, kau rupanya cepat tanggap. Tak kalah dengan suamimu. Aku bisa bicara begini pun karena tahu dia sedang tertidur. Hei, mari kita bertemu?"
"Untuk apa kau mengajakku bertemu? Kau siapa? Apa tujuanmu?"
Tris melontarkan banyak pertanyaan padanya dengan wajah serius dan sedikit khawatir seraya melirik-lirik ke arah jendela rumahnya.
"Ayo kita bertemu. Mari kita bicarakan tentang kasus 3 bulan lalu, Nyonya Geraldo."
Tris syok saat mendengarnya. Karena di waktu ini, Ia sama sekali tidak bicara apapun pada suaminya tentang kasus yang melibatkan anggota kepolisian. Bahkan, Ia masih tidak mengerti dengan kasus itu, Owen sama sekali tidak menjelaskan.
"Ada apa? Kau terkejut?"
"3 bulan yang lalu. Aku bertanya kau siapa?" tanya Tris sembari memasang dan memulai merekam teleponnya.
Diam-diam Tris melakukan hal itu karena menurutnya ini sangat penting.
"Tidak penting aku siapa. Aku hanya ingin kita bertemu dan membicarakan hal ini."
"Apa? Bicara katamu? Yang meledakkan itu adalah salah satu dari ketiga pengguna narkoba. Dan mereka semua sudah dipenjara."
"Itu sebenarnya adalah pembunuhan rencana. Apalagi dengan orang yang bernama Eka. Itu putramu, benar?"
"Apa maksudmu?"
"Seseorang melubangi tubuhnya dengan pistol sebelum meledakkan rumah itu, tahu."
Lantas, penelepon itu pun tertawa setelah mengatakan kalimat kejam pada Tris.
"Tentunya kau tidak tahu hal ini. Suamimu tidak pernah memberitahukan dirimu karena takut jika kasus 3 bulan lalu, berhubungan dengan teroris. Ya, aku mengerti perasaanmu tapi ini demi kebaikan keluarga kita, dia pasti akan mengatakan hal itu jika kau sudah tahu, Nyonya."
"Suaramu ini dirubah. Kau mengatakan bahwa ada seseorang yang menembak mati anakku sebelum ledakan itu terjadi. Pembunuhan rencana yang kau katakan, pastinya kau lah pelakunya. Benar begitu?"
"Ya, ya, kau benar sekali. Aku tidak akan berbohong tentang aku lah pelaku yang menembak Eka, putramu. Tetapi, kau pasti bertanya lagi, karena kenapa aku ingin bicara padamu?"
"Ya, katakan apa alasannya. Aku bisa saja mengubungi polisi saat ini juga dengan ponselku sendiri. Tapi suaramu dirubah. Entah kenapa aku menjadi tidak yakin jika polisi dapat dengan mudah menemukanku."
"Katakan saja untuk melacak diriku lewat nomor ini. Yah, itupun kalau mereka bisa."
"Kau terlalu percaya diri."
"Sekali lagi, aku katakan. Ayo kita bertemu dan bicarakan hal ini. Kau bisa melakukan apa saja padaku saat kita bertemu, nama, wajah, semua akan aku beritahukan detail dari pembunuhan berencana itu padamu. Aku tidak akan berbohong."
"Di mana?"
***
Pukul 18.00 menjelang magrib. Senja akan digantikan gelapnya malam. Owen terbangun saat mencium aroma harum dari dapur. Ia mencium aroma itu dari jendela yang sedikit terbuka, dan kamar pun juga tidak jauh dengan dapur.
"Jam berapa ini?" tanya Owen sembari mengusap wajah dan membuka pintu.
"Sebentar lagi magrib. Jangan mandi kalau tidak ingin masuk angin," ucap Tris seraya mengaduk masakannya.
"Kau memasak di jam segini untuk apa?"
"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau tertidur pulas sampai jam segini? Bahkan tidak makan dari siang. Maka dari itu aku memasak makanan untukmu."
"Terimakasih."
Ucapan Owen semakin lama semakin singkat saja. Tris dan Mia pun menghela napas saat Owen terlihat tidak ada berubahnya.
"Mia, kau sedang apa? Kemarilah sebentar untuk membantu Mamamu, ya?"
Tris memanggil Mia, putrinya untuk datang ke dapur. Membantu Tris menyiapkan makanan seraya diam-diam berbincang sesuatu tentang Owen.
"Mama, aku masih kecil. Kalau memegang pisau pasti jariku akan berdarah."
"Hanya perlu ambil piring bukan pisau. Kalau sudah selesai, nanti bantu bawakan gelas untuk Papamu, ya?"
"Tapi Mama belum selesai memasak. Apa aku harus menunggu dan berdiri di sini?"
"Ya, temani Mama untuk mengobrol."
"Mama takut sendirian ya?"
"Eh, tidak kok. Mama hanya minta Mia untuk menemani saja," ucap Tris yang sejujurnya ada benih kebohongan saat itu.
Owen pergi ke meja di ruang tamu. Melihat telepon rumah dengan seksama. Lalu, beberapa saat kemudian, Owen menyadari ada satu panggilan masuk. Dan sebuah rekaman di dalamnya.
Owen pun memencet tombol, untuk mendengarkan isi rekaman tersebut.
Ia mendengarkan rekaman suara, di sela-sela suara bising dari televisi. Namun Owen masih bisa mendengarnya walau lirih.
Kata-kata yang terdengar di tengah rekaman suara yang seolah seseorang sedang berbicara sendiri itu adalah,
"Tak seorang pun tahu bahwa itu adalah pembunuhan berencana."
Owen tersenyum tipis, bagai mendapat harta. Petunjuk baru untuk memecahkan kasus sudah muncul!
"Tris yang merekamnya, ya?"