"Tidak kuduga kau datang ke rumahku hanya karena ada seseorang yang belum tentu akan membunuh keluargamu. Lagipula jika itu benar maka seharusnya kau tetap di rumah," ucap Irvan
Barusan yang dikatakan oleh Irvan, seorang programmer itu benar adanya. Namun Owen punya alasan sendiri sehingga mengharuskan Ia berada jauh dari keluarganya.
"Jika aku berada di rumah saat ini maka dia takkan muncul, kau tahu."
"Kenapa kau bilang begitu? Memangnya kau sudah memantau orang itu?"
"Tentu saja tidak. Tapi hanya firasat yang membuatku begini."
"Hm, terserah saja."
Irvan berdeham lantaran tak ada lagi yang bisa Ia katakan.
"Tapi bagaimana cara agar kau tahu siapa pelakunya hanya dengan memonitoring seperti ini? Bisa saja, akan ada tamu yang berkunjung. Oh, apa itu dari gerak-gerik?" pikir Irvan
"Tidak. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana dia akan datang ke rumahku. Tapi yang pasti siapa yang lebih dulu berkunjung dialah pelakunya. Aku yakin!" kata Owen dengan tegas, Ia sangat yakin dengan perkataannya barusan.
"Yah, baiklah. Untuk saat ini tidak ada. Aku akan bilang padamu jika terjadi sesuatu, dan orang tua sepertimu harus berbaring agar tidak mudah letih, ya?"
"Kurang ajar."
Di sela-sela waktu, bahkan Irvan sempat mengejek Owen yang memang sudah tua. Owen pun hanya berkata dua kata.
"Ngomong-ngomong, yang kau katakan tentang kasus 3 bulan lalu. Apa polisi menginterogasi? Tapi sepertinya iya, karena Eka adalah keluargamu."
"Tidak. Bisa dibilang tidak namun iya. Eka adalah keluargaku, tentu mereka akan bertanya sesuatu yang berkaitan dengan insiden itu. Tidak ada hal lain."
"Lalu, apa yang mereka tanyakan?"
"Kenapa kau bertanya?"
"Siapa tahu ada petunjuk. Musuh dalam selimut itu sulit dilacak, tahu."
Owen melirik ke arah Irvan dengan sinis selama beberapa detik sesaat. Lalu berkedip dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
"Sudah kubilang tidak ada. Mereka hanya menanyakan nama, usia dan pekerjaan keluargaku. Lalu memberitahukan apa yang telah menimpa Eka. Mereka berjanji akan menghormati jasadnya pada saat sebelum atau sesudah pemakaman. Hanya itu saja."
"Yakin?"
"Ya."
"Kalau begitu, siapa yang memegang kasus itu?"
"Hei, kau tak perlu sejauh itu."
"Ayolah, Pak Owen. Aku bersedia membantu dan aku bertanya karena memang ini butuhnya. Lagipula, kau sendiri menyaksikan langsung insiden itu, 'kan?"
Owen terdiam, sesaat Ia berpikir sejenak. Memang benar apa yang dikatakan oleh Irvan bahwa Owen berada di tempat kejadian saat ledakan itu terjadi. Tidak terlalu dekat, namun berada di sebrang jalan, Owen melihatnya.
"Dia berada di bawah naungan Inspektur Bahrim, namun sepertinya saat kasus itu dia, Inspektur Agra yang menggantikannya."
"Memangnya kalian bisa melakukan hal itu?"
"Tentu, dengan alasan yang pasti. Entah kenapa aku jadi resah hari ini. Karena setahuku, orang yang telah menelepon dan berencana akan membunuh Tris dan Mia ataupun aku sendiri itu sudah pasti orang dekat. Tapi kenapa, sekarang tidak ada pergerakan? Harusnya begitu aku keluar, dia akan datang ke rumah. Kenapa? Waktu yang sengaja aku kacaukan kembali agar melihat bukti itu langsung, sekarang telah hancur. Menjengkelkan," gerutu Owen dalam batinnya yang kesal.
"Hei, Irvan. Apakah Eka pernah berbicara sesuatu padamu sebelum bertugas di hari itu?" tanya Owen
"Hm, tidak. Kurasa?"
"Ingatlah baik-baik, kau bukan orang tua yang pikun."
"Maaf, maaf. Yang waktu itu, terakhir kali aku bicara dengannya itu soal Kriminal Hacker Nata," kata Irvan sembari meminta maaf karena sulit untuk mengingatnya.
"Dia sudah lama mati. Untuk apa dia bicara begitu?" tanya Owen merasa heran.
"Dia bilang, Hacker Nata yang telah lama diburon dan sekarang sudah dihukum tembak mati karena hukumannya yang sangat berat dan tak terhitung. Aku pikir dia memang masih hidup sampai saat ini, begitulah katanya."
"Hacker Nata? Dia sudah lama mati, kenapa dia sempat bercanda."
"Tapi dia mengatakannya sambil berwajah serius. Jujur, aku sama sepertimu yang tak yakin dengan perkataannya tapi aku diam-diam ikut menyelidiki ini. Namun aku berhenti saat tahu Eka sudah meninggal," kata Irvan
"Oh, ya? Kenapa kau berhenti?"
"Tentu saja aku takut. Hacker Nata, sebutan dari kriminal itu sudah pasti dia adalah peretas yang hebat. Dia pasti akan mengincarku setelah tahu ada seseorang yang sedang menyelidikinya."
"Tapi belum tentu dia masih hidup hingga saat ini. Mau bagaimana pun, kriminal itu sudah diberitakan mati karena hukumannya. Berita itu tersebar luas dari sabang sampai merauke."
"Aku hanya berjaga-jaga saja."
Hingga pukul 12 siang, tidak ada tanda-tanda orang lain yang akan datang berkunjung ke rumahnya. Menghadapi hal ini, Owen justru merasa resah, mengapa orang yang berusaha mati-matian untuk membunuh keluarganya justru sekarang tidak muncul?
Terkadang pun Ia berpikir, apakah karena Owen datang ke rumah yang seharusnya tidak Ia datangi? Sehingga membuat orang itu tidak datang.
Namun, meski begitu ada hal yang menjanggal dalam waktu kali ini. Terasa sunyi hingga tak terdengar suara serangga sedikitpun. Rumah tertutup dan hanya mengandalkan cahaya dengan tirai dari kamarnya.
Seorang programmer bernama Irvan, memang seringkali begini setiap pagi setiap bekerja. Owen merasa ada sesuatu di sini.
"Pak, apakah kau tak nyaman dengan rumahku?"
Owen terkejut saat Irvan bertanya hal yang tepat pada pikirannya saat ini.
"Ya, begitulah. Terlalu sepi."
"Maksudmu kotor?"
"Ya, mungkin begitu." Owen sedikit terkekeh.
Hingga waktunya bergulir. Seolah waktu telah bergerak dengan sangat cepat membuat Owen semakin cemas karena tak adanya orang yang beraksi.
"Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Lagi-lagi Owen menggerutu lalu berdecak kesal.
"Kau orang aneh. Kadang kesal kadang serius. Bisa tidak katakan sesuatu yang mungkin bisa saja jadi petunjuk?"
"Kalau begitu akan aku katakan padamu. Dia adalah orang terdekatku."
"Dia maksudmu adalah orang yang akan membunuh keluargamu? Aku bahkan sampai tak percaya, tapi bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Tidak ada orang yang akan mengincar keluargamu, Pak Owen. Tetangga akan segan walau hanya sekedar mengambil iuran," ucap Irvan dengan lagaknya yang membuat Owen jengkel.
"Terserah padamu. Percaya atau tidak, itu kenyataan."
Kadangkala berkelahi karena berbeda pendapat itu wajar. Owen pun mendesah lelah, dan memutuskan untuk berbaring di ranjang kasur milik Irvan di kamarnya. Berpikir tentang kemungkinan memang itu masih belum jadi kenyataan, karena hal itu masih menjadi bayangan.
Kemisteriusan pengulangan waktu pun berlaku sama. Walau mendapat nasib yang berulang, dirinya mungkin takkan bisa mengubah kenyataan. Itulah yang dipikirkan oleh Owen saat berbaring.
"Irvan, kau sudah berziarah ke makam anakku?"
"Maaf, selain memberikan bantuan untukmu. Pekerjaanku masih banyak. Mungkin akan sempat di sore hari," jawab Irvan seraya menatap layar monitor.
"Begitu, ya."
Pikiran orang tua yang letih, tak seperti pemuda jaman ini yang hanya sebatas hiburan. Mereka akan mengeluh kalau sesuatu terjadi tak sesuai yang diinginkan.