Chereads / Revolution Of The Insecured / Chapter 2 - Chapter 1 - Hari 0

Chapter 2 - Chapter 1 - Hari 0

Tiran mendiamkan tubuhnya berdiri di depan cermin, entah sudah berapa lama. Ekspresinya datar. Kedua matanya disangkutkan pada kedua mata identik di cermin yang juga menatap kearahnya.

Tubuh proporsional, cukup tinggi, rambut tertata rapih, bibir terawat, mata tanpa kantung mata, alis menonjol, dan bentuk wajah serta hidung yang lezat dipandang dari berbagai sisi.

Laki-laki itu perlahan tersenyum. Senyum berubah menjadi seringai. Seringai itu kini menghiasi wajah tampan yang dimahkotai rambut rapih tersebut.

"Tiran. Kau tampan seperti biasanya."

Dia menutup mulutnya dengan satu tangan. Tidak menyangka bagaimana manusia sesempurna dia bisa ada di dunia?

Tangan dengan otot terbentuk meraih sebuah kacamata hitam diatas meja. Dengan perasaan puas si pemuda meletakkan kacamata itu di kepalanya dan membawa langkahnya keluar rumah, memasuki mobilnya setelah menekan tombol di genggamannya.

Dia membawa mobilnya melewati jalanan area perumahan, keluar kota, mengunjungi sebuah bar yang keberadaanya hanya diketahui oleh orang-orang dengan kepribadian dan gaya hidup yang serupa dengan miliknya.

Mobil terparkir. Sebuah kaki yang terbalut dengan kain hitam dan teralaskan dengan sepatu kulit cokelat berpijak diatas tanah, keluar dari mobil, disambut dengan sosok pemuda super atraktif yang menyembul keluar dari pintu setir, membawa kaki yang satunya keluar, menoleh kebelakang dan bisa melihat segerombolan perempuan dengan pakaian terbuka, tatanan rambut salon, dan make up dengan berbagai warna sudah menunggu kedatangannya sejak mobil sedan putih yang dikendarainya memasuki area parkir bar.

"Tiran.... Kau tampan sekali!!!"

Salah satu perempuan berseru. Tiran memamerkan senyum ramahnya.

"""""AAAAAA!!!!""""

Dia tersenyum puas didalam hati. Menutup pintu dan menekan tombol kunci, dia membiarkan para perempuan itu bergerombol mengikutinya memasuki area bar.

Musik ribut dan gema orang-orang yang berbincang dan berseru menyambutnya.

Perempuan-perempuan itu akhirnya berhenti mengikutinya ketika sang idola berjalan kearah spot biasanya.

"Biasa?"

"Biasa."

Tiran memasang seringai kepada sang bartender. Si bartender juga membalas dengan seringai miliknya dan mulai meraih gelas, membuat minuman untuk si pelanggan.

Si pemuda yang sudah duduk di bangku kusion meletakkan satu sikutnya di atas meja bar dan menyandarkan kepalanya pada tangan itu.

Dia menontoni bagaimana orang-orang sibuk bersama kekasih dan kekasih-kekasih mereka, berbincang dengan orang lain, berdansa riang hingga melompat-lompat, dan meminum minuman mereka.

"Ran!"

Teman-temannya menghampirinya. Sandra meraih bahu Tiran dan menggosok kepalanya dengan buku-buku jari miliknya.

"Aw!!"

"Dra. Sampai kapan kau akan memperlakukan anak itu seperti adikmu?" Yema menertawai tontonan didepannya.

"Sandra memperlakukan Tiran seperti adik tapi kau memperlakukannya seperti anakmu."

Yema mengangkat bahu mendengar ucapan Fahen. "Tiran terlalu lucu."

Sandra akhirnya berhenti membuat tatanan rambut Tiran berantakan tapi masih setengah memeluk kedua bahunya.

Tiran sudah tidak bisa marah lagi dan hanya menggerakkan kedua tangannya merapikan rambutnya kembali.

"Sudah pesan minum?"

"Sudah."

Tiran menjawab pertanyaan Fahen, dan sang bartender menyajikan gelas di sebelahnya.

"Kal. Aku mau coba minuman anak ini."

"Aku yang biasa. Dia juga."

"Siap."

Sang bartender kembali sibuk membuat minuman untuk Yema dan Sandra, juga Fahen.

Tiran menggerutu. "Bagaimana permintaanku?"

Yema terkekeh. "Kau dan kepribadian gila kerjamu." Dia menyeringai. "Sudah beres. Kau tau kau bisa mengandalkan kakak kakakmu ini."

"Kau yang paling muda, tapi kenapa justru kami yang bekerja untukmu?" Sandra merintih.

Tiran tidak peduli dan mulai meminum minumannya. Yema dan Fahen meraih bangku dan menyeretnya mendekat ke bangku Tiran. Sebuah bangku lain juga diambil untuk Sandra.

"Orangtuamu menghubungimu?" Fahen bertanya.

Tiran mengangkat kedua bahunya dengan mulut masih berada di sedotan. Ketiga orang yang duduk seolah mengelilingi si pemuda cemberut.

"Besok ada kegiatan?"

"Tidak." Tiran menjawab pertanyaan Yema setelah berpikir sebentar.

Yema menyeringai. "Kalau begitu kita jalan-jalan saja. Ayo kita ke Bali."

"Ayo! Fahen!" Sandra berseru dengan masih setengah memeluk Tiran. Memberi kode pada Fahen untuk menyiapkan cara mereka pergi. Fahen mendecih tapi tetap mengambil hp dari saku celananya.

"Serius?" Tiran mengerutkan kening.

Yema tertawa. "Kenapa aku harus bercanda? Kau sudah terlalu banyak berkutat dengan bisnismu. Tidak ada salahnya libur sebentar."

"Ran, oh ran. Kakakmu ini tidak akan membiarkanmu sendirian!"

Sandra menggosokan kepalanya pada kepala Tiran. Membuat rambut mereka sama-sama sedikit berantakan. Dirinya tetap tampan bahkan dengan rambut berantakan jadi Tiran tidak berniat repot-repot merapikan rambutnya lagi.

Keempat sahabat itu berbincang hingga malam. Tidak seperti Yema dan Sandra yang memesan minuman beralkohol, Tiran tidak mabuk, dan memang belum pernah mabuk sebelumnya.

Ketiga kakak-kakaknya pulang, begitupun Tiran yang mengendarai mobilnya kembali pulang. Tiran membuka pintu rumahnya yang terkunci, menaiki tangga ke kamarnya, dan mulai melakukan rutinitas sebelum tidurnya.

Mandi, memakai skincare, meminum air hangat dan vitamin, mengenakan pakaian tidur, dan membawa tubuhnya berbaring diatas kasur empuknya.

Tiran memejamkan mata dan tertidur seperti biasanya.

***

"Tunggu. Ini bukan wajahku??"

Si pemuda terbangun dan membuka matanya, merasakan sensasi berbeda dengan bentuk wajah dan tubuhnya.

Sebuah cermin berbingkai plastik tergeletak diatas meja. Tiran berinsting untuk meraih cermin itu, dan kata-kata itulah yang langsung keluar dari mulutnya.

"Ini bukan kamarku."

Tiran berjalan cepat kearah sebuah pintu yang terbuka.

"Ini bukan rumahku."

Dia buru-buru menyibak gorden jendela, melihat dimana dirinya berada.

"Where the hell is this???"

Pemandangan yang dia lihat adalah rumah-rumah kumuh, dengan anak-anak bertubuh kurus dan orang tua berusia lanjut dengan kulit yang sudah sangat keriput.

"Tunggu." Tiran terdiam ".....Ini bukan suaraku?"

Dia akhirnya menyadari suaranya yang juga berbeda dari yang biasa dia dengar.

"Mimpi?"

PLAKK!!

"AWWW!!"

Kedua matanya melotot.

"Astaga. Bukan mimpi? Tidak mungkin. Mukaku berubah dalam semalam?!!"

Tiran kembali ke ruangan tadi dan merampas cermin yang terbaring di atas kasur busa, melihat penampakan wajahnya lagi

"Kemana perginya wajah tampanku?!"

Bagi Tiran, wajah dan tubuhnya adalah hal yang paling berharga di dunia. Tubuh siapa yang dia tempati saat ini?

"WHERE THE HELL IS MY MONEY??!!!"

Hal yang paling penting bagi seseorang setelah penampilan adalah uang.

"HP?"

Lalu ponsel.

Tiran menemukan sebuah ponsel layar sentuh yang memiliki retakan di beberapa sisi. Ketika tombolnya ditekan, layarnya tetap berwarna hitam. Hanya saja ada tempat scan sidik jari disana. Dengan ragu-ragu Tiran menekankan jempol kanannya di sana. Sedikit terganggu dengan bagaimana wajah baru non-atraktif nya terpantul di layar gelap ponsel di tangannya.

"Ya Tuhan. Sidik jarinya cocok."

Tidak ada banyak aplikasi di sana. Hal pertama yang dia lakukan adalah menghubungi nomor teleponnya sendiri. Karena itu adalah satu-satunya nomor yang dia ingat.

"Nomor yang Anda tekan, salah.."

Tiran mengerutkan dahi.

Begitu dia menekan tombol tutup, dia mengecek tanggal. Terperanjat dengan angka yang terlihat di layar ponsel di tangannya.

Tahunnya menunjukan angka setahun sebelum tahun dimana semalam dia tidur. Dia baru saja mengganti nomornya bulan lalu. Pantas saja nomornya tidak bisa dihubungi.

....Jadi aku ada dimasa lalu, dan ada di tubuh orang lain?

Tok tok tok.

Suara datang dari arah pintu di luar kamar. Dengan ragu-ragu dia menggerakkan tubuh yang bukan miliknya itu kesana.

Dia mengintip jendela terlebih dahulu dan melihat salah satu nenek yang tadi dia lihat bersama anak-anak ada didepan sana.

"Vian. Kamu tidak sekolah?"

Tiran merasa lemas dengan situasi saat ini.

Sekolah?

"Sudah hampir jam 7. Kau sakit?"

Dengan ragu-ragu Tiran memutar kunci yang menempel di pintu dan membuka pintu kayu itu.

Sang nenek memandangnya dengan raut wajah khawatir. "Vian?"

Sebuah tangan kurus dan keriput terulur ke pipi Tiran. "Kamu sakit? Nenek merasa ada yang berbeda dari kamu."

Tiran masih tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Teman temanmu mengganggu lagi? Tapi kamu tidak luka kan? Bagaimana seragammu?" Yang ditanya hanya bisa diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Setidaknya dia kurang lebih mengerti situasinya saat ini.

"...Y-Ya? Teman temanku?"

Menganggu? Aku?

"Tidak."

Dia belum pernah terluka. Dan seragam? Sudah lebih dari 6 tahun dia tidak membutuhkan seragam.

"Seragam.." Tiran bergumam pelan.

Sang nenek menghela nafas sedih. "Nenek sudah menyiapkan seragammu hari ini."

Tangan yang tadi ada di pipi Tiran ditarik kembali, dan beliau sedikit memutar tubuhnya, mengeluarkan pakaian dari selendang yang tersampir di bahunya.

Nenek menyerahkan kemeja putih dan celana abu-abu yang terlipat rapih dan Tiran menerimanya.

"Siap-siaplah atau kamu akan terlambat."

Tangan tadi kembali terulur dan kali ini mengusap kepala Tiran yang sedikit lebih tinggi darinya.

"Nenek mau nyuapin Maya. Kalau butuh bantuan bilang saja, oke?"

Tiran terdiam sebentar sebelum mengangguk. Nenek tersenyum lembut dan mulai berbalik kembali ke anak-anak tadi.

Sedangkan Tiran memutuskan untuk masuk membawa sepasang seragam ditangannya.

Dia menemukan jam yang ada di dinding. Jam menunjukkan pukul 7 kurang 15.

Tiran mengerutkan kening.

"Sekarang aku harus apa?"

Pergi ke sekolah si pemilik tubuh ini, atau diam disini, di rumahnya?

Setelah mengutuk akhirnya dia kembali lagi ke kamar Vian.

04/06/2022

Measly033