Dirinya tidak sabar untuk pulang. Dia akan pulang dan membersihkan kamar mandi kotor dan bau itu dengan kedua tangannya sendiri.
Pelajaran berlanjut. Tiran mendengarkan penjelasan para guru seolah dirinya sedang menonton kegiatan belajar mengajar para anak SMA.
Dua jam istirahat dia lalui dengan berdiam diri di bangkunya. Tidak tertarik sama sekali untuk keluar kelas, mungkin ke kantin seperti anak-anak lain. Demi Tuhan dirinya belum pernah semiskin ini dalam hidupnya. Uang hadiah dari Ansel terlipat rapih di saku seragam pramukanya.
Dia melirik buku tulis Vian yang dia gunakan sejak tadi untuk mengerjakan tugas dari para guru. Dirinya sudah berkali-kali berdecak di dalam hati ketika menulis dengan pinsil tumpul Vian. Jika tidak ada rautan, maka dia akan meminjam pisau dari nenek Rana untuk menajamkan pinsil itu.
Bel tanda pulang berbunyi. Tiran berjalan dengan tas Vian di bahunya. Ketika dirinya sudah berada di sisi lapangan, suara seseorang menyita perhatiannya.
"Vian! Mau kemana kau?!"
Ketika Tiran menoleh ke asal suara, yang dilihatnya adalah seorang anak perempuan, yang paras wajahnya membuat Tiran merasa tidak senang.
Anak perempuan itu menghampirinya. Tangan kanannya terangkat, dan di luar dugaan Tiran, telinga kirinya ditarik hingga tubuhnya membungkuk.
"What the fuck?!!" Tangannya langsung dia gerakkan meraih tangan bocah gila itu tapi tiba-tiba tangan itu ditarik pergi oleh pemiliknya.
Ketika Tiran mengangkat wajah dengan raut wajah kesalnya, hal yang dia lihat adalah wajah si anak perempuan gila yang terlihat seolah dirinya baru saja tidak sengaja menyentuh sebuah panci panas.
Kedua tangannya tertangkup didepan dadanya.
"K-Kau, kau berani berteriak padaku?!" Anak itu terlihat takut sesaat sebelum terlihat berusaha memperoleh keangkuhannya kembali.
Tiran masih dengan wajah terganggunya menundukkan kepala ke arah bordir nama seragam anak didepannya.
Aurel Materica.
Tiran mengerutkan kening melihat nama aneh anak perempuan itu.
Materica? Matere dan setrika?
Dil uar dugaannya tiba-tiba anak yang bernama Aurel itu membuat pose menutupi tubuhnya.
"Orang gila. Kau lihat apa?!"
Tiran yang masih sibuk dengan pikirannya tidak menyadari kedua tangan yang melesat menjambak rambutnya.
"AAAAAAHHH!!!"
"KAU LIHAT APA?! DASAR LAKI-LAKI BERPENDIDIKAN RENDAH!!"
"Aurel!!"
"Aurel!!"
Aurel tampak menyadari kedatangan murid lain dan tiba-tiba melepaskan rambut Tiran begitu saja, lagi-lagi sebelum Tiran berhasil meraih tangan anak itu.
"Aurel. Dia melakukan apa?" Seorang anak laki-laki mendekap bahu Aurel.
"Dia menatapi dadaku!"
"What the fuck?" "Ha???"
Si anak laki-laki mengutuk sedangkan Tiran tercengang. Dia melotot marah. Tapi sebelum dia berhasil mengucapkan apapun, dua tangan kuat meraih kerah bajunya. Menarik tubuhnya hingga dirinya harus sedikit berjinjit.
"Vian. Kau lambat dan bodoh. Kau juga mata keranjang??"
Anak di depannya berujar marah. Tiran yang sebelumnya masih terlalu terkejut dengan kerahnya yang ditarik tiba-tiba perlahan mendapatkan kesadaran dirinya.
"Bocah ini. Kau bicara apa?!"
Tiran begitu terganggu dengan perkembangan situasi ini.
Bocah laki-laki di depannya tiba-tiba mengayunkan tangannya, meninju sisi wajah Tiran. Tiran yang wajahnya terhempas dilepaskan oleh anak itu. Dirinya yang belum sempat mendapat keseimbangan tubuhnya langsung tersungkur jatuh kesamping.
"ADA APA INI?!!!"
Suara wanita dewasa menarik perhatian semua orang. Termasuk Tiran yang masih tersungkur di atas paving blok area sekolah.
"Siapa nama kamu?!"
Seorang guru perempuan disusul beberapa guru lain menghampiri anak yang baru saja meninju Tiran, menginterogasi anak itu.
Si anak laki-laki tidak menjawab. Tapi sang guru tidak peduli.
"Telepon orangtua kamu."
"Kamu tidak apa-apa?"
Seorang guru laki-laki memegang bahu Tiran yang masih terdiam di atas tanah.
Tiran masih terlalu syok hingga dirinya tidak bisa melakukan apapun selain menatap paving blok di visinya.
Kepalanya pusing dan pipi serta rahangnya sakit.
Sangat sakit.
Seumur hidupnya Tiran belum pernah terluka. Apalagi mendapat tinju dari seseorang.
Hal yang sebelumnya hanya pernah dia saksikan di film aksi dan hanya dia dengar dari berita dan mulut orang-orang kini terjadi padanya.
Dia perlahan memperoleh kesadarannya.
Aku.. baru saja ditonjok?
Aku?
Oleh bocah yang jauh lebih kecil dariku?
Aku?
Meski dirinya ingin bangun, syok di tubuhnya membuatnya terhuyung.
"Hati-hati."
Sang guru melihat Tiran yang hendak bangun namun dengan kaki yang lemas. Dia memegang kedua tangan Tiran, menahan tubuh anak itu supaya tidak jatuh.
"Vian!!"
Guru ini mengenali Vian. Setelah perlahan mengangkat wajahnya—dengan mata sebelah yang tampaknya akan bengkak karena pandangan sebelah Tiran buram—dia melihat sosok Bu Ansel yang dengan ekspresi khawatir menyentuh pipinya.
"Sshh.."
Tiran langsung berdesis. Dirinya belum siap menerima sentuhan siapapun di pipinya yang satu itu. Tidak, lebih tepatnya dia tidak ingin disentuh siapapun.
Dengan pelan tangannya meraih satu tangan yang memegang lengannya. Membuat gerakan melepaskan. Sang guru laki-laki melepaskan tangannya melihat Tiran yang tampak sudah bisa berdiri sendiri.
Tiran melihat sosok anak laki-laki yang meninjunya tengah menunduk memandangi ponsel di tangannya. Dengan satu guru perempuan berwajah galak berdiri bertolak pinggang didepannya.
Tiran menoleh ke arah gerbang. Melihat bagaimana siswa siswi dalam jumlah besar berkerumun memandangi kejadian yang tersaji di area sekolah. Namun keberadaan sebuah mobil van di seberang jalan menyita perhatiannya.
Mereka.
Tiran melupakan sakit di wajahnya, menggerakkan kedua kakinya ke arah gerbang. Anak-anak yang berkerumun memandanginya dengan cepat menyingkir, memberi Tiran ruang untuk melewati mereka.
"Vian??"
Ansel terperangah dengan kepergian Tiran. Dirinya perlahan mengikuti langkah anak itu. Bertanya-tanya kemana salah satu anak didiknya itu akan pergi.
Tiran sudah dekat dengan pintu gerbang. Di depannya sang satpam sekolah tampak berjalan dari luar gerbang, terkejut dengan penampilan berantakan Tiran, dan kerumunan di sisi lapangan.
"Ada apa? Berkelahi?"
Satpam itu mendekati Tiran. Tiran memberi lirikan tapi melanjutkan langkahnya kearah luar gerbang.
Sang satpam mengerutkan keningnya melihat Tiran yang pergi begitu saja.
"Vian." Sosok guru yang sang satpam kenali muncul, tampak megikuti si anak laki-laki.
Tiran hanya terfokus pada mobil van di seberang jalan. Dia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Memastikan tidak ada kendaraan yang melaju.
Dirinya dengan lagkah buru-buru menghampiri mobil berstiker putih dan oranye itu.
Seorang pria berseragam muncul dari balik mobil, hendak membuka pintu belakang mobil, sebelum menyadari keberadaan Tiran.
Terperangah dengan penampilan anak itu, sosok guru yang mengikutinya, dan kerumunan di dalam area sekolah di seberang jalan.
Pria itu mengerutkan keningnya.
"Pak. Bisa bicara sebentar?"
"Vian. Kamu mau kemana??" Ansel memegang bahu Tiran. Bersyukur karena akhirnya bisa mendekati anak itu.
Baru saja kemarin anak di depannya bermasalah dengan Kenzo dan Falgi. Sekarang dia dipukul oleh Reynal dari kelas 3. Kali ini masalahnya apa?
Dirinya sedang di kantor memeriksa hasil pekerjaan anak dari kelas lain, ketika tiba-tiba rekan-rekan gurunya berhamburan keluar ruangan, dan ketika dia keluar pemandangan yang dia lihat adalah sosok anak familiar yang tergeletak di dekat lapangan.
Ketika didekati anak itu malah pergi tiba-tiba. Dirinya bahkan sempat berpikiran aneh kalau Vian Graha, hendak bunuh diri dengan menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat.
Tiran secara kebiasaan hendak berdecak, sebelum merasakan sakit di pipinya. Dirinya bahkan baru saja bicara dengan begitu acuh tak acuh. Sekarang dia membayar harganya.
Dengan mata yang sedikit buram sebelah, Tiran bisa melihat wajah pria yang mengerutkan kening memandanginya.
"Vian?"
"Maaf.. Ada yang bisa saya bantu?" Sang pria dengan canggung bertanya.
"Ada. Saya mau menanyakan beberapa hal."
Tiran berujar formal. Ansel terperangah tapi perlahan memutuskan untuk menyimak. Anak ini. Tiba-tiba pergi, dan ternyata yang dia kunjungi adalah mobil dari yayasan amal yang namanya sudah biasa Ansel lihat ketika dirinya sedang melewati jalan dengan mobilnya.
"Yayasan amal ini memberi layanan apa saja?"
"Kami? Ah, kami memberi bantuan pada orang-orang yang kurang mampu."
"Bantuan seperti apa?" Tanya Tiran.
"Baju, makanan, uang.."
Sang pria menjawab. Tiran bertanya lagi. "Bagaimana dengan bantuan membersihkan selokan?"
"Ya? Itu.."
"Kalau saya meminta tolong agar daerah rumah saya dibersihkan, apakah bisa?"
Tiran memiringkan kepalanya.
Pria itu tampak berpikir. "Bisa. Saya bisa menghubungi yayasan untuk mengirim tim pembersihan."
Tiran menghela nafas bersyukur. "Apakah saya bisa meminta nomor bapak?"
"Oh. Ya. Saya ambil kertas dan pulpen dulu."
Orang itu pergi ke balik mobil. Ke arah tempat stir.
Ansel yang sejak tadi diam menyimak interaksi antara orang yayasan dan murid didiknya menyadari Tiran yang meringis. Sejak tadi suaranya juga agak sumbang karena pipinya yang sudah mulai bengkak.
"Vian? Tadi kamu kenapa? Pasti Reynal yang mulai kan?"
Tiran terdiam mendengar pertanyaan Ansel.
Jadi anak itu bernama Reynal? Dasar anak kurang ajar.
Dia mendengus.
Akan kuingat wajah dan namanya.
Detik kemudian si pria yayasan muncul dari balik mobil, menyerahkan kertas sobekan pada Tiran. Yang tertulis di kertas itu adalah nama dan nomor telepon.
"....Pak Galang?"
"Iya. Kamu Dek Vian? Kamu tinggal dekat sini?"
Tiran tersenyum. Mengabaikan nyeri di pipinya. "Iya. Di perumahan disana. Bapak habis dari sana?"
"Ohh. Jalan Musi di sana? Iya. Saya sedang istirahat. Yang lain sudah jalan duluan."
"Oh. Maaf mengganggu pak. Bapak bisa lanjut beristirahat. Terimakasih atas waktunya." Tiran memberi anggukan khusyuk.
"Tidak apa-apa. Sudah jam pulang kan dik? Hati-hati ya. Mari bu." Galang tersenyum ramah pada Ansel. Ansel dengan canggung membalas senyum itu.
Tiran melihat toko perlengkapan rumah di sudut matanya. Dia langsung menggerakkan kakinya kearah sana.
Ansel merasakan dirinya sekali lagi berada di posisi canggung. Anak didiknya itu. Sejak tadi mengabaikannya. Sekarang Vian muridnya tampak begitu fokus membungkuk meraih produk pembersih kamar mandi, meninggalkan Ansel begitu saja di sebelah mobil seolah tidak ada hal apapun yang pernah terjadi padanya sebelumnya. Dirinya bertanya-tanya apakah dia harus menghampiri Vian dan membuat dirinya seperti anak bebek yang mengikuti induknya, atau meninggalkan Vian dan kembali ke kantor guru, mengambil barang-barangnya dan pulang ke rumahnya.
Dia memilih pilliihan kedua. Begitu tercengang dengan tingkah acuh tak acuh Vian. Dia tidak tahu Vian adalah anak yang cuek. Vian yang dia tahu adalah murid pendiam dari keluarga kurang mampu yang tidak pernah bisa mengikuti pelajaran, dan bersikap malu-malu pada semua guru.
Tapi Vian yang sekarang, bukanlah anak yang malu-malu, melainkan justru tidak tahu malu.
Setelah menetapkan hati akhirnya Ansel berbalik menuju area sekolah, meninggalkan Vian yang begitu fokus memilih produk yang ingin dia beli dengan uang hadiah dari Ansel.
04/06/2022
Measly033