Chereads / Revolution Of The Insecured / Chapter 7 - Chapter 6 - Hari 2 (2)

Chapter 7 - Chapter 6 - Hari 2 (2)

Tiran melewati jalanan di pinggir danau lagi. Tangannya menggenggam kantung kresek berisi cairan pembersih toilet dan sikat. Dia memikirkan beberapa hal di dalam kepalanya.

Reynal.

Reynal. Nama yang menarik.

Reynal adalah nama yang berarti setia. Menyukai tantangan, dan cenderung memiliki pasangan yang intelektualnya sepadan dengannya.

Gadis dan anak kurangajar itu berpacaran? Ha. Sangat indah sekali.

Benaknya itu membuat bibirnya menyunggingkan senyum mencemooh namun juga membuatnya merasakan denyut nyeri di pipinya. Membuatnya meringis reflek menyentuh pipinya pelan. Yang kemudian membuatnya menyadari kejanggalan.

Tas ku.

Atau lebih tepatnya tas Vian. Tas itu tidak ada di punggungnya. Tas jelek itu memang tidak memiliki isi dan sangat ringan sejak awal. Membuatnya terlambat menyadari ketiadaan beban di bahunya.

Kapan aku kehilangan tas itu?

Dia yakin dia masih memiliki tas itu ketika si anak perempuan gila menjambak rambutnya. Begitupun ketika si anak kurang ajar mencengkeram kerah bajunya.

Jadi kapan?

Tiran mengerutkan keningnya. Tapi kemudian dia memutuskan untuk menganggapnya angin lalu. Lagipula tidak ada apapun di tas itu kecuali buku yang sudah terlepas dari sampulnya, pensil tumpul, dan,

Ah.

Tiran melupakan HP Vian. HP itu masih ada di sana.

Kerutan keningnya semakin dalam.

Sudahlah. Lagipula itu HP yang jelek. Aku tidak akan menggunakannya.

Tiran tiba di kawasan perumahan kecil yang baru dia ketahui bernama jalan Musi. Melewati rumah-rumah di sisi kanan dan kiri. Menerima pandangan orang-orang di sana. Pasti karena rupa wajahnya. Tiran tidak mengacuhkan itu sama sekali.

Dia tiba di dekat rumah nenek Rana. Dan nenek-nenek yang lain. Juga rumah Vian. Rumahnya.

Kali ini nenek yang belum Tiran ketahui namanya lah yang pertama menyadari kehadiran Tiran. Tengah menyapu halaman, baru akan membuka mulutnya untuk menyapa ketika ekspresi wajahnya langsung berubah jelek. Mengernyit dalam seolah dirinya baru saja melihat anak cucunya berubah menjadi jin.

"Rana! Anakmu!"

"Dia sudah pulang?" Suara itu terdengar sumringah. Sosok nenek Rana terlihat berdiri dari duduk di lantai nya, dan langsung memiliki ekspresi tersentak begitu melihat sosok Tiran.

"Vian!" Rana melangkahkan kakinya dengan tergopoh-gopoh hingga dirinya hampir tersandung kain rok selendangnya sendiri. Buru-buru mengenakan sendal jepitnya sembari bertopang pada dinding pilar bangunan rumah untuk menjaga keseimbangannya. Kembali berjalan tergopoh-gopoh untuk membawa dirinya pada Vian. Kedua tangannya terulur hendak menyentuh namun dihentikan begitu menyadari bahwa pipi seperti itu akan terasa sakit ketika disentuh.

Pupil mata nenek Rana terlihat bergetar. Matanya melebar dan bibirnya terbuka hendak berbicara meskipun terasa sulit. "Apa yang terjadi?"

"Ada apa?" Suara lain muncul dari arah pintu. Mahya membenahi kain selendang di bahunya. Wajahnya menunjukkan dia habis tertidur. Dia melihat penampakan Vian, dan Rana yang tengah berdiri di depan anak itu dengan dua tangan terulur. Pose tangan seperti itu bukanlah hal yang wajar. Mahya menyipitkan matanya untuk memfokuskan visi dan terkejut melihat lebam di pipi dan mata Vian.

"Apa?!" Dirinya berjalan tergopoh-gopoh ke halaman rumah. Ingin mengenakan sendal tapi bagian sebelahnya tidak ketemu jadi dia hanya mengenakan sendal di sebelah kaki. Membiarkan kaki satunya menyentuh tanah dan menghampiri Tiran. Melotot melihat keadaan wajah anak itu.

"Apa ini?" tanyanya. Lebih kepada dirinya sendiri.

"Aku menemukannya! Dia ada di rumah Leah!- Eh? EH?!!" Itu Nur. Muncul dari balik gang antar rumah. Menggenggam tangan seorang anak laki-laki di satu tangannya. Tangan anak itu dilepaskan ketika Nur berjalan terburu-buru ke arah Tiran. Membuat anak laki-laki itu kembali berlari ke dalam gang.

"Ada apa dengan wajahnya????!!" seru heboh Nur. Terlihat sangat syok dengan yang ada di depannya. Dia membalikkan tubuhnya. "Zeniyah! Kompres air!"

Nenek yang memegang sapu menyandarkan sapunya ke dinding pilar rumah dan masuk ke dalam.

Tiran mengerutkan kening. Melihat keributan yang di luar keinginannya itu. Dia baru akan berdalih ketika menyadari eskpresi khawatir yang dimiliki Rana. Berbeda dengan Nur dan Mahya yang lebih terlihat terkejut karena keadaan wajahnya, nenek Rana terlihat sangat cemas. Eskpresi dan nanar mata itu membuat hati Tiran tidak nyaman.

"Seorang anak memukulku."

"Pukul?" "Pukul?!?!!!!!" Rana dan Nur bersuara bersamaan. Rana dengan nada khawatir sedangkan Nur dengan nada marah. "Siapa yang berani melakukan itu?!!!" Nur berseru tidak percaya.

Tiran mengerutkan kening lagi. Dia merasa nenek Nur terlalu berisik. Lagipula hal yang terjadi pada wajahnya bukanlah hal yang menurutnya perlu untuk diributkan.

Dia berlalu pergi. "Aku lelah. Aku akan istirahat."

"Apa?? Tunggu dulu! Jelaskan pada wanita tua ini-!" Suara nenek Nur bisa dia dengar dari belakang. Dia tebak nenek Mahya menenangkannya. Dia pikir dia bisa membayangkan ekspresi yang nenek Rana miliki tapi dia menetapkan hatinya untuk tidak berbalik.

***

"Fiuh."

Tiran merasa puas dengan pekerjaannya. Sikat di tangannya. Botol cairan pembersih yang sudah berkurang hampir setengahnya berdiri di dekat kakinya.

Semua noda itu hanyalah noda yang perlu disikat. Begitu Tiran melakukan pekerjaannya, kamar mandi Vian sudah berubah menjadi kamar mandi yang layak pakai baginya.

Sebentar lagi. Aku akan memusnahkan got-got bau itu.

Tiran menyeringai di dalam ruangan kamar mandi yang penuh aroma cairan pembersih.

"Vian." Suara itu terdengar diiringi suara ketukan dan juga nyeri memuakkan di pipi Tiran.

Dia menengok keluar dari pintu kamar mandi ke pintu depan. Melihat bagian kanan tubuh seseorang. Dia mengeringkan telapak kakinya di keset—mengernyit pada sensasi kasarnya—dan melangkahkan kakinya ke arah pintu. Membukanya melihat nenek Rana membawa wadah air dengan kain lap. Senyum lembut tersungging di bibirnya ketika melihat Tiran yang sudah berganti baju. Meski terlihat sedikit basah oleh bercak air dan keringat. Rana juga melihat butiran keringat di kening dan leher anak remaja itu.

"Kamu habis apa? Nenek pikir kamu mau istirahat." Dia mengeluarkan kekehan.

Tiran tersenyum canggung. "Ah, ya,"

Rana memperhatikan wajah Tiran. Cucu dan anaknya.

Dia memberi senyum.

"Boleh nenek masuk? Nenek mau mengobati pipimu."

Ujaran itu membuat alis Tiran bergerak naik.

Dia berpikir-pikir sebentar sebelum mengangguk. "Baiklah."

Dia memundurkan langkahnya. Memperlebar ruang di pintu dan mempersilahkan Rana untuk masuk. Rasanya aneh menyambut dan mempersilahkan duduk orang di rumah yang bukanlah miliknya.

Dan Tiran bukanlah orang yang biasa bersikap sopan pada orang lain. Dia adalah pemuda yang terlahir dengan sifat angkuh. Penuh arogan. Dan lahir untuk memberi perintah dan dilayani.

Mempersilahkan nenek Rana untuk duduk di sofa di rumah milik Vian adalah hal yang mencanggungkan.

"Apa yang kamu lakukan? Kemari duduk." Rana berucap ketika melihat Tiran yang tidak kunjung duduk si sampingnya.

Tiran sedikit mengernyit tidak nyaman. Tapi kemudian dia mendudukkan dirinya meski dengan gerakan kikuk. Yang sebenarnya membuat dirinya bertanya-tanya.

Kenapa?

Kenapa aku bertingkah seperti ini?

Ini bukan aku.

Tiran sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak tahu bahwa Rana juga tengah memperhatikannya. Menyadari ketidaknyamanan yang remaja itu rasakan. Yang membuat hatinya terasa berat.

Vian. Apa yang salah?

Dia merasakan keanehan dari Vian sejak dua hari lalu. Dia tidak tahu apa. Firasatnya hanya berkata demikian.

Tapi, dia merasa, dia akan menyayangi Vian apa adanya. Meski anak itu berubah. Vian akan tetap menjadi Vian. Cucu dan anaknya. Remaja laki-laki kesayangannya. Si pemalu dan pendiam.

Vian di depannya, masihlah Vian yang pendiam. Tapi dia tidak pemalu.

Vian adalah anak yang cenderung canggung tapi dia tidak pernah canggung kepada Rana.

Viannya sekarang berbeda. Anak itu terlihat canggung kepadanya.

Hal itu membuat hati Rana terasa berat. Dia memaksakan senyum. "Bolehkah nenek mengompres pipimu?"

Dia bertanya. Menunggu jawaban dari Tiran dia mengamati sinar mata remaja di depannya.

Berbeda.

Dia tidak menemukan sinar mata yang dimiliki cucunya.

Tiran di tempatnya merasa tidak nyaman.

Mengompres pipiku?

Dia diam-diam cemberut.

Ini akan canggung.

Remaja yang disayangi dan berada di hati Rana adalah Vian Graha. Bukan dirinya.

Wanita itu menaruh perhatian pada orang yang salah. Tiran merasa dia tidak berhak untuk menerima perhatian dari wanita yang menganggap Vian sebagai anak cucunya sendiri itu.

Dia baru akan berbicara, tapi sebuah lap yang lembab oleh air hangat ditempelkan lebih dahulu ke pipinya.

Rana mengulurkan tangannya pada pipi Tiran dengan kain kompres hangat yang dia siapkan dengan bantuan Zeniyah.

Meski berbeda tapi Vian tetaplah Vian cucuku. Aku akan mengobati lukanya ketika dia terluka. Memberinya sarapan ketika waktunya sarapan. Dan mengusap pipinya sebagaimana aku biasa melakukan hal yang membuat hatiku menghangat.

Rana merapatkan bibirnya memaksakan senyum.

Sedangkan di posisi lain Tiran masih terkejut dengan sensasi hangat dan lembut yang menyentuh pipinya. Sentuhan itu menghasilkan sedikit denyut di pipinya tapi juga sebuah perasaan asing yang belum pernah dirinya rasakan sebelumnya.

Sebuah perasaan yang ada di hatinya. Sebuah perasaan hangat. Yang mengundangnya untuk menghela nafas lega. Memaksakan diri untuk menahan helaan nafas itu keluar dari bibirnya.

"Vian cucuku."

Suara Rana terdengar lembut di telinganya. Mata Tiran sedikit melebar sebelum perlahan kedua kelopaknya bergerak turun. Membuat kedua matanya terpejam. Bibirnya menempel dengan satu sama lain membentuk senyum tipis.

Dia belum pernah merasakan ini. Dan walaupun dia tidak tahu perasaan menenangkan apa sebenarnya itu, dia merasa bahwa dirinya tidaklah berhak untuk merasakannya.

Tapi meski begitu,

Hanya untuk kali ini. Tiran akan menikmati kelembutan dan kehangatan yang dia terima.

04/06/2022

Measly033