Chereads / Revolution Of The Insecured / Chapter 4 - Chapter 3 - Hari 1 (2)

Chapter 4 - Chapter 3 - Hari 1 (2)

Tiran kembali ke daerah rumah Vian. Orang-orang yang melihatnya tidak menunjukkan respon apapun dan tetap terfokus pada kegiatan mereka. Ketika dia semakin dekat dengan rumah Vian, dia bisa melihat para orang tua dan anak-anak masih ada disana.

Nenek tadi pagi menyadari kehadiran Tiran dan bangun dari duduknya. "Vian? Kok kamu sudah pulang? Eh, kenapa kamu basah?"

Nenek mencoba meraih rambut Tiran tapi Tiran melangkah mundur, tidak membiarkan nenek didepannya menyentuh rambut kotornya. "Aku dibuli. Aku mau mandi."

Nenek memasang wajah sedih lagi. "Mereka terus mengganggumu."

"Mereka membulimu lagi? Dasar anak-anak tidak tahu diri. Aku akan memukul mereka dengan sandal ini." Nenek lain bersuara. Tampak meraih sebuah sandal yang ada didekatnya.

"Nur." Nenek didepan Tiran menegur. Dia kembali menolehkan wajahnya pada Tiran. "Yasudah. Mandi lah. Apa kamu akan kembali ke sekolah?"

Tiran berwajah masam. "Mungkin besok."

"Yasudah. Nenek siapkan baju ganti."

Tiran memandangi wajah keriput wanita yang memiliki senyum khidmat itu sebentar dan langsung masuk kedalam rumah Vian yang tidak terkunci.

Dia meletakkan tas hitam Vian asal di lantai ruang tamu. Dia berjalan masuk lebih dalam kerumah Vian sembari melepaskan dasi di lehernya mencari letak kamar mandi. Kamar mandinya berada di sebelah kamar Vian. Rumah ini hanya memiliki satu kamar, kamar mandi, dan ruang kamu.

Dia melihat penampilan kamar mandi kecil rumah Vian. Ember berisi air gayung. Kloset jongkok, sebuah rak putih berkarat di dinding yang menyimpan sikat gigi, odol, dan dua wadah tinggi yang dia asumsikan sebagai sampo dan sabun.

Dia mengerutkan keningnya melihat keadaan kamar mandi dihadapannya.

Aku harus menggunakan kamar mandi ini?

Dia membayangkan dirinya mandi di wc yang bahkan lebih kotor dari wc umum.

"Shit."

Dia mengutuk. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Dia ingin menyingkirkan air ludahan di tubuhnya. Tubuh Vian.

Dia berbalik pergi mencari handuk. Nenek tadi muncul dari pintu membawa pakaian dan handuk di kedua tangannya.

"Vian." Beliau tersenyum. Tiran menghampirinya dan mengambil bawaan nenek itu.

"Terimakasih bu."

Nenek itu tampak terkejut. "Akhirnya kamu memanggil aku ibu."

Dia tersenyum begitu hangat. Tiran terdiam.

Dia memilih untuk segera mandi. "Hm. Aku mandi dulu."

"Ya. Ibu akan menyiapkan makanan."

Tiran tidak merespon lagi dan langsung berbalik menuju kamar mandi. Dia menggantungkan handuk dan pakaian pemberian nenek di gantungan di belakang pintu sebelum melepaskan seragam di tubuhnya dan mulai meraih botol sabun.

Dia mengerutkan kening merasakan betapa ringannya botol sabun itu.

Sial.

Setelah usaha menyebalkan, meremas wadah sabun dan mengayunkannya ke bawah, akhirnya cairan putih wangi yang hanya cukup untuk sekali mandi mengalir ketangannya.

Dia meraih botol lain dan harus melakukan hal yang sama. Dia mengeringkan tubuh Vian dengan handuk dan mengenakan pakaiannya. Kaos putih-kuning-dan celana pendek biru.

Ya Tuhan.

Dia merasa ingin menangis. Dia menenangkan dirinya sembari berpikr kalau dirinya bisa gila kalau terus memakai pakaian Vian, dan kamar mandinya.

Antara dia pergi, atau membersihkan kamar mandi Vian, dia harus memilih salah satu. Dan yang paling masuk akal adalah membersihkannya sendiri.

Tapi dia tidak menemukan cairan pembersih didalam sana.

Tiran selalu memiliki cairan bersih, pewangi, dan sikat didalam kamar mandi dirumahnya. Tapi tadi dia hanya menemukan sikat. Dia berpikir untuk bertanya pada nenek tadi apakah ada pembersih kamar mandi yang bisa dia gunakan.

Dia meraih seragam yang baru dia gunakan selama kurang dari satu jam itu dan bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan dengan seragam menjijikan itu. Dia tidak menemukan mesin cuci di rumah Vian.

Dia keluar dari pintu rumah untuk mencari keberadaan sang nenek. Beliau keluar dari pintu rumahnya, membawa piring berisi nasi dan lauk yang belum bisa Tiran lihat apa.

Nenek menghampirinya dan menyerahkan piring nasi berkuah dengan lauk bihun dan buncis. "Makan dulu. Kamu belum sarapan tadi."

Tiran menerima piring itu dengan satu tangan. Nenek mengulurkan tanganya mengambil buntalan seragam di tangan Tiran yang satunya.

Wanita berumur lanjut itu berbalik pergi ke rumahnya tanpa mengucapkan apapun lagi.

Tiran memandangi makanan di piringnya.

Tidak pernah seumur hidupnya disajikan makanan sesederhana ini. Dia mencoba memakannya. Rasanya sungguh standar. Hanya garam dan merica. Dia mengerutkan keningnya tapi tetap memakannya hingga habis di kursi busa tadi pagi.

Dia selesai makan dan nenek belum muncul dari pintu rumah. Dia hendak mengembalikan piringnya. Meski dia sempat berpikiran untuk mencucinya terlebih dahulu. Tapi Vian sudah tidak memiliki sabun. Dia tidak bisa mencucinya hanya dengan air.

Dia menghampiri rumah nenek. Dipandangi oleh para anak kecil dan tiga nenek lain. Nenek yang tadi dipanggil Nur berdiri dari duduknya, membenahi posisi tidur bayi didalam selendang di bahunya. "Sini piringnya. Nenek Rana kamu lagi nyuci seragam kamu. Jadi? Apa yang mereka lakukan kali ini? Kamu tidak luka? Apa aku benar-benar perlu memukuli mereka?"

Nur bicara seraya mengambil piring dari tangan Tiran.

"Hush. Orang seperti kita tidak bisa apa-apa. Mereka anak-anak orang kaya. Bagaimana kalau mereka menuntutmu? Kamu mau dipenjara?"

Nenek lain berujar. Tiran mengerutkan kening mendengarnya.

Hanya karena seseorang miskin, bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan keadilan.

"Mahya. Kamu tega melihat Vian diganggu disekolah?"

Nur menjawab. Nenek yang dipanggil Mahya tidak merespon dan lanjut menyuapi salah satu anak.

"Kakak. Teman-teman kakak nakal?"

Salah seorang anak laki-laki yang memakai kaos kutang berwarna abu-abu dan celana pendek hitam bicara kepada Tiran.

Tiran menaikkan sebelah alisnya mendapati pertanyaan tiba-tiba dari anak yang duduk mendongak kearahnya itu.

Dia menghela nafas didalam hati. "Iya. Mereka nakal."

Bocah-bocah nakal itu, aku pasti akan menghukum mereka.

Dia tersenyum puas. Nur mengerutkan kening keriputnya melihat senyum Tiran. "Kenapa kamu senyum?"

"Nur. Harusnya kamu senang. Akhirnya kita bisa melihat senyum Vian lagi. Sejak dia kelas 3 dia tidak pernah tersenyum seperti itu. Gimana sih." Nenek yang sejak tadi diam akhirnya bicara.

Tiran di sisi lain tercengang mendengarnya.

Vian ini. Dia anak perundung?

Tapi setelah Tiran pikir-pikir lagi, itu wajar. Mungkin Vian Graha sudah mengalami pembulian sejak lama.

Tapi sekarang tidak ada Vian. Yang ada adalah Tiran. Dia tidak mau diperlakukan seperti Vian oleh bocah-bocah itu.

Dia teringat sesuatu. "Bu. Apa ada cairan pembersih kamar mandi yang bisa aku gunakan?"

Nur menaikkan kedua alisnya. "Cairan pembersih? Sejak kapan kita punya? Daripada beli hal seperti itu lebih baik uangnya dipakai untuk beli makan."

"Nenek Rana mu lah yang aneh karena membeli detergen mahal untuk seragam sekolahmu." Nenek yang belum Tiran ketahui namanya bicara sembari menyisiri rambut seorang anak perempuan.

"Belajarlah yang benar. Rana menganggapmu sebagai anaknya sendiri." Mahya berujar.

Nur mengangguk. "Benar. Belajar. Cari kerja. Jangan sampai masa depanmu seperti nenek-nenek mu ini." Dia terkekeh sembari menimang bayi di tangannya.

Tiran memandangi wajah bayi ditangan nenek Nur. Tertidur pulas dengan tubuh putih. Tumbuh besar, dan kulitnya akan berubah coklat seperti anak-anak kecil lain yang ada di visi Tiran.

Mencari kerja? Aku lah yang akan menciptakan pekerjaan.

Dia teringat sesuatu. "Bu. Apakah aku punya uang?"

Nur mengangkat alisnya.

Mahya menjawab. "Kamu tidak pernah bekerja. Mana mungkin kamu punya uang?" Dia terkekeh pada kekonyolan Vian.

"Kamu perlu uang? Untuk apa?" Nenek yang sedang menggenggam sisir bertanya.

Tiran mengangkat bahu. "Aku butuh modal."

Ketiga nenek didepannya sama-sama mengangkat wajah mereka kearah Tiran. Ekspresi terperangah menghiasi wajah keriput mereka.

"Kamu mau berjualan? Jualan apa?" Nenek Nur bertanya.

Tiran membawa satu tangannya di pinggang. Gaya kebiasaan yang dia miliki di kala berpikir. "Belum tahu."

Dia harus mencari tahu dulu hal apa yang bisa dia perdagangkan. Vian tidak memiliki apapun yang bisa dijual. Tiran harus berjalan-jalan. Mungkin dia harus mencari tempat dimana dia bisa memperoleh uang. Bekerja di café, misal?

Dia menyeringai sarkas terhadap pikirannya sendiri. Dia tidak menyangka dirinya akan berada di posisi ini. Bekerja pada orang lain?

Dia adalah pemuda yang hidup untuk membuka bisnisnya sendiri. Orangtuanya membiarkannya memiliki modal yang cukup. Dia tidak pernah membutuhkan ketidaksangupan seperti ini.

Akan bagus kalau dirinya menemukan sesorang untuk menjadi investornya.

Dia mengangkat alisnya. "Bagaimana ibu mendapat uang untuk membeli makan?"

"Ha?" Nenek Nur memasang ekspresi bingung. "Kamu ini bicara apa? Kita mendapat sembako dari yayasan amal."

Tiran melipat kedua tangan didepan dada. Berpikir. "Kapan orang yayasan akan kesini?"

Mahya yang berkerut kening menjawab. "Setiap hari rabu. Vian. Kamu kenapa? Kamu terlihat berbeda hari ini."

Tiran tidak menjawab. Dia teringat tulisan di hp Vian yang menunjukkan kalau hari ini adalah hari selasa. Artinya orang yayasan akan datang besok. Tiran menyeringai. Dia tidak sabar menanti hari esok.

Dia menurunkan kedua tangannya. "Apakah ada mobil atau motor yang bisa aku pakai?"

"Vian. Apa yang anak-anak itu lakukan padamu? Mobil motor? Sejak kapan kita punya. Kemana kamu mau pergi? Tidak bisa jalan kaki?" Nur berujar. Begitu bingung dengan tingkah Tiran.

Tiran cemberut membayangkan dirinya harus berjalan kaki. "Sepeda?"

Mahya dengan wajah bingungnya menjawab. "Sepedamu ada dibelakang. Kenapa kamu bertanya?"

Tiran tidak menanggapi. "Dimana?"

Ketiga nenek itu memandangi Vian heran.

"Dibelakang situ." Nur menggerakkan jempol tangannya ke belakang bangunan rumah. Tiran langsung menggerakkan kakinya, melalui jalanan dengan got bau. Dia bisa melihat sepeda ontel hitam yang memiliki karat di banyak bagian. Di situasi normal Tiran tidak akan mau menggunakan sepeda ini. Tapi untuk sekarang dirinya tidak punya pilihan lain.

Dia menggiring sepeda kedepan rumah. Begitu dirinya berada di tempat dimana ketiga nenek dan anak-anak bisa melihatnya, dia menduduki jok sepeda. Tanpa berpamitan dia menggoeskan pedal sepeda, meninggalkan ketiga nenek yang memandanginya heran.

Tiran mencoba rem sepedanya. Remnya blong. Tidak ada sedikitpun karet yang menahan pergerakan roda. Dia menghela nafas, mencatat didalam hati kalau dia tidak bisa melajukan sepedanya dengan cepat.

04/06/2022

Measly033

Tiran's character song would be:

So What by P!nk