Dia keluar dari kawasan perumahan. Melewati jalan pinggir danau. Melewati area bangunan sekolah Vian. Didepan sana. Dia bisa melihatnya. Barisan bangunan ruko.
Dia melajukan sepedanya kearah sana. Dia bisa melihat motor dan mobil terparkir. Orang-orang yang berada di daerah itu menyangkutkan mata mereka pada Tiran.
Penampilannya sebagai Vian terlalu tidak enak dipandang mata hingga menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Tiran berdecih dalam hati.
Dia memandangi barisan ruko didepannya. Tempat belanja, makanan, minuman, baju, café, juga salon.
Dia memakirkan sepedanya didepan ruko salon.
Tangannya dia bawa membuka pintu kaca ruko. Kemunculannya menarik perhatian orang-orang di dalam.
Seorang satpam tiba-tiba menghampirinya.
"Dek. Kamu mau ngapain."
Dia bertanya. Tiran berdecak di dalam hati. "Saya mau cari kerja."
"Kerja?" Sang satpam mengerutkan keningnya. Tiran menolehkan kepalanya kedalam. Semua orang di sana menoleh ke arahnya. Dia melangkahkan kakinya masuk, menghadap pada resepsionis. Sang satpam berdiri kaku didepan pintu. Dia tentu menyadari bahwa Tiran tidak punya niatan untuk membuat keributan.
"Mba. Saya bisa bekerja disini atau tidak?"
"...Adek mau bekerja disini? Sebagai apa?" Sang pegawai bertanya.
Tiran tersenyum.
Dia bisa menjadi apapun. Bahkan menjadi pemilik salon jika sang pemilik bersedia memberikan kepemilikannya. Dia akan membuat salon itu berkembang.
"Penata rambut."
Sang pegawai perempuan tersenyum. Tapi Tiran bisa menangkap kecanggungan dan keraguan dari senyum itu.
"Mba bicara ke manajer atau pemilik salon dulu tidak apa-apa. Saya akan menunggu."
Tiran melirik orang-orang yang diam-diam memandanginya sebelum keluar dari pintu kaca, berhadapan dengan sang satpam lagi.
"Pagi pak." Dia memberi senyum ramah palsunya. Sekarang masih belum jam 10, dan salon sudah ramai. Tidak biasanya salon buka pagi. Dia membayangkan gaji yang akan dia terima jika dia bekerja si sana. Dibandingkan toko makanan dan minuman, juga baju dan tempat belanja, penghasilan orang yang bekerja di salon akan lebih besar.
Tidak ada banyak orang yang mengunjungi ruko. Orang-orang akan lebih memilih mall yang belum bisa Tiran lihat keberadaannya. Jauh melewati ruko, barisan rumah besar bisa terlihat. Tampaknya ini kawasan perumahan orang ber-uang.
Tapi daerah perumahan kecil tempat rumah Vian berada masih ada. Dia bertanya-tanya apakah di masa depan rumah Vian dan yang lainnya akan digusur.
Tidak sedikit pengusaha yang hendak memperluas wilayah bisnisnya, membuat orang-orang yang tinggal di daerah tersebut harus pindah.
Tiran mendudukkan tubuhnya di pijakan ruko. Dia yakin tidak lama lagi sang pegawai atau manajer salon akan memanggilnya. Sang satpam, setelah berdiri kaku memandangi Tiran, akhirnya kembali ke titik jaganya. Tiran mendengus.
"Dek."
Pegawai tadi menghampirinya. Tiran tersenyum puas.
"Iya mba." Dia menjawab seraya berdiri.
"Ketemu Mas Alga dulu yuk."
Dia menertawakan cara perempuan muda didepannya memperlakukannya didalam hati. Tapi tidak masalah.
Dia tidak menjawab dan sebagai gantinya memberikan gaya tubuh bahwa dia akan mengikuti ajakan si pegawai.
Tiran kembali masuk melalui pintu kaca dan menerima lirikan dari orang-orang didalam. Namun orang-orang yang semuanya perempuan dan hanya ada dua laki-laki berseragam salon itu kemudian kembali mengalihkan pandangan mereka.
Sang pegawai memimpin jalan. Seraya berjalan sang pegawai memberikan sapaan hormat dan senyum ramah pada para pengunjung.
"Mari, bu."
Tiran memberikan senyum ramahnya kearah salah satu klien salon.
Sang ibu berumur yang menjadi target senyuman Tiran memasang senyum keibuan. "Goodluck ya dik."
Tiran mengangguk dengan senyumnya.
"Ayo dek."
Si pegawai mengajaknya menaiki tangga. Dia membuka sebuah pintu dan Tiran bisa melihat pria dengan kemeja sedang duduk di belakang meja yang dia yakini sebagai yang bernama Alga.
"Dek."
Pria yang bernama Alga itu memberi senyum ramah kearahnya.
"Masuk dek."
Si pegawai memberi senyum. Tiran hanya menggangguk dan membawa kakinya memasuki ruangan ber-AC yang lebih dingin dari tempat dimana banyak pengunjung tadi berada.
"Nama kamu siapa?"
Tiran berpikir sebentar. "Vian."
"Vian. Kamu mau bekerja disini? Jadi penata rambut?"
Tiran memasang senyum percaya diri. "Iya."
"Kamu bisa? Pernah belajar?"
"Pernah, pak. Saya bisa melakukan apapun."
Tiran adalah seorang laki-laki yang memiliki banyak bakat dan pengalaman dengan 25 tahun masa hidupnya.
Alga mengamati remaja berpakaian lusuh didepannya. Rambutnya lepek seperti habis keramas. Dan wajahnya..
Alga terkejut dengan pikirannya sendiri dan langsung mengutuk dirinya sendiri.
"Vian. Kamu terlihat masih sekolah. SMA?"
Tiran tersadar dengan fakta bahwa dirinya sekarang adalah seorang pelajar. Normalnya seseorang tidak diperbolehkan memperkerjakan anak dibawah umur.
Dia memiliki pikiran untuk berbohong, tapi tentu itu bukan hal yang tepat untuk dilakukan.
"...Iya, pak. Saya kelas 1 SMA."
Dia mengamati ekspresi Alga. Tapi tanpa dia sangka Alga tersenyum kepadanya.
"Tidak masalah. Kamu bisa bekerja di akhir pekan."
Tiran merasa lega. Sebelum akhirnya merutuki dirinya sendiri untuk merasa lega terhadap hal sepele seperti itu.
"Kalau begitu, pak Alga. Apa saya bisa pergi sekarang?"
"Ya, ya. Hati hatilah. Datanglah ketika kamu punya waktu kosong."
Tiran memasang senyum. Teringat dengan sosok Sandra.
Dirinya seharusnya sedang dijemput teman-temannya. Memulai perjalanan ke Bali. Tapi sekarang dia malah di sini. Melamar kerja di sebuah salon.
Tidak masalah.
Tiran bukanlah orang yang akan mengeluh terhadap sesuatu yang sudah terjadi.
***
Ketika dia kembali, anak-anak sudah tidak ada didepan rumah. Tapi ketiga nenek masih duduk diatas lantai teras. Nenek Rana yang tadi memberinya makanan pun ada disana. Terlihat antusias ketika melihat kedatangan Tiran dengan sepeda ontelnya.
"Vian. Kamu habis kemana? Tidak biasanya kamu keluar."
"Rana. Interogasi dia. Dia bersikap aneh hari ini."
Nenek Mahya bersuara.
"Jangan-jangan dia menemui perempuan?"
Nur terkekeh. Rana memperhatikan wajah Vian. Dia memang merasa Vian berbeda. Seperti remaja didepannya bukanlah Vian kesayangannya. Tapi kalau dia bukan Vian, lalu dia siapa?
Rana berpikir kalau Vian hanya sedang mengalami masa pubertasnya.
Dia menaikkan sudut bibirnya. Memasang senyum lembut terbaiknya. "Kamu tidak-apa-apa kan?"
Dia mengulurkan tangannya menangkup sebelah pipi Vian. Vian bukanlah cucu apalagi anaknya. Dia adalah seorang anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya.
Anak-anak muda. Melahirkan anak dan meninggalkan anak mereka begitu saja. Rana pernah kesulitan mempertahankan tempat tinggal dua pasangan nakal itu agar bangunannya bisa digunakan oleh Vian di masa depan.
Dia merawat remaja didepannya seperti bayinya sendiri. Dia anak yang ceria. Dia memiliki kekurangan tapi otak balitanya tidak memedulikan hal itu. Hingga di pertengahan SD nya, Vian mulai berubah. Hingga akhirnya dia menjadi pemurung yang tidak pernah memasang senyum sekalipun.
Namun Nur dan Mahya bilang kalau Vian sempat tersenyum. Rana bertanya-tanya apakah dia akan melihat senyum Vian dengan kedua matanya sendiri lagi.
Tiran merasakan tubuhnya kaku ketika tangan kurus keriput namun hangat itu menyentuh pipinya. Dia merasakan kelembutan dari sentuhan itu. Dia belum pernah merasakan kelembutan ini.
Jantungnya berdegup kencang hingga dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Perlahan dia memegang tangan nenek yang bernama Rana itu dan menarik tangan beliau pergi dari wajahnya.
"...Bu. Terimakasih sudah memberiku makan. Dan mencuci bajuku juga."
Rana terperangah dengan perkataan Tiran. Dia merasakan kecanggungan dari suaranya. Vian bukanlah anak yang canggung terhadapnya. Dia tidak pernah menyebutnya ibu. Dia memanggilnya dengan sebutan nenek.
Tapi dia tidak canggung terhadap dirinya.
Vian, dia kenapa?
Rana merasa khawatir. Dia khawatir sesuatu terjadi di sekolah dan membuat Vian berubah.
Tiran, tidak mendapatkan respon dari Rana dengan pelan menggiring sepedanya ke depan rumahnya dan memakirkannya didepan teras. Dia masuk kerumah Vian tanpa mengatakan apapun.
***
Keesokan harinya, dia harus menemui nenek Rana untuk bertanya tentang sabun mandi dan seragam yang bisa dia gunakan. Rana memberinya seragam berwarna cokelat. Seingatnya seragam seperti itu disebut seragam pramuka. Dia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki seperti kemarin. Pak Satpam meliriknya tapi tidak mengatakan apapun jadi Tiran juga tidak mengatakan apa-apa padanya.
Dia melangkah dengan tenang dan percaya diri ke kelasnya. Beberapa anak mengambil lirikan padanya dan Tiran membalas lirikan mereka tanpa peduli. Mereka kemudian akan mengalihkan pandangan mereka.
Tiran menginjakkan kakinya ke ruang kelas. Seperti kemarin, anak-anak menyangkutkan pandangan mereka terhadap dirinya. Dia balas memandang mereka. Seperti anak-anak tadi, mereka mengalihkan pandangan mereka lebih dulu. Dia melihat Kenzo dan Falgi di tempat duduk mereka. Mereka tidak sedang merumpi hari ini.
Ketika Tiran melewati mereka untuk ke tempat duduknya, mereka mengawasinya seperti elang tapi Tiran tidak bereaksi. Dia menolehkan kepalanya ke jendela. Dia tidak bisa melihat rumah Vian. Tapi dia bisa melihat rumah-rumah tetangga Vian dari balik dinding pembatas.
Kelas cukup ramai dengan suara anak-anak yang berbincang.
Guru perempuan kemarin muncul dari pintu. Terlihat lega ketika melihat sosok Tiran.
"Vian. Kamu sudah tidak apa-apa?"
Beliau menghampiri Tiran. Tiran menjawab tanpa eskpresi.
"Sudah." Matanya dengan tajam melirik Kenzo dan Falgi yang memutar tubuh mereka melihatnya. Mereka berwajah masam dan kembali menghadap kearah depan.
"Syukurlah." Sang guru tersenyum, sebelum menoleh kearah dua anak tadi.
"Kenzo. Falgi."
Yang dipanggil dengan gerakan ogah-ogahan berdiri, berbalik kearah Tiran, dan mengulurkan tangan mereka.
"Aku minta maaf."
Kenzo berbicara. Tiran memandangi dua tangan yang terulur kearahnya sebelum mulai mendongak melihat kedua wajah tanpa ekperesi yang menatapinya.
"Vian. Kamu mau memaafkan mereka 'kan?"
Tiran tidak memberi perhatiannya pada sang guru sama sekali. Dia tidak repot-repot menyembunyikan kernyitannya. Begitu tidak menyangka kedua bocah itu akan meminta maaf padanya. Meskipun sudah dipastikan alasan dibaliknya.
Tiran tersenyum palsu. "Baiklah."
Dia berdiri. Menjabat satu persatu tangan keduanya. Dia berhenti ketika menjabat tangan Falgi. Anak itu berwajah masam merasakan tangannya digenggam oleh laki-laki yang lebih pendek darinya.
Tiran memasang senyum ramah. "Aku harus berterimakasih atas pelayananmu kemarin. Apakah aku harus membalasnya?"
Dia menggerakkan bola matanya ke botol minum milik Falgi yang tergantung di punggung kursi anak itu.
Falgi terkejut. Bibirnya bergerak terbuka.
Si guru perempuan menyadari maksud ucapan Tiran dan langsung membuka mulutnya. "Tidak perlu, Vian. Ibu akan memberi mereka tugas tambahan."
Tiran berdecak didalam hati. Guru itu terlalu lembut. Kalau Tiran menjadi guru dia akan membiarkan si anak yang dibuli membalas prilaku yang ditujukan kepadanya.
Tiran melebarkan senyumnya. "Baiklah. Kenzo. Falgi. Aku harap kita bisa berteman baik mulai sekarang?"
Tiran tersenyum begitu ceria hingga Kenzo da Falgi bergidik. Falgi yang tangannya masih digenggam begitu penuh oleh Tiran menelan ludahnya gugup.
Belum pernah seumur hidup mereka melihat senyum Vian. Vian selalu terlihat murung sejak awal dia masuk. Makanya Kenzo dan Falgi begitu gemar menggodanya. Hingga ke tahap membulinya.
Tapi Vian tidak pernah merespon, membuat mereka merasa kalau Vian tidak masalah diperlakukan seperti itu.
Apalagi tidak ada seorangpun yang terlihat mau untuk berteman dengan Vian. Mereka berdua adalah satu satunya yang bicara dan berkontak fisik dengan Vian. Dengan aksi mengganggu mereka.
Kemarin untuk pertama kalinya mereka mendengar suara Vian kecuali ketika anak itu merespon ucapan guru. Kemarin pertama kalinya mereka melihat ekspresi marah Vian. Dan hari ini untuk pertama kalinya mereka melihat senyum anak itu.
Tapi mereka merasa senyum anak itu mengerikan dan mereka merasa kalau mereka tidak ingin melihat senyum itu lagi.
Dengan hati puas Tiran melepaskan genggamannya pada tangan Falgi. Menolehkan kepalanya pada sang guru. "Terimakasih bu. Saya akan belajar dengan baik hari ini."
Guru itu terperangah dengan sikap Tiran kepadanya. Tiran menyadari itu tapi tidak peduli.
Sang guru memasang senyumnya begitu mendapatkan kembali kesadarannya. "Yasudah. Kalian duduklah. Kita mulai pelajarannya."
Beliau menghampiri meja guru didepan kelas. Kenzo dan Falgi pergi ke kursi mereka. Sedangkan Tiran dengan tenang mendudukkan dirinya di bangku Vian.
Dia bisa merasakan tatapan dari anak-anak didalam kelas tapi masih tidak punya ketertarikan untuk menunjukkan reaksi.
Sang guru menulis sesuatu di papan tulis. Tiran membacanya dan rupanya beliau menulis tanggal dan nama.
Ansel.
Nama yang ditulis adalah Ansel. Tiran menganggap itu sebagai nama sang guru.
Bu Ansel kemudian menulis lagi. Kalimat dengan bahasa inggris. Tiran melihatnya dan mulai menganggap sang guru sebagai seorang guru bahasa inggris.
Dia juga masuk di jam pertama kemarin. Hari ini juga?
Tiran membaca tulisan di papan tulis itu.
'I lived with a guy when I was a student. His hobby was fixing motorbikes
: When I was a student, I lived with a guy whose hobby was fixing motorbikes.'
Tiran membaca dua kalimat itu dan langsung mengerti apa yang Ansel sedang ajarkan pada para murid.
Kalimat berikutnya ditulis.
'Pablo Picasso spent his early childhood in Malaga. His father was also an artist.
: Pablo Picasso...'
Ansel mengakhiri tulisannya dengan suara tiga hantaman spidol pada papan tulis.
"Kemarin ibu sudah ajarkan. Kalian bilang kalian sudah paham. Ibu juga sudah menyuruh kalian belajar dirumah. Sekarang, yang bisa menjawab akan mendapat hadiah."
Ansel merogoh saku seragam gurunya dan mengangkat uang bernilai 50 ribu rupiah.
Tiran, meski sudah biasa mendapat penghasilan puluhan juta perbulan, dan bahkan lebih, masih belum pernah bisa tidak terperangah ketika melihat lembaran uang. Apalagi yang berwarna biru dan merah.
Dia teringat keinginannya membeli cairan pembersih kamar mandi dan dengan cepat mengangkat tangannya tinggi.
Guru perempuan didepan sana terlihat terkejut, begitupun semua anak di dalam kelas. Kenzo dan Falgi menyadari keanehan teman-temannya dan dengan pelan membalikkan tubuh mereka, melihat sosok Vian yang mengangkat tangannya.
Kenzo mengerutkan kening.
Vian tidak pernah mengangkat tangan. Dirinya juga tidak pernah mampu menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya. Dia adalah anak dari keluarga bawah yang kurang pendidikan. Bahkan Kenzo yang didaftarkan les oleh orangtuanya kesulitan menjawab soal dari bu Ansel sejak kemarin.
Tapi kini, Vian, mengangkat tangannya? Dia mau menjawab?
Kenzo menyeringai. Menanti jawaban salah dari anak yang duduk dipojok belakang kelas itu. Anak iu bahkan tidak memiliki buku dan hanya membawa satu buku tulis dan pinsil setiap hari. Bahkan buku itu sudah terlepas dari sampulnya dan pernah basah karena aksi mengganggu dirinya.
"....Vian? Kamu mau mencoba jawab?"
Ansel bertanya. Tiran menurunkan tangannya. Tersenyum menyeringai.
"Palo Picasso whose father was also an artist spent his early childhood in Malaga."
Tiran menyudahi jawabannya dengan senyum angkuh miliknya.
Kenzo dan Falgi serta anak-anak lain tercengang dengan kelancaran bicaranya. Begitupun dengan Ansel.
"Vian, ...bisa ulangi?"
Vian di belakang sana bicara begitu lancar dan cepat hingga Ansel yang biasa mendengar jawaban lambat dari para murid tidak sempat menangkap jawaban anak itu.
Tiran menghelas nafas. Mengerti alasan dibalik permintaan itu dan dengan malas megulang kalimatnya. Lebih perlahan kali ini. Seolah mengeja supaya Ansel menangkap jawabannya dengan jelas.
"Palo Picasso whose father was also an artist spent his early childhood in Malaga."
Tiran selesai mengulang jawabannya dan kini anak-anak menolehkan pandangan mereka pada Ansel. Menunggu jawaban dari guru bahasa inggris perempuan itu.
Ansel dengan perlahan membuka mulutnya. "....Benar. ....100..."
Semua anak tercengang. Tidak menyangka kata 'benar' akan tertuju pada seorang Vian Graha.
Tiran mendengus dalam hati. Dia bukan Vian. Dirinya adalah Tiran si pengusaha tampan dan jenius.
"Tepuk tangan untuk Vian."
Ansel berujar dengan senyum hangat. Anak-anak perlahan menepukkan tangan mereka. Membuat kelas riuh dengan suara tepukan tangan.
Kenzo dengan mulut terbuka menonton Ansel yang berjalan kearah Vian. Menyerahkan lembar uang berwarna biru pada anak itu.
"Selamat, Vian."
Ansel merasa canggung mengucapkannya. Setengah tahun dirinya mengajar Vian, dia tidak pernah memberi selamat pada anak itu. Membuatnya merasa aneh.
Tiran di sisi lain menerima lembar uang itu dengan senyum puas. "Terimakasih bu."
04/06/2022
Measly033