Chereads / Revolution Of The Insecured / Chapter 3 - Chapter 2 - Hari 1 (1)

Chapter 3 - Chapter 2 - Hari 1 (1)

Dia melepaskan pakaian yang sedang dia kenakan. Sebuah kaos belel dan celana olahraga SMP. Sudah cukup dia mengerutkan kening dengan bagaimana Vian masih menggunakan celana SMP nya untuk tidur. Kini dia melihat proporsi dan keadaan tubuh yang dia diami.

Tiran tidak percaya dengan pemandangan yang dia lihat dari cermin kecil tadi. Agak sulit melihat keseluruhan tubuhnya dari cermin sebesar dua telapak tangan itu tapi Tiran masih bisa melihat penampakan tubuh dan wajahnya dari cermin itu.

"Ada orang sejelek ini??"

Penampilannya begitu menyedihkan. Jauh, jauh berbeda dari tubuh miliknya.

"Ha!"

Tiran menenangkan dirinya. Dia meraih seragam yang dia letakkan di atas kasur tempatnya pertama berada di situasi ini.

"Seragam macam apa ini? Jelek sekali."

Kerahnya agak kuning, dan memiliki bercak hitam.

Jamur?

Tiran mengernyit. Ragu apakah dia harus mengenakan kemeja berlogo osis ditangannya itu atau tidak.

Dia dengan tangan hampir bergetar mencoba meraih tengkuk dan lehernya untuk megecek keadaan leher seorang Vian setelah memakai pakaian seperti ini. Dia juga meneliti leher itu di cermin dan menemukan kalau lehernya benar-benar baik saja.

"Wangi sih."

Seluruh bagian kemeja itu wangi tanpa aroma jamur

"Oke, fine. Lets just do this."

Setelah menelan ludah dan menguatkan diri akhirnya Tiran mengenakan kemeja itu. Mengancingkan semua kancingnya.

Kemudian memasangkan celana abu-abu itu di kaki kurus yang sungguh berbeda dari kaki mulus dan panjang miliknya.

Dia teringat sesuatu dan bersyukur ketika menemukan dasi abu-abu dan gesper yang tergantung di sebuah paku di dinding.

Tiran memasang kedua aksesoris itu di seragamnya.

Sebuah tas hitam yang sudah robek dan terlihat hampir putus di bagian lengannya menangkap perhatian Tiran.

Dia menghampiri tas itu dan mengambilnya.

Tas nya begitu ringan hingga Tiran berpikir kalau tas itu kosong. Tampaknya dia akan ke sekolah Vian tanpa membawa buku.

Tiran membuka dua resleting yang menjadi satu-satunya seleting di tas jelek itu dan menemukan sebuah buku dan pinsil. Tidak ada penghapus, apapun. Hanya satu buku dan satu pinsil yang tampak tumpul.

Bukunya sudah terlepas dari sampulnya. Tiran bisa melihat lembaran kertas yang sudah terisi dengan tulisan tangan terkait dengan mata pelajaran SMA. Tulisannya menggunakan pinsil. Beberapa tulisan tidak bisa Tiran baca karena buram. Kebanyakan coretannya menunjukkan penggunaan pensil tumpul.

Tiran menghela nafas.

Setelah merasa penampilannya sudah rapih dan merasa tidak ada hal lain yang pantas dibawa ke sekolah di kamar Vian, Tiran keluar dari pintu tadi.

"Sudah mau berangkat?"

Seorang nenek lain bertanya kearahnya.

"Ah? Y, Ya.."

Tiran tersenyum miring dan mencari keberadaan sepatu. Dia tidak melihat sepatu di kamar Vian maupun ruang tamu jadi dia pikir dia akan menemukan sepatu yang sepantasnnya digunakan oleh anak SMA.

Sebuah sepatu hitam akhirnya menarik perhatiannya. Sepasang alas kaki hitam itu terletak di kolong bangku kayu dengan kusion yang busanya sudah banyak menyembul keluar dari kain pelapisnya.

Setelah meyakinkan diri kalau tidak ada kutu dan rayap di bantalan kursi itu akhirnya dia duduk.

Dia membungkuk meraih kedua sepatu dibawah sana.

Ada kaus kaki putih yang sudah belel di masing-masing sepatu.

Bau tidak sedap tercium dari duduknya.

Tiran langsung mengernyit.

Tidak bisa dipercaya.

Aku harus menggunakan ini di kakiku?

Bukan kakinya, tapi dia lah yang menggunakan kaki itu.

Ya Tuhan.

Dengan hati berat akhirnya dia memasangkan kedua kaus kaki itu di kedua kakinya, lalu mengenakan kedua sepatunya.

Tiran akhirnya berdiri, mengusungkan dadanya sedikit, dan menghembuskan nafas kasar. Para nenek dan anak-anak yang sedang disuapi makan menoleh kearahnya tapi dia pura-pura tidak sadar.

Sekarang, dimana sekolahnya?

Dia melihat nama sekolah Vian dari gespernya. Dengan koneksi internet lemah dia mencari nama sekolah itu dan mencari lokasinya.

Dia mengernyit melihat betapa dekatnya sekolah itu dengan lokasinya saat ini. Dia membawa kakinya keluar dari area rumah Vian dan melihat bangunan besar di sisi kanannya. Bangunan sekolah itu menghalangi sinar matahari ke kawasan rumah Vian.

"Ha."

Tiran belum pernah ditempatkan di tempat suram dimana visinya terhalangi oleh dinding tinggi penghalang sinar matahari.

Dia memiliki keinginan untuk menghancurkan bangunan itu supaya dirinya tidak merasakan sensasi gelap dan suram ini lagi.

"Vian? Tidak berangkat?"

Nenek pertama tadi memanggillnya. Sudah pasti dibuat bingung dengan tingkah Tiran yang terdiam memandang bangunan yang sejak awal sudah ada disana.

"..Ya."

Tiran harus menyusuri jalanan yang memiliki barisan rumah di kanan dan kiri, melewati jalan di sisi danau, dan barulah dia bisa melihat tampak depan sekolah Vian.

Dia pikir sekolahnya akan jelek. Tapi ternyata bangunannya besar dan bagus. Mirip seperti sekolahnya dulu.

Dia semakin dekat dengan gerbang masuk dan cukup terkejut dengan gerbang yang masih terbuka lebar dan anak-anak yang masih berhamburan memasuki gerbang. Dia tidak tahu sekarang pukul berapa. Tapi seharusnya sekarang kira-kira sudah jam 7.

"Vian. Cepat masuk. Gerbangnya sudah mau ditutup."

Seorang satpam memanggilnya.

Tiran mengangguk dan langsung masuk. Setelahnya sang satpam bergerak mendorong gerbang hingga tertutup.

"Kenapa diam disitu? Guru sebentar lagi ke kelas."

Tiran teringat tulisan di buku Vian.

Kelas 1-C dimana?

"Pak. 1-C dimana?"

Satpam itu menaikkan alisnya tapi tetap menjawab. "Lantai dua disana. Di paling ujung."

Tiran membawa matanya kearah tunjukan satpam.

"Terimakasih."

Sang satpam menghela nafas lalu kembali ke posnya. Tiran langsung berjalan kearah kelas tersebut, mengikuti langkah dua anak perempuan didepannya.

Setelah tiba di lantai dua kedua anak perempuan itu masuk ke kelas pertama. 1-A. Tiran melanjutkan langkahnya dan menghampiri pintu kelas 1-C. Sebuah kertas terlaminating di dinding menarik perhatiannya.

Ada pola tempat duduk beserta nama-nama disana. Tiran menemukan nama yang dia cari di di pojok kiri belakang kertas.

Vian Graha.

Nama itu juga sudah dia temukan di buku tulis Vian.

Tiran memijakkan kakinya kedalam kelas. Awalnya semua anak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tapi ketika menangkap kehadiran Tiran, mereka tidak membiarkan pandangan mereka pergi.

"Itu Vian? Kok beda?"

"Kayak ada yang beda dari dia."

Suara beberapa anak perempuan terdengar. Tiran mengerutkan dahi pada bagaimana anak-anak remaja itu berbisik ketika Tiran masih bisa mendengar semua ucapan mereka dengan cukup jelas.

Dasar anak-anak.

Tiran berdecak kecil dan berjalan dengan cuek kearah meja yang dia pikir sebagai tempat duduk Vian.

Set.

Sebuah tangan laki-laki dengan jam tangan di bagian pergelangan menghalangi jalannya.

Tiran membawa matanya kearah pemilik tangan itu. Tubuh Vian lebih pendek dan Tiran harus mendongak untuk melihat rupa remaja laki-laki yang perlahan bangkit dari bangkunya.

Anak-anak laki-laki lain masih duduk di kursi mereka hanya saja arah tubuh mereka seolah mengelilingi Tiran dan mengintimidasinya.

Tiran tidak mengerti kenapa anak tinggi didepannya ini menghadang jalannya tapi Tiran tidak membiarkan dirinya merasa terganggu dan menggerakan tangannya mendorong tangan didepannya menyingkir.

"Ha."

Beberapa anak terkesiap. Anak-anak laki-laki yang tadi mengelilingi Tiran menonton Tiran duduk di kursinya dengan mulut terbuka. Begitupun dengan si anak tinggi.

Tiran tidak menyadari ini dan baru menyadari atmosfer aneh di tempat dirinya berada ketika dirinya duduk dan meletakkan tas hitam jelek Vian di bawah kursi.

Dia membawa matanya melihat setiap anak diruangan yang memandanginya dengan ekspresi aneh.

"Vian."

Si anak tinggi meletakkan tangan yang terikat gelang di pergelangannya diatas meja Vian. Menunduk memandang Tiran yang mendongak kearahnya.

Tiran mengerutkan kening.

Melihat bagaimana seorang anak yang jauh lebih muda darinya bertingkah begitu angkuh padanya membuat Tiran merasa terganggu.

"Apa?"

Matanya menemukan bordiran tulisan nama di seragam anak itu.

Kenzo Matteo.

"Apa yang kau lihat?"

Kenzo menyadari bagaimana Tiran mengamati dada kanannya.

Tiran mengangkat bahu menerima teguran itu.

"Namamu Kenzo."

Kenzo mengerutkan kening.

"Artinya kreatif. Nama panjangmu berarti pemberian Tuhan. Nama yang bagus."

Tiran membawa matanya kearah luar jendela. Dia bisa melihat jalanan di daerah rumah Vian dari sini.

Bangunan yang ingin Tiran hancurkan adalah ruang kelas Vian.

"Ken. Vian terlihat berbeda hari ini."

Salah satu anak berdiri dan meraih bahu Kenzo.

Tiran mengerutkan keningnya mendengar itu.

"Hahaha." Kenzo tertawa. Tiran semakin berwajah masam merasa kalau anak didepannya adalah anak yang terlalu banyak menonton film dan sedang meniru salah satu karakter antagonis.

"Apa yang kau lihat? Rumah jelekmu?"

Suara Kenzo terdengar. Tiran menghela nafas mendengarnya.

"Ya. Rumahku terlalu jelek. Semuanya terlalu jelek dan bau."

Kenzo dan si anak lain mengerutkan kening. Begitupun setiap anak yang menyaksikan interaksi antara si badboy dan si anak suram itu.

"Kau. Kau habis makan apa? Jangan-jangan kau kesurupan? Tunggu. Aku akan mengobatimu."

Si anak yang tadi memegang bahu Kenzo berbalik. Dia meraih botol air dan memasukkan air didalamnya ke mulutnya. Dia tampak berkumur dan tanpa Tiran sempat melakukan apapun, air didalam mulut si remaja sudah tersembur ke wajahnya.

"WHAT THE FUCK?!?!?!?!"

Tiran berseru kencang mendapati wajah, rambut, dan seragam yang dia kenakan basah. Semua anak tampak terkejut dengan seruan Vian. Bahkan Kenzo dan si anak tadi memiliki mata melotot. Tiran mendongak mencari tahu nama anak itu. Falgi Atmaja.

Falgi begitu terkejut dengan reaksi Vian. Normalnya anak itu hanya akan diam. Dia akan mengelap wajahnya, tapi dia hanya akan diam.

Vian didepannya sekarang, dia begitu berbeda.

Tiran berdiri dan meraih kerah baju anak itu. Menariknya hingga tubuhnya membungkuk. "Anak sialan. Apa yang sudah kau lakukan?!!"

Tiran berseru marah. Seseorang menyemburnya dengan air? Air dari dalam mulutnya? Menjijikan.

Tiran benar-benar marah. Dia menahan keinginannya untuk meninju wajah anak yang bernama Falgi itu.

"Bocah miskin. Berani sekali kau." Kenzo mencengkeram tangan Tiran. Menariknya kasar, membuat genggaman tangan Tiran pada Falgi terlepas.

Kedua tangannya kemudian mencengkeram kerah depan Vian. Memandangi wajah basah Vian yang melotot marah padanya.

Tiran tidak bisa tidak tertawa.

Anak-anak ini. Kepadanya. Seorang Tiran Naruna. Si pengusaha berumur 25 tahun.

"Bocah gila. Orangtuamu tidak mengajarkanmu sopan santun?" Tiran berujar.

Kenzo tampak hendak meninju wajahnya, tapi suara seseorang membuatnya terdiam.

"KENZO."

Ketika Tiran menoleh kearah pintu, seorang guru perempuan hadir. Tidak lama sosok dua guru laki-laki muncul setelah bergegas menghampiri si guru perempuan.

"Stop!" Satu guru laki-laki berteriak. Kedua guru itu bergegas kearah Kenzo dan Tiran. Genggaman Kenzo padanya terlepas.

Satu guru laki-laki berkacak pinggang. "Kalian sedang apa? Berkelahi? Kenzo. Kamu yang memulai?" Dia kemudian menyadari keadaan Vian.

"Kenzo. Bapak pikir kamu sudah cukup dewasa. Pembulian?"

Kenzo menunduk. Kedua tangannya mengepal.

Tiran mulai merasa tidak nyaman. Dia merasa tubuhnya menjijikan, dan dia ingin mandi detik ini juga.

"Pak. Saya mau pulang."

Kedua guru itu menyadari ucapan Tiran.

"Beritahu dulu apa yang terjadi."

Tiran mengutuk didalam hati.

Dua guru ini. Mereka bodoh? Lihatlah penampilanku! Dan bocah berengsek yang memegang botol air itu.

"Dia meludahi saya. Dia berkumur dan menyemburkannya pada saya. Sekarang saya mau pulang."

Dia tidak peduli lagi. Sialan. Dia ingin berendam di air yang dia beri antiseptik dan sabun wangi.

Dia berbalik meraih tasnya. Mengernyit merasa betapa tidak ada gunanya membawa tas itu bersamanya.

Kedua guru itu terperangah dengan sikap Tiran. Tapi disisi lain bisa mengerti ketidaknyamanan yang pasti dirasakan anak itu.

"Kalau begitu yasudah." Satu guru berujar.

"Tapi kembalilah kalau kamu sudah kembali merasa untuk sekolah. Tidak baik meninggalkan pelajaran." Yang satu ikut bicara.

Tiran mengutuk.

Tidak akan. Persetan dengan pelajaran. Aku tidak butuh itu sama sekali.

Dia sudah berumur 25 tahun. Dia sudah pernah mempelajari pelajaran SMA sebelumnya.

Dia menyampirkan tas Vian ke bahunya dan berlalu pergi tanpa memberikan formalitas pada si dua guru. Dia berpapasan dengan si guru perempuan. Tiran memberikan anggukan singkat dan melanjutkan langkahnya keluar kelas. Dia bisa mendengar si guru laki-laki memberi tahu Kenzo dan Falgi untuk keruang BK.

Lingkungan sekolah sudah sepi karena jam pelajaran sudah dimulai. Seorang guru keluar dari sebuah ruangan di koridor dan melihat kehadiran Tiran yang membawa tas satu bahunya.

"Kamu. Mau kemana?"

Tiran mengerutkan kening. "Saya sakit."

Sakit batin.

"Bohong. Tidak boleh bolos. Siapa nama kamu."

Tiran menjawab asal. "Tiran."

"Kelas mana?"

"1-C."

"Tunggu disini. Ibu tanya dulu ke wali kelas kamu."

Sang guru pergi.

Tiran bercemooh.

Tidak akan.

Dia kembali berjalan kearah gerbang. Sang satpam menyadari kedatangannya.

"Vian? Kamu ngapain?"

Tiran berkata kasar didalam hati. "Saya dibuli pak. Saya mau pulang."

Si satpam mengerutkan kening. Tapi kemudian menyadari keadaan Tiran.

"Sudah ijin ke wali kelas?"

Tiran menahan keinginan untuk memutar bola matanya kesal. "Sudah."

Pak satpam tampak menimbang-nimbang sebelum bangkit dari kursinya. "Yasudah. Besok jangan tidak masuk. Kamu sudah SMA. Kalau mau kuliah akan ada ujian. Kamu harus belajar."

Pintu gerbang dibuka. Tiran langung keluar tanpa mengatakan apapun. Sang satpam merasa terganggu dengan ketidaksopanan anak itu tapi tidak berkata apa-apa dan hanya menutup pintu gerbang kembali sembari menonton kepergian Tiran.

04/06/2022

Measly033