Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 21 - Minim Tanggung Jawab

Chapter 21 - Minim Tanggung Jawab

Emily menjadi pemisah antara Jaya dan Karin. Sekarang Emily telah masuk ke dalam dunia mimpi setelah menghabiskan satu botol susu. Meninggalkan kedua orang tua angkatnya yang berada dalam kecanggungan.

Karin atau pun Jaya seakan kehabisan bahan pembicaraan. Masing-masing dari mereka berpikir untuk bisa memulai percakapan lagi. Dari pada hanya saling dia dan mata juga belum ingin tertidur.

"Emm," gumam Karin.

"Oh ya," kata Jaya.

Berkata bersamaan membuat keduanya kembali terdiam dan sama-sama menoleh. Jaya pun memiringkan tubuhnya agar bisa lebih jelas melihat Karin. Begitu juga Karin, melakukan hal yang sama.

"Boleh aku duluan yang ngomong?" pinta Jaya.

Karin mengangguk.

"Kamu sedekat apa sama Jemmi? Sampai dia tau banyak soal kamu." Jaya tadi memperhatikan Jemmi yang terus mencari alasan agar Karin tidak tidur di kamarnya. Belum lagi, saat Jemmi mengetahui makanan yang tidak disukai Karin.

"Waktu SMA, aku sama Jemmi sering makan bareng teman-teman."

"Biar aku tebak, dia orang yang traktir teman-temannya."

Karin tersenyum tipis sambil mengangguk. "Kakak tau?"

"Kartu kredit atau atm yang dipakai Jemmi selalu aku cek pengeluarannya. Nominal yang dia keluarkan kadang enggak masuk akal. Dia terlalu boros."

Kali ini Karin terkekeh. "Kak Jaya bener."

"Biar pun begitu, papa sama mama enggak pernah marah. Sampai aku capek buat ngelaporinnya. Jadinya aku biarkan aja tapi tetap aku kontrol uangnya dia pakai buat apa," jelas Jaya.

"Jemmi selalu dimanjain gitu ya?"

"Mama aku itu kalau sudah baik sama orang, bakalan ngasih apa aja. Jemmi anak yang manja, kalau maunya enggak dituruti bakalan ngeluh terus."

Karin menyetujui apa yang dikatakan Jaya. Terlalu manja membuat Jemmi takut mengambil risiko. Sampai-sampai selalu menghindari untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah dia lakukan.

"Oh ya, tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Jaya.

"Kak Jaya kapan mau ngomongin soal pertunangan yang batal ke pacarnya?"

"Rencananya sih, besok. Selama satu minggu ini, papa nyuruh aku libur ke kantor biar bisa ngurusin semuanya," ucap Jaya. "Kamu ikut ya?"

Karin mengerutkan dahinya. "Ketemu pacar Kak Jaya?"

Jaya mengangguk. "Iya."

"Kita jelaskan pakai cerita yang mana?"

Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan Karin. Sehingga dia harus mengingat-ingat terus jalan cerita yang mana sebelum menjelaskan dengan orang lain. Entah sampai kapan dia akan terus begini.

Jaya menyentuh punggung tangan Karin. "Biarkan semua orang tau kalau Emily anak aku."

"Oke Kak."

Mereka kembali terdiam lagi tapi kali ini tidak lama karena Jaya masih mempunyai bahan obrolan lain. Tangan Jaya yang masih berada di atas punggung tangan Karin kini berubah menjadi genggaman.

"Apa kamu keberatan kalau kita jalani hubungan ini dengan serius?" tanya Jaya. "Bukan karena terpaksa tapi pakai rasa."

Karin menatap lurus ke arah Jaya. Dia ingin tetapi memiliki rasa takut. Ketakutan tentang Jaya mengetahui kebohongan yang dia perbuat.

"Kak Jaya yakin? Kakak enggak begitu kenal aku."

"Kalo gitu, biarkan aku kenal kamu lebih jauh."

Karin menjilat bibir bawahnya yang tiba-tiba saja terasa kering. "Gimana kalau nantinya Kak Jaya kecewa atau bisa aja benci setelah kenal aku lebih jauh?"

"Apa kamu segitu menakutkannya?"

Karin tidak menjawab pertanyaan Jaya secara langsung. "Aku sudah peringatkan dari awal biar Kak Jaya enggak terlalu berharap lebih dari aku."

"Aku selalu berani terima risiko," jawab Jaya penuh keyakinan.

Karin memejamkan matanya karena sudah merasa mengantuk. Dia membiarkan saja Jaya menggenggam tangannya. Selama itu tidak mengganggunya, dia tidak masalah.

****

Pada jam empat pagi, Karin terbangun saat mendengar rengekkan dari Emily. Cepat-cepat dia menggendong anak itu dan menimang-nimang agar tidak menangis makin keras. Karin takut akan mengganggu Jaya yang sedang tertidur. Karin mondar mandir mengelilingi kamar dengan langkah perlahan.

"Kamu sudah bangun."

Karin menoleh pada Jaya dan seketika merasa tidak enak. "Apa aku bangunkan kamu?"

Jaya menggeleng sambil bangkit dari posisi tidurnya. "Aku ngerasa aneh karena enggak ada Emily di sebelahku. Dia udah bangun ya?"

"Dia selalu bangun jam segini, bakalan tidur lagi jam sembilan nanti kalo perutnya sudah kenyang."

"Boleh aku yang gendong?" tanya Jaya.

"Eum," gumam Karin sambil menganguk.

Jaya segera beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Karin. Dia tertarik untuk belajar merawat anak kecil. Selama ini dia tidak pernah punya kesempatan seperti ini.

"Nih." Karin memberikan Emily pada Jaya. Setelah itu dia menarik napas panjang.

Saat melihat ke arah jam dinding sudah jam lima lewat. Artinya Karin sudah menggendong Emily sekitar satu jam. Namun rasa lelah baru dia rasakan setelah dia tidak menggendongnya lagi.

"Dia enggak nangis," kata Jaya yang masih terlihat kaku saat menggendong Emily.

Karin mengusap pipi Emily. "Normalnya, dia cuma nangis kalau bangun tidur, lapar sama mau buang air. Emily anak yang gampang buat diurus. Dulu aku pernah ngerawat anak yang rewel banget."

"Anak siapa?"

"Anak yang ada di panti. Waktu aku kecil, banyak anak yang dibuang di saat baru umur beberapa hari."

Jaya menatap Karin. Dalam suaranya bisa didengar ada sebuah kesedihan di sana. Jaya bertanya lagi, "Menurut kamu, apa alasan mereka dibuang?"

"Enggak semua anak terlahir beruntung. Beberapa dari mereka lahir dari orang tua yang minim dengan tanggung jawab. Tapi aku lebih menyukai orang tua yang seperti itu, mereka masih punya kewarasan untuk membiarkan anak mereka tetap hidup. Bukan malah mencoba membunuhnya."

Tangan Karin terturun, dia tidak lagi mengelus pipi Emily. Kepalanya menunduk karena dia tidak ingin Jaya melihat dia sedang menahan tangis. Karin ingat apa yang dilakukan ibunya.

"Emily, kamu dengar itu ... kamu salah satu anak yang beruntung karena punya mamanya yang bertanggung jawab," kata Jaya yang berbicara pada Emily.

"Rin," panggil Jaya pada Karin.

"Ya?" Karin melihat ke arah Jaya setelah dia sudah bisa mengendalikan dirinya.

"Kamu tenang aja, apa pun yang terjadi nantinya di antara kita, aku enggak akan tinggalkan Emily."

Karin pikir dia sudah bisa mengendalikan emosinya tapi ternyata tidak. Dia tetap menangis juga dan malah memeluk Jaya. Cowok yang dia peluk itu ternyata malah membalas pelukannya.

Jaya membiarkan Karin nangis sampai cewek itu tenang. Setelah beberapa saat, Karin akhirnya sudah jauh lebih baik. Cewek itu pun melepaskan pelukannya.

"Oh maaf, aku sudah bikin kotor baju Kak Jaya."

"Sepertinya aku harus mandi sekarang." Jaya pun memberikan Emily pada Karin. "Oh iya, aku baru ingat."

"Apa?"

Jaya lalu beralih pada kotak yang ada di atas nakas. Diletakkannya kotak itu pada ujung tempat tidur. "Tadi malam mama mau kasih ini ke kamu, tapi kamu sudah tidur. Mama bilang, semoga aja kamu suka sama isinya."