Jaya dan Karin membagi tugas untuk membantu Nira dan Nolla menyelesaikan pekerjaan mereka. Jaya membantu Nira yang mengurusi barang-barang Emily yang baru saja dibelikan oleh mamanya. Sedangkan membantu Nolla merapikan lemari pakaian.
Sehingga pekerjaan Nolla dan Nira dapat cepat terselesaikan. Kabar baiknya lagi, mereka dibebas tugaskan untuk memasak makan malam. Jayalah yang memerintahkan seperti itu karena melihat keduanya sudah kepayahan.
Baru juga Karin dan Jaya beristirahat di ruang tamu, terdengar suara mobil dari luar. Tak lama setelah itu, Anggita datang dengan supir yang membawa tas belanjaan. Karin bisa mendengar helaan napas cowok yang duduk di sampingnya.
"Apa lagi ini Ma?" tanya Jaya saat dilihat Anggita menghampirinya.
"Sstt...." Anggita menaruh jari telunjuknya di depan bibir. "Emi baru aja tidur."
Karin dengan sigap mengambil Emily saat disodorkan Anggita.
"Bawa dia di kamar," pinta Anggita.
Karin beranjak dari tempat duduknya dan membawa Emily di kamar. Bersamaan dengan itu, Anggita juga menyuruh supir yang membawa tas belanjaan itu mengikuti Karin. Tas belanjaan ini berisi pakaian untuk Karin dan Emily.
"Papa tau soal ini?" tanya Jaya.
"Tentu papa kamu tau. Mama bisa belanja sebanyak ini karena Papa kamu sudah kasih uangnya ke Mama. Kamu tenang aja, papa kamu enggak mungkin protes lagi."
"Tapi Ma, kamar aku enggak cukup luas untuk bertiga. Khususnya buat lemari."
Jaya bukanlah tipe orang yang boros dengan penampilan. Dia lebih suka pakai apa adanya. Walaupun memang terkesan membosankan. Baju yang dia miliki dapat dihitung, itu juga kebanyakan baju untuk ke kantor dan menghadiri pesta resmi.
"Besok Mama sudah minta orang buat datang ke sini untuk pindahkan lemari yang ada di kamar tamu ke kamar kamu gimana?" tanya Anggita. "Atau kamu mau beli yang baru."
"Pakai lemari yang ada aja Ma," jawab Jaya cepat.
Beginilah mamanya yang gampang sekali membeli barang saat memiliki uang di tangannya. Sifat inilah yang diwarisi oleh Jemmi. Anak itu kalau tidak dikontrol pasti akan sama juga seperti mamanya.
"Bu saya izin pergi dulu untuk jemput Bapak," kata supir menghampiri Anggita dan juga Jaya.
"Ya, silakan."
Setelah supir itu pergi, kini giliran Karin yang menghampiri mereka. Karin mengambil tempat duduk di samping Anggita. Secara halus menggeser Jaya agar berpindah.
"Ma, semua yang ada di dalam tas tadi untuk Karin sama Emily?"
"Oh, kamu sudah liat? Gimana, bagus kan untuk kamu sama Emi?"
"Apa itu enggak terlalu banyak Ma?"
"Mama pikir, baju kalian berdua cuma sedikit. Makanya Mama belikan lagi."
Bisa Jaya lihat kalau Karin sangat terganggu dengan sikap mamanya yang seperti ini. Jaya merasa paham kalau Karin tidak begitu nyaman. Dia pun memutuskan untuk berkata, "Ma, hari ini yang terakhir ya beliin barang buat Emily."
"Kenapa kamu enggak suka?" protes Anggita.
"Bukan enggak suka, soal Emily biar Jaya sama Karin aja yang penuhi. Kalau kita merasa kekurangan atau butuh pasti aku bakalan bilang ke Mama."
"Januari, kamu kapan pernah minta ke Mama? Coba diingat-ingat kapan terakhir kali kamu minta ke Mama. Selama ini kamu pasti usaha sendiri buat dapatin yang kamu mau."
Jaya berdiri dan duduk di lantai di hadapan mamanya. Sambil menaruh tangan di lutut mamanya, Jaya berkata, "Kali ini janji, aku bakalan banyak minta ke Mama."
Anggita mengusap kepala anak pertamanya itu. "Oke, Mama enggak bakalan belikan barang buat Emily lagi."
"Makasih ya Ma," kata Karin.
Tubuh Karin ditarik Anggita agar bisa dipeluk. Karin pun membalas pelukan dari Anggita.
"Mama senang akhirnya bisa punya anak perempuan."
"Ehem."
Moment membah
agiakan ini baru saja dimulai tapi seketika berakhir karena seseorang berdehem. Mereka sama-sama menoleh ke asal suara. Jemmi terlihat berdiri di sana sambil memainkan kunci mobil yang ada di tangannya.
"Baru pulang kamu?" tanya Anggita.
"Tadi sempat balik ke sini, tapi Nira enggak ada masak ya udah makan siang di luar."
"Malam ini gimana kalau kita makan di luar aja?" saran Jaya.
"Boleh."
Suara mobil yang memasuki garasi kembali menarik perhatian mereka semua. Ghani telah datang dari kantor. Namun tidak hanya itu, suara mobil lain terdengar dari arah depan.
Jemmi orang pertama yang berinisiatif untuk melihat siapa tamu mereka. Betapa terkejutnya dia saat melihat dua orang yang baru saja turun dari mobil depan. Mereka tampak tidak ramah. Jemmi pun kembali lagi ke ruang tamu.
"Orang tua Marissa yang datang," kata Jemmi.
Seperti yang ditakutkan Marissa, papa dan mamanya pasti akan marah besar karena pertunangan anaknya batal. Sudah mengetahui hal ini tentu Jaya telah memiliki anti sipasinya untuk menanganinya.
"Biarkan aja mereka masuk, soal ini memang harus diomongkan."
****
"Bagus kalau kalian sudah tau maksud kedatangan kami ke sini," kata Rosa dengan nada tidak ramah.
Beginilah orang tua Marissa jika apa yang mereka mau tidak diikuti oleh keluarga Jaya. Mereka akan berbicara dengan seenaknya, seakan-akan keluarga Jaya sangat membutuhkan mereka. Bukan salah mereka juga sebenarnya bersikap seperti itu.
Sifat angkuh itu mereka dapatkan karena mama Jaya sangat menginginkan Marissa menjadi menantunya. Anggita secara terang-terangan mengatakan kalau dia takut Jaya tidak akan menikah. Sehingga orang tua Marissa merasa keluarga Jaya sangat tergantung dengan mereka.
"Apa maksudnya pembatalan pertunangan itu? Bagaimana dengan pernikahan?"
"Kalau pertunangan batal, otomatis pernikahannya batal. Apa Tante sama Om susah mengerti itu?" tanya Jemmi yang tidak bisa menahan diri karena melihat sikap orang tua Marissa yang terus seenaknya pada keluarganya.
"Jemmi!"
"Jem."
Tegur Anggita dan Jaya bersamaan, sedangkan papanya hanya menatap Jemmi dengan tatapan tajam. Cowok itu pun terdiam dan menahan kesal karena tidak bisa ikut campur dalam hal ini. Kalau saja tidak ada orang tuanya mungkin dia lah yang akan maju melawan dua tamu ini.
"Saya enggak bisa melanjutkan pertunangan saya dengan Marissa Om," kata Jaya yang memulai pembicaraan.
"Marissa bilang kamu menghamili perempuan lain. Apa itu benar?" tanya Reno.
Jaya memegangi tangan Karin yang duduk di sampingnya. "Iya Om, dan saya mau bertanggung jawab karena perbuatan itu."
"Perempuan ini yang bakalan jadi menantu keluarga Agler?" tanya Rosa sambil menunjuk ke arah Karin.
"Apa itu jadi masalah?" tanya Anggita yang mulai tak suka dengan perbuatan Rossa.
"Marissa jauh lebih berkelas daripada perempuan murahan ini." Rossa masih saja menunjuk Karin. "Bisa jadi anak haram yang dia lahirkan berasal dari orang lain."
Kalimat terakhir membuat Karin tidak bisa menahan diri lagi. Namun Karin masih tahu diri saat berkeinginan untuk melawan. Statusnya bukan siapa-siapa di rumah ini, jadi yang bisa dia lakukan hanya pergi dari sini.
"Saya permisi," ucap Karin sebelum akhirnya meninggalkan ruang tamu.