"Kakak bilang juga apa? Dia gak jinak!" Hening sengaja mengeraskan suaranya biar Dipta yang masih terlihat mendengar apa yang dia katakan.
Jana Jani menghela napas lalu duduk di samping Nur, "tapi ganteng jadi, gak sakit hati di gituin," ucap Jani yang di angguki saudarinya.
Hening memutar jengah bola matanya. Dia menatap abahnya yang sedari tadi hanya senyum-senyum mendengar pembicaraan anak muda yang gak jelas.
"Ibu mana? Masak apa hari ini?" Tanya Hening sambil melepas tas sekolahnya. Dia mengikat rambutnya dengan asal lalu masuk kedalam gubuk mereka, memerikas makanan apa yang sudah di siapkan sang ibu.
"Kalian makan siang disini gak!" Jeritnya dari dalam.
"Gak kak! Kami mau langsung pulang aja!" Jani Jana langsung pulang setelah pamit sama abah. Hening yang lagi nyiapin makanan di dalam gubuk gak sempat nahan mereka.
"Aku juga gak!" Jerit Bayu.
"Makan dulu." Tawar Banyu.
"Lain kali aja bah, hari ini mau kekebun karet lebih cepat. Kalo makan siang sama Hening keburu sore." Bayu menyalim tangan Banyu setelah itu langsung pergi.
"Bay ... tunggu!" Nur melihat abah, "maaf ya bah ... Nur juga gak bisa makan sama Hening. Hari ini banyak kali kerjaan, mau nyiapin segala keperluan buat pesta panen."
Emang kalo udah mau acara semua orang sibuk kecuali Hening. Hadis itu gak melakukan apapun karena Susi melarangnya, sebab dia tau kali kalau putrinya gak punya bakat dalam bidang keterampilan.
Yang ada semua hancur kalau Hening turut membantu. Bukannya ringan, pekerjaannya makin berat dan banyak. Lebih bagus, Hening ngurus kebun aja gantikan dia sementara waktu.
Hening yang tau kalau semua temannta udah pergi hanya mengambil nasi untuk dirinya sendiri, seperti biasa porsinya porsi kuli.
"Abah udah makan?" Tanyanya sambil duduk. Hari ini menu makan siangnya, gulai daun singkong, sambal terasi, ikan tongkol sambal. Salah satu menu kesukaan Hening.
"Udah, sama Dipta dan ibu." Hening mengangguk lalu mulai makan. Bayu melihat putrinya makan dengan lahap tampak menahan senyum.
"Yakin mau kuliah di luar negri? Makanan begini gak ada disana," ucap Banyu.
Setelah menelan makanannya, Hening menjawab, "Hening ibarat tunas kelapa. Dimanapun berada bisa bertahan dengan baik, cepat beradaptasi. Abah gak usah khawatir."
Banyu terkekeh pelan sambil mengangguk, "oo ... ya nduk. Besok ada pasaran. Tolong temani aden mencari apa yang dia perlukn, seperti keperluan mandi atau apapun."
Hening geleng, "dia bisa jalan sendiri. Gak mungkin nyasar apalagi di tipu orang, bapak jangan terlalu manjain dia. Dia aja gak ada sopannya gitu."
Banyu menarik napas dan membuangnya pelan, "tolong ya anakku sayang." Kalo udah gini mana bisa Hening nolak. Dengan berat hati kepalanya ngangguk.
***
"Buk, tadi kami udah ketemu sama cucu juragan Bramantyo. Sumpah gantengnya gak bisa di ungkapkan dengan kata-kata," ucap Jani dengan menggebu.
Laila menatap malas putrinya, "cuci kaki dulu!"
Jani Jana langsung menunduk, melihat kaki mereka yang tanpa alas kotornta bukan main. Sambil cengegesan mereka berlari kesampung rumah untuk mencuci kaki.
Disana ada drom penampung air hujan.
"Halo adik-adik yang cantik dan manis." Sapa Shalom. Jana Jani hanya tersenyum kecil setelah itu kembali masuk kedalam rumah.
Shalom tersenyum kikuk, Dimas mencoba menenangkannya dengan mengatakan kalau kedua adiknya memang kurang ramah pada siapapun.
"Sama gadis bernama Hening itu, apa kurang ramah juga?"
"Kenapa bahas dia? Aku gak suka." Ketus Dimas. Wajahnya langsung berubah jutek.
Shalom tersenyum, "maaf, aku gak bermaksud buat suasana hatimu buruk. Aku agak khawatir kalau seandainya mereka acuh padaku tapi, ramah sama Hening."
"Kalaupun mereka ramah sama dia, kenapa? Gak akan ada yang berubah! Aku gak akan pindah kelain hati hanya karena adik-adikku dekat dengannya."
Dimas melanjutkan, "sekarang kamu istirahat. Nanti sore kita main di sungai lagi." Shalom tersenyum dengan raut wajah penuh rasa bersalah tapi, Dimas gak mencoba menenangkannya.
Pemuda itu memilih masuk kedalam rumah. Shalom pun langsung berbalik pergi untuk istirahat.
Sementara itu, didalam rumah Dimas mendengar bagaimana kedua adiknya membahas pemuda bernama Dipta dengan penih antusias.
Dengan tegas dia menyela, "kalian itu anak perempuan, tau malu sedikit. Jangan bergaul dengan orang yang membawa pengaruh buruk."
Laila langsung menegur putranya, "jangan berkata seperti itu. Adik-adikmu hanya menceritakan bagaimana kekaguman mereka terhadap pemuda itu, tidak ada yang salah."
Dimas menatap ibunya dengan tatapan protes, "ibu mau mereka seperti gadis itu? Taunya membuat malu orangtuanya dengan tingkahnya yang memalukan. Mengejarku tanpa rasa malu."
Jani menyela, "mas Dimas terlalu sombong! Kak Hening belum tau aja sifat asli mas, kalau udah tau aku yakin dia nyesel udah suka sama orang yang gak baik. Coba kalo ngomong di saring, mas Dimas itu punya adik perempuan. Gimana rasanya kalo adik mas Dim di gituin!"
Jani mengajak Jana masuk kedalam kamar. Sebelum masuk kamar Jana berkata, "pacarnya mas Dim juga gak lebih baik dari kak Hening."
"Jana!" Tegur Dimas dengan raut wajah tak suka.
Laila melerai, "sudah Dimas! Kamu berlebihan, adik-adikmu sedang berada di fase pubertas. Wajar mereka mengagumi lawan jenis. Jangan keras tidak menentu kalau kami sendiri tidak bisa memberi contoh yang baik."
Dimas tersentak kaget dengan apa yang ibunya katakan.
"Maksud ibu?" Tanyanya sopan namun sarat ketidak senangan yang kentara.
Laila menggeleng, "kamu tidak suka Hening mengejarmu secara terbuka. Tapi kamu? Mempertontonkan kedekatanmu dengan gadis kota itu pada semua warga desa. Bahkan kamu tidak ragu mengatakan pada mereka kalau dia kekasihmu. Menurutmu, apa yang kamu lakukan itu tidak lebih buruk dari Hening?"
Dimas terdiam.
Sebelum meninggalkan putranya yang terpaku, Laila melanjutkan, "setidaknya Hening tidak seberani gadis kota itu yang dengan acuhnya berani menggandeng tanganmu bahkan di depan ibu."
Dimas menatap kepergian ibunya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Menghela napas pelan kemudian dia masuk kedalam kamarnya. Di dalam kamar dia mencerna apa yang ibunya ucapkan.
Dan jelas ibunya tidak menyukai Shalom yang kini sudah menjadi kekasihnya. Ketidak sukaan ibunya berdasar, untuk orang desa yang masih menjunjung tinggi norma dan etika tentu saja kedekatan lawan jenis selain teman biasa sangat tabu.
Kalaupun ada yang menjalin kasih biasanya tetap di temani orang terdekat, dan sangay jarang bersentuhan.
Dan kenapa ibunya lebih suka Hening walau gadis itu menunjukkan rasa suka secara terang-terangan ya karena gadis itu tidak pernah kontak fisik dengannya.
Ingat Hening, darah Dimas mendidih.
***
Dikebun Hening memetik sayur dan menyapu halaman gubuk. Sampai di bawah pohon jambu, dia di kejutkan dengan biji jambu yang bertaburan.
Dia langsung mendongak, betapa terkejutnya dia banyak buah yang udah gak ad.
"Gak mungkin perbuatan kalong (hewan sejenis kelelawar, pemakan buah)," gumamnya.
Hening berpikir dengan cermat setelah itu tuduhannya mengarah pada satu sosok, "pasti perbuatan anak setan itu. Cuma dia yang berani deketin pohon keramat ini."
Hidung Hening udah kembang kempis karena emosi.
Liat aja ntar.