"Ngomong-ngomong ...." ucap salah seorang ibu yang mendapat tatapan malas dari sebagian ibu-ibu yang ada di rumah Laila dan sebagian lagi menunggunya dengan tatapan kepo.
"Kalau udah di awali dengan kata ngomong-ngomong, yakinlah kalau informasi atau pertanyaan yang akan di tanya bu Ratmi ini pasti mengandung gosip berkwalitas tinggi," ucap Susi yang di sambut tawa si empunya nama.
Bu Ratmi ini emang biangnya gosip di desa, semua informasi tau. Dan mau gak mau di denger juga, yang namanya gosip itu ibarat makan jengkol atau pete. Walau bau, tetap aja buat nagih.
"Mak Ning bisa aja, saya bukan mau gosip lo. Cuma mau tanya sama mak Ning, emang kenapa juragan Bramantyo nitip cucunya sama suami sampean? Apa dia calon juragan berikutnya?"
"Kalau itu aku ndak tau bu, males ikut campur. Mungkin aden Dipta cuma mau liburan aja, penat sama suasana kota." Jawaban Susi sama sekali gak memuaskan kaum-kaum pecinta gibah.
Susi suka juga gibah tapi, kalo urusan pribadinya yang di jadikan bahan, dia gak mau.
"Dipta? Wah ... dari namanya aja udah keliatan orang kayanya, apalagi orangnya ya? Makin penasaran, mana tau dia mau cari istri, bisa lah sama anak saya. Langsung jadi orang kaya nomor satu saya di desa ini," ucap bu Ratmi yang di hadiahi tatapan malas sama ketawa kecut.
Bu Ratmi ini emang agak laen orangnya. Temenan boleh, deket jangan. Tipe orangnya mau dapat untung terus, belum lagi mulutnya gak bisa di percaya, ampun dah.
"Daripada ngurusin cucu juragan Bramantyo, lebih baik kita fokus sama acara nanti. Makanan apa yang mau kita sajikan, taun ini buat yang beda. Jangan nasi tumpeng lagi, bosan." Laila mengalihkan topik pembicaraan.
Dia tau Susi gak nyaman.
Buk RT menimpali, "iya bener. Kita harus buat yang beda, kebetulan tamu kehormatan kita masih sangat muda. Buat menu yang gak buat bosen dan lain dari yang lain. Tapi apa ya?"
Laila mengangguk setuju lalu menatap Susi, "cucu juragan suka makan apa? Kebetulan dia jadi tamu kehormatan, kita buat menu kesukaannya."
"Selama tinggal bersamaku gak ada yang aneh-aneh, semua dimakannya. Cocok-cocok aja." Susi berpikir sebentar lalu tersenyum lebar, "nasi liwet aja, keliatannya itu menu yang paling di sukainya. Pernah aku buat, dia lahap makannya."
Laila mengangguk, "baiklah, nasi liwet."
Para ibu-ibu mulai menyusun menu apa saja yang akan di sajikan nanti, mereka juga membagi tugas seperti biasa, tiap kelompok memiliki tugasnya sendiri.
Sementara itu, Dipta yang sendirian dirumah pusing mau ngapain. Jujur dia sudah bosan di desa ini. Tapi, mau pergi gak pegang uang sama sekali.
Sial emang ....
"Diantara semua tempat yang ada di dunia, kenapa tempat ini?" Gumamnya dengan wajah kesal.
Wajah kakeknya terbayang, seketika emosinya mencapai ubun-ubun. Ingin kali berkata kasar tapi ... ah sudahlah!
Dipta memutuskan pergi keladang, seenggaknya di tempat itu ada jambu air si Jenong yang bisa dimakannya. Mumpung penunggunya sedang sekolah, dia harus memanfaatkannya.
Demi Tuhan, ini kegabutan paling aneh yang pernah di lakukannya. Biasanya kalo gabut, dia ngabisin uang bukan manjat pokok jambu.
Sepanjang jalan menuju ladang, dia sama sekali gak berpapasan dengan yang namanya manusia. Jelaslah karena rumah orang kepercayaan kakeknya itu tinggal di ujung desa, jauh dari tetangga.
Tapi, bagus kaya gini.
Setibanya di ladang, dia melihat orang kepercayaan kakeknya sedang duduk di saung sambil ngipasin wajah pakek kipas tradisional yang terbuat dari anyaman tepas.
Dipta tau karena kakek neneknya pecinta barang traditional.
Tanpa menyapa Banyu, pemuda itu langsung mendekati pohon jambu keramat. Setelah bersusah payah dia manjat, akhirnya sampe juga di atas.
Di cabang yang kokoh ada papan yang di paku, sepertinya di penunggu sering menghabiskan waktu disini.
Dipta mendudukinya, angin sepoi langsung menyapa. Di tempat ini bisa buat ngantuk orang. Dari sini juga, Dipta bisa melihat hamparan kebun yang bagus, samar bahkan terlihat suasana di luar ladang.
Gak ada beda, masih tetap suasana desa.
Dari tempatnya duduk, bisa metik jambu air dengan mudah. Rasanya memang luar biasa manis, dan airnya sungguh banyak. Dipta yang jarang makan jambu, jadi ketagihan.
Cukup banyak dia makan, sampe setangkai jambu air yang ada di dekatnya habis tak bersisa.
Banyu yang melihat dari tempatnya hanya bisa menggeleng, dapat di pastikan setelah Hening pulang, terjadi lagi perang dunia yang sudah berlangsung entah keberapa kali.
Banyu dan Susi harus menyehatkan jantung, supaya gak mayi muda ngadepin kedua muda mudi ini.
**
Sementara itu di sekolah, Hening lagi pasang mode cuek terhadap Dimas yang kembali datang kesekolah untuk melanjutkan misi dan visi universitas yang menjadi tempatnya melanjutkan sekolah saat ini.
"Masa mas Dimas gak ada inisiatifnya nyarik aku? Kan gak biasanya, aku gak muncul di depan dia." Hening menumpangman dagunya di atas tangan yang tertopang di atas meja.
Nur menggelengkan kepala, "kaya yang pernah di samperin duluan aja. Sadar, kamu itu gak berharga, apalagi sekarang dia udah punya kekasih, mana mungkin dia mikirin kamu."
Hening melirik Nur gak suka tapi, apa yang di bilang temannya itu benar. Gak pernah sejarahnya Dimas nyamperin dia duluan, hal itu gak mungkin terjadi.
Ibarat Hening ingin bulan terbit di siang hari. Mustahil.
Hening menatap Bayu untuk mendapat pembelaan tapi, temannya yang satu itu malah mendukung Nur.
"Harusnya kalian itu tetap dukung aku walau ujung-ujungnya hatiku hancur. Itu gunanya temen, ada di saat suka dan duka. Akupun gak mau tersiksa kaya gini tapi, apa bisa di kata kalo hati udah memilih dan gak mau nyerah gitu aja!"
Kesal Hening sambil meringis karena jidatnya nyeri. Benjolannya belum kempes. Kalo ingat kejadian tadi pagi, rasanya pengen kali ngusir Dipta.
Tapi ....
Entahlah! Kok bisa anak itu nyasar dirumahnya! (Emot nangis)
"Halo pujaan hati." Sapa Jefri yang baru masuk sambil bawa plastik berisikan somay mang Udin. Somay yang paling enak di desa Suka Sari, dagingnya berasa beut.
Dan yang paling penting, harganya murah meriah buat yang beli bahagia.
"Jangan mulai!" Kesal Hening.
"Abang cuma mau menyampaikan kalo adek Hening jangan ngarep sama anak juragan Bimo lagi. Dia gak segan bilang ke guru kalau temen ceweknya itu, kekasihnya."
Nur dan Bayu langsung melirik Hening yang terdiam tanpa kata. Seketika kelas menjadi senyap, jarum jatuh pasti kedengaran.
Jefri melanjutkan, "abang gak bohong. Tadi, sebelum kekantin, abang nemuin wali kelas dulu, buat kasi laporan. Eh ... mas Dimas kamu bilang gini 'iya, dia teman dekat saya. Kalau orang kota nyebutnya pacar' gitu. Dia nunjuk teman cewenya yang paling manis."
Hening menatap Jefri dengan nanar.
Beberapa saat kemudian dia tersenyum lebar, buat yang nyaksikan horor sendiri. Reaksi Hening jauh dari ekspektasi mereka.
"Kamu gak apa-apa?" Tanya Nur.
Sekesel-keselnya dia sama Hening, tetap aja terima Hening di sakitin kaya gini. Gitu juga Bayu.
"Ya gak lah! Kan cuma di kenalin sebagai pacar bukan calon istri. Aku masih punya harapan. Sekarang ini aku mang lagi males ketemu mas Dimas. Tapi nanti setelah suasana hatiku membaik, pasti aku samperin. Udah kangen soalnya."
Hening cengengasan gak jelas.
Nur dan Bayu mendengus kasar, setelah itu mereka memutuskan pergi kekantin. Gak ada guna nemenin Hening, pikir mereka.