"Pertanyaan selanjutnya. Ditinggal pergi untuk selamanya, apa yang Mbak Nisa pikirkan pertama kali, bagaimana perasaan Mbak saat itu?"
Ketika itu sesi wawancara dengan sebuah media. Moderator acara menanyaiku tentang apa yang kurasakan ketika seluruh keluargaku pergi untuk selamanya dan apa yang ada di pikiranku. Waktu itu aku hanya diam. Merasa marah. Apa dia bodoh hingga pertanyaannya seperti itu ditanyakan. Memangnya jawaban seperti apa yang dia harapkan.
Hening. Mendadak suasana menjadi canggung.
"Pertanyaan yang terlalu sulit. Kalau begitu kita beralih ke pertanyaan lain," ucap moderator memecah keheningan.
Jika hari ini pertanyaan yang sama ditanyakan lagi, aku masih tidak yakin apakah bisa menemukan jawaban yang tepat. Aku masih tidak yakin apakah aku masih akan merasa marah. Yang pasti aku akan tetap terdiam.
Aku juga pernah mendengar pertanyaan lain dari seseorang yang baru kujumpai 3 kali di rumah sakit.
"Jika sakitnya tidak tertahankan, jika sangat sulit untuk bertahan seorang diri, kenapa tidak akhiri saja semuanya?"
"Akhiri semuanya?" Aku balik bertanya.
"Benar. Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Biarkan waktu melewatkanmu. Biarkan orang lain tidak melihatmu."
Saat itu aku juga tidak memberi jawaban. Hanya diam dan menatapnya.
Bagi banyak orang, pertanyaan itu jelas terdengar kasar dan jahat. Aku pun sempat berpikir seperti itu. Berpikir bahwa orang itu benar-benar tidak sopan dan gila. Tapi, saat aku mencoba memahami pertanyaannya, aku mengerti satu hal.
Orang itu tidak sedang bertanya padaku. Sebenarnya dia bertanya pada dirinya sendiri. Dia bukan ingin mendengar jawaban, tapi sedang mencari jawaban.
Bagi seseorang yang tidak pernah sungguh-sungguh berjuang, mungkin mudah saja mengatakan 'akhiri saja.' Tapi bagiku, yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keluargaku berjuang sampai akhir, bagaimana keras usaha mereka untuk bisa tetap hidup, membuatku berpikir berbeda.
Pelajaran terakhir dan paling berharga yang kudapat dari keluargaku adalah mengenai bertahan hidup.
Sebenarnya, jika harus jujur, bisikan-bisikan seperti itu datang sesering aku menolaknya. Seperti di suatu malam di bulan Desember yang dingin. Atau di saat orang lain memiliki kelompoknya untuk berkumpul. Atau di Hari Raya yang meriah. Atau lagi, di saat aku hanya memiliki airmataku untuk menangis.
Bagiku, memilih untuk mengakhiri semuanya tidak semudah bertahan dan tetap hidup. Karena sama-sama tidak mudah, maka yang bisa aku lakukan hanya menjalani hidupku.
Dibanding orang-orang yang rapuh dan mudah menyerah, masih ada banyak orang yang berjuang begitu gigih untuk hidupnya di luar sana. Meski orang lain menyebutnya tidak ada harapan, meski vonis waktu hidupnya telah ditetapkan, mereka tetap bertahan sampai akhir. Aku, bagaimana mungkin bisa menghianati hidupku dan mengabaikannya begitu saja.
Salah satu dari orang-orang itu, aku pernah mendengarnya mengadu pada Tuhan semesta alam.
"Kenapa tidak mereka saja yang tidak menginginkan nyawanya yang Engkau cabut. Mengapa harus kami yang berjuang siang dan malam untuk bertahan hidup?"
"Bagaimana kalau ini bukan tentang keadilan tapi kelayakan?" Seorang temannya menyahut.
"Kalau begitu atas dasar apa kita tidak layak dibanding mereka?"
"Bukan kita yang tidak layak, tapi Bumi yang sudah tidak lagi layak kita tinggali," sahutnya penuh energi positif.
Mereka adalah pasien kanker stadium akhir. Karena sering tinggal di rumah sakit, aku jadi mengenal beberapa dari mereka.
Aku tidak berharap banyak untuk hidupku. Tidak juga pada masa depan. Aku hanya akan hidup dengan baik untuk hari ini. Makan dengan baik, olahraga, bekerja dengan baik, belajar dengan baik. Dan jika esok usiaku masih dipanjangkan, aku akan melakukannya lagi. Begitu seterusnya.
Dan, kehidupanku berlanjut pada pertemuanku dengan Ilyas. Dengan satu dan dua orang lagi yang mau menerimaku. Aku bersyukur. Sangat bersyukur.
Karena masih hidup aku bisa bertemu dengan Ilyas. Karena masih hidup aku bisa berteman dengan si Genius Alvian. Karena masih hidup aku bisa mendapatkan kesempatan bekerja di tempat Pak Budiman. Karena masih terus hidup aku bisa bertemu dengan mereka yang mau mempercayaiku meski aku tidak bersujud memohon.
Hanya karena aku masih hidup, aku diberi hadiah indah seperti ini.
Hari ini aku jatuh sakit dan aku merasa sangat bersalah pada diriku sendiri. Juga pada janjiku untuk hidup dengan baik.
Sakit tidak akan memberi keuntungan apa pun, termasuk untuk diriku yang harus tetap berjuang untuk bisa baik-baik saja. Aku tidak memiliki siapa pun yang bisa merawatku. Tidak memiliki telinga yang mau mendengar keluh kesahku bahwa aku lelah, bahwa aku ingin beristirahat.
Aku tidak memiliki siapa pun di dalam rumah, tapi aku tahu masih ada yang peduli padaku di luar. Seperti Ilyas, Alvian, dan Pak Budiman. Sekarang aku bertemu dengan satu orang lagi yang peduli padaku, Pak Fadh.
Sekali lagi, aku bisa bertemu dengan orang-orang yang mau peduli denganku karena aku masih hidup. Karena aku tidak menyerah.
Aku pulang dari sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Langkahku pendek-pendek dan beraturan. Kepalaku masih sedikit berat, tapi aku yang bersikeras untuk pulang sendiri. Aku tidak ingin merepotkan. Aku masih bisa mengatasi rasa sakit yang tidak seberapa ini.
Sinar matahari terik, tapi panasnya tidak membakar. Langkahku berhenti sejenak. Aku menatap sekelilingku. Entah kenapa hatiku begitu tenang, begitu penuh rasa syukur.
"Ma, aku mau es krim. Belikan es krim, ya, ya, yaa..." Seorang anak laki-laki merengek. Menarik-narik tangan ibunya.
"Iya, iya. Ayo, masuk!"
Mendengar persetujuan ibunya, anak itu senang bukan main. Ia berjingkrak-jingkrak, berjoget, menggoyang-goyangkan kepalanya. Aku yang melihat kejadian itu ikut tersenyum.
Hari ini memang tidak ada yang berubah. Saat aku terbatuk-batuk dan muntah di kelas, teman-teman yang lain masih begitu takut. Mereka masih menjaga jarak. Jika sesuatu yang buruk terjadi, mungkin aku akan mati begitu saja tanpa pertolongan. Anehnya aku tidak lagi merasa terluka oleh sikap mereka. Aku tidak lagi memiliki keinginan untuk membenci.
Pak Fadh datang, mengangkat dan membawaku ke UKS. Pak Fadh melakukan hal itu di depan kelas dan itu membuatku malu setengah mati. Tapi aku sama sekali tidak memiliki debar-debar bahkan saat aku merapat di dalam dekapannya. Aku tidak merasa GE-ER karena diperlakukan dengan baik. Hanya perasaan tenang. Mungkin ... karena aku tidak memiliki perasaan apa pun dan aku tahu Pak Fadh hanya melakukan tugasnya sebagai guru. Hanya membantuku.
Saat berada di dekat guru itu, aku merasa tidak perlu bersikap waspada. Aku bahkan merasa tidak perlu menyembunyikan apa pun. Aku merasa Pak Fadh tahu terlalu banyak hal. Seperti saat aku diceramahi untuk jujur pada diri sendiri dan orang di sekitarku.
Hari ini untuk pertama kalinya aku menangis di depan Ilyas. Aku pikir menunjukkan kelemahanku dan bersikap cengeng itu buruk, tidak tahunya aku justru merasa lega. Aku lega karena aku tidak perlu selalu berpura-pura kuat di depannya. Dan aku lega karena sudah mengatakan apa yang aku pikirkan.
Aku tidak tahu seperti apa orang lain melihat hidupku. Mungkin mereka bersimpati, merasa kasihan, merendahkan, atau mungkin kagum. Aku juga tidak tahu ada di tingkat mana penderitaan dalam hidupku. Kehilangan, kesepian, dikucilkan, menanggung kerinduan seumur hidup, bekerja keras. Aku tahu bukan hanya aku yang merasa menderita. Setiap orang memiliki penderitaan mereka masing-masing. Menyadari hal itu, aku menjadi lebih bersyukur.
Aku memandang langit. Semilir angin berembus menggerakkan dedaunan yang jatuh ke trotoar, membuat ranting berderik, menerpa wajahku.
"Benar-benar meneduhkan," gumamku.
Hari ini aku hidup, hari ini aku bersyukur. Hari ini aku memiliki Ilyas. Memiliki Alvian sebagai teman yang baik. Memiliki bos yang pengertian seperti Pak Budiman. Memiliki Guru yang perhatian seperti Pak Fadh. Mungkin, kalau aku hidup sampai 50 tahun lagi, aku akan memiliki lebih banyak lagi.
Apa ... aku yang sekarang terlalu serakah?
[]