Sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponselku tepat sebelum aku lepas landas dan pulang ke rumah. Pesan dari teman SMP yang masih sering nongkrong bersama. Setelah balas membalas pesan beberapa kali, motor kesayanganku melaju dan berbelok arah. Batal pulang.
Aku melirik jam di sudut paling atas ponselku. 23.00. Mereka memang sangat suka berkumpul hingga larut malam dan memintaku datang bergabung. Padahal seharusnya mereka tahu kalau ibuku paling sensitif mengenai pulang terlalu larut. Apalagi besok sekolah dan ada PR yang sejak kemarin belum kusentuh sama sekali.
"Mereka selalu enggak pernah tepat memilih waktu," keluhku.
Kalau bukan karena Addar datang, aku pasti tidak akan peduli. Aku akan langsung pulang ke rumah dan bersembunyi di balik kemul. Tidak peduli cemooh mereka yang menyebutku, anak mami. Aku akan tidur cepat karena ada kemungkinan mimpi indah akan mampir di tidurku. Dan besok pagi-pagi sekali, mengambil buku tugas Alvian diam-diam dan menyelesaikan tugasku.
Rencana yang sempurna.
"Aku memang jagonya menyusun rencana!" Aku memuji diri sendiri dengan bangga. Tersenyum puas karena otakku mudah diajak kerja sama.
Memikirkannya saja sudah membuatku rindu kasur.
Addar adalah teman SD. Teman-teman yang lain mengenalnya karena pernah kuajak bergabung dalam komunitas kamping. Saat itu libur semester SMP kelas VII dan Addar datang untuk mengunjungi kakek dan neneknya.
Aku adalah tipe yang jika berteman sering mengenalkan satu teman dengan tema yang lain. Mengajak kumpul dan bergabung dalam acara komunitas. Aku melakukan itu agar suasana lebih meriah.
Addar ikut orang tuanya yang pindah kerja ketika kelas 5. Addar kurus, tinggi. Dan karena fisiknya, kami memanggilnya dengan sebutan Cungkring. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat anak itu. Anak yang hobi pilek dan suka mengelap ingusnya sembarangan.
Jadi rencananya, aku datang hanya untuk menyapa Addar. Berbicara beberapa menit, lalu pulang.
Lampu jalan menyala merah. Aku berhenti.
Karena karakterku yang seperti itu tidak heran jika semua temanku saling mengenal atau minimal pernah bertemu satu sama lain. Hanya Alvian yang selalu menolak jika kuajak ikut berkumpul dan menghabiskan hari libur di luar. Anak itu memang manusia anti sosial yang merepotkan. Sama sekali tidak pernah menyambut niat baikku.
"Bukan aku yang minta. Kamu saja yang kurang kerjaan." Kalimat itu yang selalu dia katakan untuk menepis ajakanku.
Seandainya dia mau membuka mata dan melihat indahnya dunia luar. Dan seandainya dia tahu betapa menyenangkan memiliki hubungan sosial dengan banyak orang, dia pasti menyesal selalu menolak ajakanku.
Ah, sial! Aku tiba-tiba saja teringat sifat menyebalkan Alvian sore tadi. Buku catatannya masih ada dalam ranselku. Apa tidak usah kukembalikan dan kubuang saja ke laut biar dia tahu rasa. Atau kubakar saja lalu abunya kutiupkan ke mukanya. Membayangkan dia marah saja sudah menyenangkan.
Aku menghela nafas panjang.
Sebenarnya anak itu kenapa, sih. Kenapa sikap menyebalkannya selalu muncul tiba-tiba.
Tin-tin.
Tanpa sadar aku jadi melamun. Suara klakson pengendara lain menyadarkanku bahwa lampu sudah kembali menyala hijau. Setelah melewati satu tikungan, sampailah aku ke tempat di mana teman-temanku berkumpul. Sebuah angkringan terbuka tepat di pinggir jalan.
"Hei, Bro!" Addar menyapaku begitu aku turun dari motor.
"Cungkring!" Aku memanggil dengan sebutan masa kecilnya. Melakukan tos dan menepuk bahu satu sama lain. "Wah, sudah kagak cungkring lagi sekarang," ucapku setelah mengamati perubahannya selama kami tidak bertemu.
Badannya tetap tinggi, tapi kini lebih berisi. Mungkin mendekati gemuk. Bisa jadi lingkungan baru membuat nafsu makannya lebih besar. Penampilannya jauh lebih bersih dan rapi. Tidak ada lagi bekas ingus di wajahnya. Rambutnya dibentuk jabrik dengan menggunakan banyak pomade.
"Gempal, Bro," sahut teman yang juga berasal dari SD yang sama.
Sebenarnya menyapa dengan melakukan body shaming tidak patut dicontoh. Bercanda seperti ini hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang sudah berada di level dewa; hati besi, mental baja. Jadi, sama sekali tidak disarankan digunakan oleh umum.
"Enak aja!" elak Addar tidak terima. "Ideal, Man." Kami tertawa.
Setelah puas tertawa, basa-basi tahap kedua dimulai. Bertanya kabar, kesibukan, dan menghitung segala perubahan yang terjadi. Rencananya aku hanya mampir untuk menyapa. Menghabiskan waktu setidaknya 10 menit. Tidak tahunya obrolan-obrolan kami menahanku hingga lebih dari setengah jam.
"Bro, aku duluan, ya!" Aku pamit pada semua yang berjumlah 7 orang.
"Wah, cepat sekali, Bro. Sudah dapat panggilan?"
"Panggilan?" ulangku.
"Dari Tuhan," sindir Khalis.
Anak-anak yang lain tertawa puas. Aku melempari mereka dengan kulit kacang di depanku. Tidak ingin mengulur waktu atau meladeni ejekan mereka, aku menuju ke tempat motorku yang setia menunggu. Mesin motor sudah menyala ketika kuliat Addar menyusulku dengan setengah berlari.
"Sampai lupa mau menanyakan keadaan Alvian. Kata Khalis kalian satu sekolah." Kalimat Addar membuatku tertahan. Kembali kumatikan mesin motor. Memilih tinggal sebentar dan menunggu Addar menyelesaikan kata-katanya.
Semua teman SD tahu kalau teman yang paling dekat dengan Alvian adalah aku. Kami bahkan sering satu bangku saat di sekolah. Teman-teman yang lain bahkan heran aku bisa terus akrab dengan Alvian. Bagi mereka Alvian anak yang membosankan dan sulit diajak kerja sama. Alvian terlalu mendominasi dan hal seperti itu yang biasanya membuat orang lain tidak tahan.
Alvian dan Addar Sama-sama pindah sekolah saat kelas 5 SD. Alvian pindah tiga bulan lebih cepat. Alasannya karena masalah keluarga. Tidak spesifik tahu apa tepatnya.
"Anak itu baik, ada di rumahnya. Mungkin sudah ngorok," kataku sekenanya.
"Kalau enggak salah bulan lalu aku ketemu Alvian di rumah sakit dekat rumah Omku. Dia yang bilang kalau sudah pindah lagi ke sini." Addar melanjutkan ceritanya.
"Iya. Belum sampai satu tahun." Aku menjawab dengan singkat. Berharap Addar peka, tahu bahwa aku sudah harus pulang ke rumah. Pembahasan seperti ini bisa kita lanjutkan lain kali. Kalaupun dia sudah buru-buru harus kembali ke kotanya, kami sudah bertukar kontak dan bisa di lanjutkan melalui jalur ponsel.
"Dua tahun lalu orang tuaku pindah kerja lagi dan kebetulan di kota yang sama dengan tempat Alvian tinggal. Kami bahkan satu sekolah." Addar masih bercerita. Anak ini sama sekali tidak peka. Tidak terlihat ada tanda-tanda pembicaraan akan segera selesai. "Oh iya, tinggal dengan siapa anak itu sekarang?"
"Ya, sama emaknya. Sama siapa lagi. Dari dulu hubungan sama bapaknya, 'kan enggak ..."
Kata-kataku terhenti. Di bawah cahaya temaram bulan dan lampu jalan, jika tidak memperhatikan dengan saksama, aku tidak akan menangkap ekspresi terkejut di wajah Addar. Jika lebih kuperhatikan, bukan ekspresi terkejut biasa, karena wajahnya sampai berubah pucat.
"Ibunya ... bukannya ... sudah meninggal," kata Addar nanar "Tepat di hari kepindahanku ke sekolahnya."
[]