"Apa kertasnya kuselipkan di bawah pintu saja, ya?" Aku berbicara pada diriku sendiri.
Dan aku telah memutuskan untuk melakukan ide Brilliant itu ketika pintu tiba-tiba dibuka.
Sial! Kenapa waktunya tidak tepat begini.
Dengan posisi setengah berjongkok, Nisa menangkap basah diriku. Nisa sampai memekik karena terkejut. Ekspresi wajahnya terlihat dipenuhi kecurigaan ketika menatapku. Gawat! Jangan bilang sekarang aku mirip tukang intip kurang kerjaan.
"Enggak, enggak, enggak! Ini enggak seperti yang Nisa bayangkan," timpalku cepat. Bahkan sebelum Nisa sempat mengatakan apa pun, aku langsung menyerahkan fotokopi catatan Alvian. Mungkin lebih tepat kalau disebut melempar. "Kalau begitu sampai ketemu besok."
Aku berbalik pergi. Tapi kemudian sadar bahwa ini tidak benar. Aku tidak ingin menyesal lagi.
Aku ini kenapa? Benar-benar bodoh, tidak sopan, payah, tidak bisa diandalkan. Apa seperti ini saja cukup? Ayolah, aku bukan tipe orang yang labil. Kalau hal seperti ini saja tidak bisa kuatasi bagaimana nanti.
Kakiku berhenti melangkah. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dalam sekali tiupan. Membalik badan.
Jantungku berdebar keras. Berdiri di depan Nisa seperti ini, aku benar-benar merindukan situasinya, merindukan Nisa, dan merindukan segala hal yang kulakukan bersamanya. Malu, berhati-hati, debar-debar kerinduan, perasaanku terlalu penuh dan bercampur aduk. Ini terlalu sulit untuk aku mengerti.
"Mau pergi kerja?" Aku bertanya setelah berhasil mengendalikan perasaanku. Aku memperhatikan penampilan Nisa untuk mengevaluasi kalimatku. Barangkali saja aku salah dalam memilih kalimat.
Nisa mengangguk.
"Boleh kuantar?"
Nisa mengangguk lagi.
Lega. Segala ketakutan dan kecemasan akan penolakan Nisa lenyap sudah. Aku bahkan nyaris memekik kegirangan. Rasanya hampir sama seperti saat pertama kali Nisa menerima ungkapan perasaanku. Bukan menerima, lebih tepatnya mencoba.
Hubunganku dengan Nisa kandas belum genap seminggu. Tepatnya baru 6 hari, 18 jam, 1.080 menit, 64.800 detik. Aku sudah menghitungnya dengan sangat detail hanya untuk membuktikan Alvian salah menghargai otakku yang selalu dia katakan 'tidak seberapa.' Setidaknya otakku ini masih mampu menghitung waktu dengan tepat. Artinya, harganya masih bisa naik tergantung nilai tukar dolar.
Stop!
Intinya, aku hanya ingin mengatakan walau waktu berantakannya hubungan kami belum lama, tapi aku merasa banyak kehilangan hari-hariku yang menyenangkan. Kehilangan momen-momen penting ini.
Aku selalu menikmati saat-saat kami berjalan beriringan, saat kami bercerita, saat aku memperhatikan tingkahnya. Mendadak aku semakin merindukan dia yang tengah berjalan tepat di sampingku. Bukankah ini aneh. Aku sedang bersamanya tapi masih bisa merindukannya.
"Apa enggak apa-apa sudah pergi kerja?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Enggak apa-apa, sudah baikan," jawab Nisa. Dia berbicara seperti biasanya, tersenyum sebanyak biasanya. Mungkin, di sini hanya aku seorang yang berdebar-debar. "Lagian kemarin juga sudah mulai kerja."
"Apa? Dasar keras kepala! Bukannya diberi izin pulang lebih awal untuk istirahat. Total istirahat!" Lagi-lagi aku mulai mengomel seperti anak gadis yang sedang datang bulan. Nisa tertawa mendengar celetukanku. Tawa kecilnya yang entah kenapa terdengar menyenangkan. Membuatnya terlihat semakin manis.
Seperti yang lalu-lalu, kami mengiringi langkah-langkah kecil kami dengan membicarakan ini-itu. Sesekali tertawa. Rasanya memang tidak lagi sama. Ada kecangguan, jarak yang terlalu jauh. Seperti ada jurang kecil yang membentang di antara kami.
Setelah melepaskannya dan tahu seperti apa rasanya, aku merasa semakin tidak ingin kehilangan. Salah! Tidak sanggup kehilangan.
Sekarang aku harus bagaimana? Perasaan ini terlalu mendominasi dan membuatku tak berdaya. Prinsip-prinsipku, keinginanku, karena aku yakin aku yang sekarang akan melakukan kesalahan yang sama. Aku tidak ingin berpisah lagi setelah bersama. Yang pada akhirnya hanya akan membawa hubungan kami pada jalur yang itu-itu saja. Kemudian dipenuhi dengan penyesalan.
Nisa berhenti melangkah dan melihat ke belakang.
"Kenapa?" Langkahku ikut berhenti. Bukan hanya sekali. Sejak meninggalkan rumahnya, Nisa sudah berkali-kali menoleh ke belakang. Seperti ada sesuatu yang membuatnya terganggu.
"Dari kemarin aku merasa seperti ada yang mengikuti."
"Kemarin?"
"Iya. Sebelum-sebelumnya juga."
Gawat! Sepertinya aku sudah membuat Nisa paranoid dengan kelakuanku yang mirip penguntit. Sebentar, bukannya aku sedang mengakui tuduhan Alvian bahwa aku penguntit. Hanya saja ...
Tunggu dulu!
Sebelum-sebelumnya juga? Jadi ini sepenuhnya bukan karena kelakuanku? Bukan hanya aku yang suka menguntit? Ralat, mengikuti diam-diam.
Aku celingukan ke sana-kemari, berharap dapat menangkap basah tersangka selain aku itu.
"Atau mungkin hanya perasaanku." Nisa buru-buru meralat kalimatnya. "Soalnya akhir-akhir ini kalau enggak ada kerjaan aku sering nonton film horor." Nisa menggunakan telunjuknya untuk menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Bohong. Jelas Nisa hanya sedang beralasan. Lagi pula sejak kapan seorang Nisa tidak punya kerjaan.
"Aku serius." Nisa seperti bisa membaca apa yang sedang kupikirkan. "Jadi, jangan khawatir!"
"Jadi, jangan khawatir?" Aku mengulang kalimat Nisa dengan nada dingin. "Menurut Nisa aku bisa seperti itu? Menurut Nisa ini masalah sepele yang bisa selesai dengan kata, jangan khawatir? Oke, kalau begitu aku enggak akan peduli. Toh, kita bukan apa-apa lagi."
Nisa menghela napas. Raut wajahnya dipenuhi perasaan bersalah. Sungguh, aku tidak suka ekspresi itu. Sangat tidak suka. Ini membuatku merasa sangat terluka. Aku bersumpah, aku tidak ingin ekspresi seperti itu menghias wajah Nisa. Tapi justru aku yang melakukannya. Karena aku.
"Maksudku bukan ..."
"Kita sudah sampai." Aku memutuskan kalimat Nisa, tidak mengizinkannya berbicara lebih banyak lagi. Tugasku untuk mengantar telah selesai dan aku bisa pergi sekarang.
"Hpku rusak!" Nada bicara Nisa naik satu oktaf.
Langkahku berhenti. Kalimatnya di luar pembahasan kami dan itu membuatku tertarik untuk mendengarkan apa yang sebenarnya ingin Nisa sampaikan. Kekesalanku bahkan langsung lenyap tak bersisa.
Aku berbalik, menatap ke arah Nisa. Menunggunya melanjutkan kalimatnya.
"Dengarkan sebentar!" pinta Nisa. "Aku pernah belajar ilmu bela diri. Arah dari rumah ke tempat kerja juga bukan jalan yang sepi. Ada rumah di mana-mana. Jadi, kalaupun ada orang yang berniat jahat aku hanya perlu berteriak sekuat tenaga dan kupastikan dia enggak akan bisa berbuat apa-apa." Nisa berbicara terlalu cepat sehingga dia kehabisan napas sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Jadi, jangan khawatir," tambahnya dengan suara lembut.
Aku menatapnya lekap. Tidak tahan untuk tidak tersenyum, kemudian tertawa kecil. Di situasi seperti ini pun Nisa tetap terlihat manis. Caranya meyakinkanku dan ekspresinya yang tidak ingin membuatku khawatir sungguh menggemaskan.
Gadis seperti ini, aku tidak akan bisa merelakannya apa pun taruhannya.
"Jadi, apa hubungannya dengan 'hpku rusak'?" Aku mendekat dua langkah ke arahnya.
"Ah, itu ..." Nisa menggaruk-garuk kepalanya.
Ya ampun, mungkin aku sudah gila. Tapi di keadaan sedang kebingungan seperti ini pun Nisa tetap terlihat manis. Aku tidak pernah begitu terhipnotis sebelum ini.
"Hpku memang rusak, tapi itu beberapa hari yang lalu. Aku sudah menggantinya dengan yang baru," katanya sembari memperlihatkan Androidnya. Jelas bukan keluaran terbaru, tapi kualitasnya jauh lebih baik dibanding ponsel lamanya.
"Oke, kalau begitu aku pergi sekarang." Aku pamit, Nisa mengangguk.
"Terima kasih." Nisa mengikuti langkahku sekitar dua langkah. "Terima kasih juga untuk catatannya. Hati-hati!"
Aku melihat Nisa memeluk erat fotokopi catatan yang kuberikan padanya. Nisa hanya melakukan itu tapi aku sudah merasa sangat senang.
"Sana masuk duluan."
Nisa mengangguk dan melambai, kemudian, mungkin hanya firasatku, langkahnya terlihat riang.
[]