"Nisa, aku datang. Aku mengantarkan catatan."
Aku menggeleng. Berpikir sesaat, kemudian berdiri menghadap tembok dan mencoba lagi.
"Halo, apa Nisa sudah baikan? Aku ke sini mengantar catatan."
Aku menggeleng lagi. Rasanya kata-kataku tidak terdengar tulus. Terlalu biasa. Tidak cukup untuk membuat Nisa tersentuh.
Sudah nyaris 20 menit aku berdiri di sini, memeluk beberapa lembar fotokopi catatan sekolah. Aku benar-benar seperti orang bodoh. Mungkin, jika ada tetangga yang mengintip dari jendela mereka akan berpikir bahwa aku adalah laki-laki mesum yang sedang menunggu kesempatan.
Untungnya aku memiliki wajah sebagai anak alim dan baik-baik. Jadi, meskipun orang-orang mencurigaiku yang aneh-aneh, mereka akan tetap berpikir dua kali sebelum mencidukku.
Padahal aku tinggal mengetuk pintu saja dan tuan rumah akan membukakan pintu, kemudian mempersilakan masuk.
Sebenarnya masih ada kemungkinan aku akan diusir. Karena hari sudah larut malam dan bertamu di jam seperti ini di rumah anak gadis yang tinggal seorang diri benar-benar tidak sopan. Tapi jika aku menunjukkan alasan kedatanganku, aku pasti akan disambut dengan baik. Ya, walau ujung-ujungnya tetap akan diusir. Karena sekali lagi, ini sudah terlalu larut.
"Bukankah yang terpenting adalah hasilnya."
Tiba-tiba aku teringat lagi kata-kata Guru Baru itu. Benar-benar membuat kesal. Bisa-bisanya dia bilang seperti itu tanpa memikirkan perasaan Nisa. Semua yang menimpa Nisa bukan hanya terjadi karena dia adalah anggota keluarga pengidap, melainkan karena dianggap sebagai pengidap.
Kebebasan Nisa sebagai seorang remaja terkekang oleh anggapan-anggapan yang salah. Dijauhi, dikucilkan. Dan setelah semua yang Nisa alami, Guru Baru itu hanya menganggap penting hasilnya?!
Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah setuju caranya berpikir. Tidak akan pernah!
Ternyata, sampai sekarang pun hanya aku yang bisa memahami apa yang dibutuhkan Nisa. Bahwa yang terpenting bukan semua orang bersikap baik padanya, menaruh simpati, melainkan menyesal karena anggapan mereka yang seenaknya selama ini ternyata salah besar. Bahwa sikap menjaga jarak mereka selama ini menyakiti Nisa begitu banyak.
Hanya aku seorang yang bisa mengerti itu.
Dan, yang paling bersalah atas situasiku saat ini, berdiri seperti orang bodoh di tengah malam adalah Alvian. Kenapa tadi anak itu tidak langsung berikan saja catatannya saat aku minta. Kenapa harus mengulur-ulur waktu sampai aku datang ke tempat Nisa selarut ini.
"Jangan-jangan, dia sengaja," pikirku.
* * * * *
Beberapa jam sebelumnya...
Aku sedang tertidur ketika Alvian menarik bantal yang kugunakan untuk meletakkan kepalaku sampai kepalaku membentur meja.
Eh, ternyata bukan bantal, melainkan buku setebal kamus bahasa arab yang tempo hari dibacanya. Awalnya aku penasaran, ingin tahu seperti apa isinya jadi aku mulai membuka lembar demi lembar dan membacanya sembari menunggu Alvian pulang. Tapi tahu-tahu saja aku sudah tertidur nyenyak.
"Sakit, Nyet!" kataku naik pitan, memegangi kepalaku yang nyut-nyut.
Hari ini aku sangat rajin saat di sekolah. Mengikuti pelajaran, mencatat, dan mendengar penjelasan guru dari awal sampai akhir dengan serius. Aku memecahkan rekorku sendiri dengan sama sekali tidak tertidur saat di kelas. Alvian bahkan sampai takjub. Tujuanku hanya satu, membuat salinan pelajaran untuk Nisa. Agar aku memiliki alasan menemuinya.
Saat aku memeriksa catatanku, aku sadar masih ada yang kurang. Catatan pelajaran terakhir saat Nisa sakit. Dan, karena itulah aku berada di sini, meminta bantuan Alvin.
"Kamu yang Nyet!" balas Alvian menghardikku. "Batal ada, kasur juga ada, kenapa masih tidur di atas bukuku? Kalau air liurmu jatuh bagaimana?"
"Enak saja! Orang ganteng enggak pernah tidur sambil ngiler," elakku. Alvian tersenyum sinis. "Lagian salahmu sendiri enggak langsung pinjami catatan waktu aku minta di sekolah. Kalau kamu kasih, 'kan aku enggak perlu repot-repot ke sini, tidur di sini."
"Salahmu sendiri, siapa suruh bolos!"
Alvian bersikeras menyalahkanku dan memperpanjang perdebatan kami. Padahal tinggal meminjamkan catatannya. Apa sih susahnya?! Kenapa dia sangat keras kepala? Kenapa dia begitu pelit untuk kategori anak Genius?
"Sudah kubilang itu bukan bolos." Aku membela diri. "Aku mengantar Nisa pulang. Dia, 'kan masih sakit. Kalau terjadi apa-apa bagaimana? Kalau ada yang mengganggu di jalan bagaimana? Sebagai laki-laki aku harus ada kapan pun saat dibutuhkan," tambahku membanggakan diri.
Aku dan Alvian sedang mengambil buku tugas di ruang guru ketika kelas heboh dan Guru Baru itu telah mengangkat Nisa ke UKS. Padahal seharusnya aku yang berada di sisi Nisa. Seharusnya aku yang bisa diandalkan di saat-saat tersulitnya. Tapi saat dibutuhkan, justru Guru Baru itu yang mengambil alih.
Alvian menghela napas panjang.
"Tolong ya, dibedakan. Otakmu yang enggak seberapa itu pasti masih bisa berpikir. Mengantar itu artinya bersama-sama. Sementara mengikuti diam-diam itu artinya menguntit."
Memang benar aku mengikuti diam-diam. Meski benar, aku menolak disebut sebagai penguntit. Pokoknya aku menolak. Aku hanya mengantar diam-diam, itu saja.
Aku mendengar Nisa bersikeras pulang sendiri ketika petugas UKS mendapat izin dari wali kelas agar dia beristirahat di rumah. Sebagai laki-laki sejati harusnya aku menawarkan diri. Tapi setelah memutuskannya, tidak ada di sisinya ketika situasi sulit, kemudian tidak melakukan apa-apa saat Nisa menangis hingga terisak, membuat nyaliku tiba-tiba menciut.
Terkadang, aku memang payah dan tidak bisa diandalkan. Menyedihkan sekali sifatku ini.
"Sudah, sana!" Alvian mendorongku. "Pulang."
Dia pasti merasa menang karena aku tidak membalas kata-katanya. Dia pasti besar kepala sekarang. Sial!
Aku mengaitkan lenganku ke leher Alvian. Anak itu meronta, memaksa agar bisa lepas. Aku akui Alvian memang bisa berkelahi dan kemampuan yang dimilikinya lumayan. Tapi jika dibandingkan denganku, si Kutu Buku yang suka mengurung diri dalam kamar ini jelas tidak ada apa-apanya.
Sebenarnya aku tahu kalau Alvian tidak terlalu suka orang lain memasuki kamarnya sesuka hati. Aku juga tahu kalau Alvian tidak suka diganggu ketika tengah serius membaca. Aku tahu, tapi aku tetap tidak bisa membiarkannya. Karena bagiku, Alvian hanya sedang melarikan diri. Dia terlihat kesepian, sendirian, dan jauh.
Mungkin itu hanya sudut pandangku yang seenaknya berpikir. Tapi tetap saja aku tidak pernah bisa membiarkannya. Selama aku bisa mengganggu, akan aku ganggu dan hantui anak ini sampai kapan pun.
Alasan mengapa aku mengajaknya masuk ke tim futsal, selalu memasuki kamarnya sesuka hati, selalu menempel, dan meski aku menganggapnya layak diwaspadai, aku tidak bisa menjauhinya begitu saja adalah karena aku tidak ingin membiarkannya sendiri.
Alvian masih meronta. Pangkal telapak tangannya menahan daguku ke atas sementara jari-jarinya yang panjang nyaris saja mencolok lubang hidungku. Tangan kirinya berusaha menahan kaitanku agar tidak terlalu kencang mencekiknya. Kami beradu kekuatan fisik. Di situasi seperti ini, aku ingin tahu bagaimana si Kutu Buku ini menggunakan otaknya.
"Enggak, enggak apa-apa!" Mendadak Alvian berkata. Jelas bukan bicara padaku karena volume suaranya meninggi. "Enggak ada apa-apa. Ibu lanjut tidur saja."
Ibu?
Aku segera melepaskan kaitan tanganku dari leher Alvian. Aku pikir tidak ada siapa pun di rumahnya karena begitu tenang. Kalau sejak awal aku tahu ada ibu Alvian dan sedang tidur, mana berani aku seberisik ini.
"Ibumu ada di rumah?"
Alvian masih mengusap-usap lehernya ketika air mukanya tiba-tiba berubah. Dia mematung sesaat kemudian beranjak ke arah tasnya dan melemparkan sebuah buku catatan ke arahku.
"Pergi!" katanya dingin.
Marah?
Apa kaitan lenganku terlalu erat? Apa bercandaku keterlaluan? Apa aku terlalu berisik karena membuat ibunya sampai terbangun?
Aku benar-benar tidak mengerti alasan Alvian mendadak berubah dingin. Tapi karena aku telah mendapatkan apa yang aku butuhkan, aku pergi tanpa sepatah kata pun.
[]