"Rachel, I love you," Danique mendekatkan bibirnya ke wajah Rachel.
Rachel membeku di tempat, ini seperti dejavu. Ia merasa seperti pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Berada di lift berdua bersama Danique dan lelaki itu mengajaknya berciuman.
"TIDAK, INI CUMA MIMPI!" teriaknya.
"Mimpi? Ini nyata, Sayang," Danique memundurkan badannya karena kaget oleh teriakan gadis itu.
Benar-benar membingungkan, Rachel pernah mengalami ini tetapi di dunia mimpi. Ia terbangun waktu itu karena melihat sesuatu yang ganjil di dada lelaki itu. Rachel menggeleng dan memegang dahinya.
"Mengapa, Sayang? Pusing?" ucap Danique dengan lembut.
"Tidak, minggirlah," Rachel menggeser kakinya menghindari Danique. Lelaki itu berbahaya, mulutnya manis dan lembut tetapi isi otaknya tidak mungkin tidak berisi kebrengsekan.
"Ada yang salah denganku?"
Melihat tingkah Rachel, Danique semakin bingung. Baru kali ini Ia melihat Rachel pucat pasi, bibirnya memutih dan sangat ketara karena menggunakan lipstick yang tipis.
"Tidak, hanya saja Kau berbulu," racau Rachel sembari masih memijit keningnya.
"Hah, berbulu? Enak saja, aku tidak berbulu. Apakah Kau pernah melihatku melepas baju? Sini kuperlihatkan dada telanjangku," mendengar tuduhan Rachel, Danique mengotot.
Danique melepas kancing jas hitamnya tetapi seketika dihentikan oleh Rachel.
"Hei, mesum! Apa yang Kau lakukan? Hentikan!"
Danique hanya tertawa, Ia pun mengikuti gadis itu keluar lift dengan sedikit lega. Sedangkan dalam hati Rachel, masih terpatri beberapa pertanyaan tentang kejadian di lift. Ia pernah mengalami itu dalam mimpinya, Ia masih ingat padahal sudah sembilan puluh lima tahun berlalu.
Dalam mimpi tersebut, Rachel berteriak lantang karena menyadari apa yang Ia alami hanya mimpi. Ia sangat bisa mengendalikan mimpinya karena lucid dream sudah menjadi teman dekatnya.
Mengabaikan rekan-rekan kerjanya yang asyik mengobrol setelah jam kerja berakhir, Rachel melesatkan motor matic-nya dan memantapkan diri untuk menempuh perjalanan panjang. Ia akan pergi ke suatu tempat yang hanya dirinya saja yang tahu.
Semakin lama Rachel mengendarai motornya, suasana jalan pun semakin sepi, Ia memasuki gang lalu jalan setapak di mana kanan dan kirinya pekarangan liar dengan pohon-pohon menjulang tinggi. Hari sudah mulai gelap, tetapi tak ada rasa gentar sedikit pun dalam diri Rachel untuk terus menuju hutan. Ia tidak memiliki rasa takut pada apapun, tukang begal, hantu, dan penggemar anarki jalanan, sudah sering Ia lewati.
Motornya semakin dalam menuju area perhutanan, jika diambil garis lurus, hutan yang tengah Ia masuki berada di garis yang sama dengan Ancala Tunggal, sebuah hutan nun jauh di tempatnya berasal. Alam yang mulai menggelap dan aroma basah tanah serta daun, menandakan bahwa Ia sudah berada di tengah-tengah hutan.
Rachel menghentikan motornya dan memarkirkan di pinggir jalan setapak, tepatnya jalan yang hanya bekas jejak-jejak tapak kaki dan roda motor. Sudah tak ada lagi jalan di tengah hutan.
Ia berjalan tanpa ragu menuju sebuah bangunan kecil berukuran empat meter persegi yang sempat Ia bangun beberapa tahun yang lalu. Di tempat itulah Rachel melakukan kegiatan rutin bulanannya, yaitu mengamati keadaan sekitar dan menunggu seekor makhluk datang.
Kebiasaan ini rutin Ia lakukan setiap malam bulan purnama. Di sinilah Ia menunggu lelaki yang belum juga muncul sejak sembilan puluh lima tahun yang lalu.
"Cuon," lirihnya pada diri sendiri. Rachel duduk meratap.
"Andai waktu itu aku tidak membunuhmu, kita tidak akan berpisah seperti ini. Di mana kemunculanmu? Tunjukkan padaku," Rachel berbicara pada dirinya sendiri.
Sudah 999 purnama, jika Cuon tidak juga muncul dalam kurun waktu seribu purnama, maka berarti Ia tidak ditakdirkan bersama Cuon. Tetapi dalam kondisinya yang tengah sekarat, lelaki itu berkata padanya supaya Ia menunggu seribu purnama.
Rachel menangis menyesali perbuatannya dan berharap mati-matian supaya berjumpa dengan reinkarnasi lelaki itu. Cuon akan muncul dalam wujudnya sebagai serigala. Mereka akan saling tahu bahwa mereka adalah pasangan yang telah ditentukan oleh Dewi Bulan. Rachel sudah tidak sabar menanti kejadian ini. Ia sampai membangun gubuk yang hanya cukup untuk duduk, dan juga sebagai patokan supaya dirinya tidak tersesat di hutan.
Rachel yakin, Cuon adalah takdir jodohnya dan Ia akan muncul melalui reinkarnasinya. Dengan gigi gemeretak, Rachel menepiskan kata 'gagal' dari kamus otaknya. Dewi Bulan sudah menentukan, dan mereka seharusnya bertemu. Namun waktunya tinggal satu bulan lagi menuju purnama berikutnya di bulan depan.
"Cuon, kesempatan kita tinggal bulan depan," pandangan Rachel menangkap semburat oranye di ufuk timur yang menandakan fajar mulai menyingsing.
Malam bulan purnama telah berakhir sedangkan manusia serigala itu belum juga muncul. Tak ada waktu lagi selain harus menunggu malam purnama berikutnya untuk berusaha bertemu Cuon. Pagi ini Ia harus kembali bekerja. Dengan langkah yang sangat kecewa, Rachel meninggalkan gubuk.
Ketika sekeliling sudah mulai terang, Rachel terkejut ada motor lain yang terparkir tak begitu jauh dari tempatnya. Motor ducati yang nampak mengkilap dan masih baru, kemungkinan pemiliknya adalah lelaki. Rachel tidak tahu apakah motor tersebut sudah ada di sana sebelum Ia tiba atau baru saja, yang jelas Ia baru menyadarinya.
"Ada orang lain, siapa dia?" gumam Rachel.
Sebenarnya tidak penting siapakah orang tersebut, namun Rachel lebih was-was apa yang lelaki itu lakukan di sini. Hutan ini adalah hutan liar, hanya pepohonan dan semak belukar yang tumbuh. Jika tidak beruntung kemungkinan akan berpapasan dengan hewan liar yang memiliki potensi menerkam.
"Siapapun Kau, Kau pasti memiliki kepentingan di sini," Rachel membuka tas selempangnya mencari benda yang bisa digunakan.
Ia menempelkan stiker buatannya sendiri di beberapa bagian motor yang mudah dilihat, suatu hari jika Ia melihat orang mengendarai motor ini, maka dialah orang yang harus diwaspadai. Tak boleh ada yang tahu tentang rahasianya.
Matahari semakin meninggi, Rachel mengebut demi tiba di apartemen dengan cepat lalu bersiap-siap pergi ke kantor seperti biasanya. Risiko bekerja di kantor besar yang belum lama dirilis, Ia harus bekerja ekstra keras dan disiplin yang tinggi. Tak ada kesalahan yang ditolerir di kantor tersebut, semua hal nyaris sempurna. Rachel akhirnya berangkat ke kantor tanpa sarapan, Ia tahu yang terbaik bagi dirinya bahwa penampilan lebih penting dari pada perut.
"Ah, akhirnya," Ia bernapas lega saat melakukan fingerprint.
Pandangan Rachel menangkap sekeliling dan mendapati Danique belum juga berangkat. Danique satu-satunya karyawan yang paling akrab dengannya. Meski sering bersikap menyebalkan, tetapi lelaki itu adalah rekan yang paling supel. Pucuk dicinta ulam pun tiba, lelaki itu muncul di pintu masuk dengan penampilan yang tidak karuan. Rachel mendadak berkutat menghidupkan komputernya dan mengabaikan lelaki itu, Ia tidak sudi dipergoki mempedulikan Danique.
"Hai, semalaman Kau menangisi apa? Matamu mengerikan sekali," Danique menunjuk wajah Rachel dengan jarinya.
"Lihat sepatumu, apa Kau sengaja mengotori lantai kantor ini dengan sepatu berlumpur itu?" Rachel membalas. Kebetulan sekali pandangannya menangkap ke bagian bawah Danique.
Lelaki itu tak menjawab, Ia hanya melenggang ke mejanya sembari mendengus kecil. Sesaat kemudian, Rachel tercekat karena teringat sesuatu. Sepatu Danique berlumpur, apakah Ia juga pergi ke hutan?
Mungkin saja iya, mungkin saja tidak. Bisa saja lingkungan rumah Danique memang masih sarat dengan tanah basah. Lagi pula mencari lelaki yang pagi itu memarkirkan ducati-nya di hutan bagai mencari jarum di tumpukan jerami.
***