Seorang ibu dari dua gadis di sebuah dataran rendah terpencil menginginkan anak-anaknya menikah dengan bangsawan, minimal putra pengusaha kaya. Saat menuturkan keinginannya pada anak-anaknya, kedua gadis itu tentu saja tertawa dan menggelengkan kepala. Keinginan ibunya sungguh tidak masuk akal, karena untuk membeli baju layak pakai saja mereka harus menabung satu tahun. Para pria di desa pun tidak ada yang melirik karena penampilan mereka sangat udik.
"Asal kalian tahu, di Ancala Tunggal sana ada seorang pangeran yang tengah bertapa, namanya Cuon. Ketampanannya seperti dewa Yunani karena Ia adalah keturunan bangsawan Makedonia," ucap sang ibu.
Rachel terbelalak mendengar penuturan ibunya karena nama lelaki yang disebut itu tidaklah asing.
"Ya, Ibu. Tapi itu semua tidaklah mungkin buat kita, kita hanyalah pungguk yang merindukan bulan jika ibu bercita-cita memiliki menantu seorang pangeran," tanggap Datura, si sulung.
"Ibu, aku mau menikahinya!" teriak Rachel tanpa berpikir panjang.
"Rachel, kita tidak usah muluk-muluk. Menikahi pemuda desa yang waras saja rasanya susah sekali, apalagi menikahi seorang pangeran," Datura menimpali.
Rachel terdiam setelah mendengar timpalan kakaknya, sementara itu ibunya juga melanjutkan memintal kapas-kapas untuk dijadikan benang. Suasana rumah kembali hening seiring dengan sang ibu yang memilih diam sembari memutar otak bagaimana cara memberi pengertian kepada anak-anaknya.
Keesokan paginya saat sarapan bersama, sang ibu kembali membicarakan topik itu lagi, tentang keinginannya memiliki menantu seorang pangeran.
"Ibu punya cara supaya salah satu dari kalian bisa mempersunting pangeran itu," ucapnya.
"Bagaimana caranya?" Rachel terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya tertarik untuk menjadi seorang putri.
"Lakukan penyamaran. Kemarilah, ibu punya baju-baju yang sangat bagus untuk kalian tanpa kalian tahu selama ini," ujar sang ibu lalu keduanya mengikuti dari belakang.
Baju-baju panjang berhias emas berlian tergantung sempurna di lemari usang yang tidak pernah mereka buka. Setiap baju memiliki warna yang berbeda-beda tetapi semuanya sama-sama berhias emas berlian. Semua orang pasti tahu bahwa baju-baju itu hanya bisa dikenakan oleh seorang putri raja. Baju kebesaran yang terbuat dari sutera yang sangat halus.
"Dari mana ibu mendapat semua ini? Gaun luar biasa ini, tidak mungkin ibu mencurinya, 'kan?" Datura tak kuasa menahan suaranya yang bergetar.
Sang ibu tidak menjawab, Ia hanya tersenyum sembari menyusuri permukaan kain lembut baju-baju tersebut.
"Kalian tidak perlu tahu, yang penting kalian bisa mengenakannya. Lakukan penyamaran seolah-olah kalian adalah seorang putri raja dari negeri jauh. Datanglah ke tempat Pangeran Cuon bertapa dan berkata-katalah yang baik padanya," tutur sang ibu.
"Bagaimana jika Ia tahu kita berbohong?" Rachel mengerutkan dahi sembari berucap dengan khawatir.
"Ia tidak akan tahu, karena Ia adalah pangeran yang diasingkan oleh keluarga istana. Ia melarikan diri supaya tidak dibunuh oleh pihak istana dan sekarang masih bersembunyi di dalam hutan," ujar sang ibu.
Kedua gadis itu mencerna penuturan ibunya yang sepertinya masuk akal, meski datang menghadap seorang pangeran dan meminangnya masih menjadi sebuah misteri. Mereka tidak punya pengalaman sama sekali bagaimana cara bertingkah laku layaknya putri raja.
"Mengapa Ia diasingkan?" tanya Rachel.
"Rachel, kita tidak perlu tahu urusannya, yang penting kita bisa menikahinya. Jika Kau tidak mau, biar aku saja," ketus Datura.
"Enak saja, dari awal 'kan Kakak tidak mau. Mengapa sekarang berubah pikiran?" tanggap Rachel dengan suara meninggi.
"Terserahlah. Kita lihat saja nanti siapa yang bakal mendapatkan hati pangeran," Datura memutar bola matanya sembari berkata dengan sinis.
"Tapi, bagaimana jika Ia sebenarnya adalah aib istana karena terlahir cacat atau semacamnya?" Rachel kembali ragu.
Ia tidak tertarik hanya karena lelaki itu adalah seorang pangeran, yang mengundang rasa penasarannya justru karena namanya adalah Cuon. Ia teringat bahwa dalam mimpinya Ia memiliki kekasih bernama Cuon.
"Jangan berprasangka buruk, Rachel," ucap sang ibu.
"Tenang, ibu juga menyimpan mahkota emas yang bisa kalian pakai saat menemuinya. Tapi hanya ada satu," sang ibu pun mengambil sebuah kotak yang terletak di sudut lemari.
Beberapa saat setelah gemetar di tubuh masing-masing dan degup jantung yang bertalu-talu sedikit mereda, Rachel dan Datura dengan senang hati mencoba satu persatu baju megah itu, tertawa riang dan bolak-balik menuju cermin yang jauh dari lemari untuk memantaskan diri.
"Karena mahkotanya hanya ada satu, yang bisa menemui pangeran hanya salah satu di antara kalian," ucap sang ibu menghentikan keseruan mereka.
"Datura, kemarilah."
Tak diduga oleh Rachel ternyata ibunya lebih memilih Datura yang mengenakan mahkota itu dan pergi menemui pangeran.
"Mengapa harus dia, Bu? Aku selalu dinomor duakan, itu tidak adil," teriak Rachel.
"Rachel, itu adalah keputusan paling adil yang bisa ibu buat," ucap sang ibu.
Rachel termenung, semangatnya redup, Ia merasa dunia ini sangat tidak adil, bagaimana Ia tidak berkecil hati setelah melihat ibunya mengutamakan Datura dari pada dirinya. Ia pun berlari dan masuk ke dalam kamar. Tidak ada alasan yang dikemukakan ibunya mengapa Datura yang dipilih.
"Haur Sani..."
"Haur Sani, buka pintunya!"
Sayup-sayup di depan rumah, nama ibunya dipanggil oleh seseorang dengan teriakan.
"Apakah uangmu sudah cukup untuk menyicil utang-utangmu?" tanya suara perempuan itu.
Rachel sudah tidak peduli lagi, Ia membenamkan wajahnya di bantal yang usang. Ia tidak peduli pada ibunya yang hampir setiap minggu ditagih hutang oleh orang-orang. Nyatanya hutang itu dipakai untuk membahagiakan kakaknya saja.
Keesokan paginya, Datura mengatakan bahwa sebaiknya Rachel juga ikut dalam perjalanan meskipun tidak mengenakan mahkota. Karena Ia butuh teman. Ibunya pun menyetujui usul putri sulungnya.
Ada sedikit rasa lega di benak Rachel meskipun Ia ikut demi menemani kakaknya, tetapi dalam hatinya Ia tidak berniat hanya menemani. Ia bertekad supaya bisa menemui pangeran bagaimanapun caranya. Pada hari yang telah ditentukan, merekapun berangkat dengan kereta kuda.
"Terima kasih sudah sudi menemaniku," ujar Datura.
"Aku adikmu, sudah seharusnya aku menjaga Kakak. Tapi jika Kakak tidak berhasil melamar pangeran, bukankah giliran selanjutnya adalah aku?" tanggap Rachel.
Setelah mendapatkan jawaban itu, Datura tidak berkata apapun. Keduanya tak lagi berbicara satu sama lain sampai akhirnya suasana kota pun mulai tercium.
"Lihatlah, Kak. Kita mulai tiba di kota," ujar Rachel.
"Ya, kita hanya menyeberang saja. Perjalanan masih panjang, Rachel," sahut Datura.
Bising kendaraan bermesin yang tak pernah terdengar di pedesaan memenuhi jalanan kota, gedung tinggi dan pertokoan berjajaran. Mereka juga melewati pasar yang cukup ramai. Pakaian-pakaian para bangsawan nampak mencolok di antara jejalan pejalan kaki. Perempuan mengenakan baju kurung yang panjang yang berhias renda, sedangkan lelaki tak kalah menunjukkan perbedaan kasta mereka dengan kuda dan jubah lebarnya, serta sepatu mengkilap yang dihias gemerincing cincin sampai bawah lutut.
Di sisi lain tepi jalan, nampak anak-anak bangsawan turun dari kereta kuda dan berlarian ke area pedagang dengan ceria. Pengasuhnya menyusul bersama orang dewasa yang sibuk mengatur rok baju kurungnya seusai turun dari tandu. Sangat jelas bahwa anak-anak itu tumbuh di lingkungan yang cukup kondusif.
Ini adalah pengalaman pertama Rachel meninggalkan kampung halamannya. Ia gadis polos yang tumbuh dalam naungan dan ajaran ibu asuhnya yang penyayang. Perjalanan indah yang tidak mungkin terlupakan.
***