Chereads / Membenci Sebuah Janji / Chapter 5 - Pertemuan Setelah Tragedi

Chapter 5 - Pertemuan Setelah Tragedi

TIDAK ada waktu yang bisa kita tebak. Hal yang membuat kita bahagia maupun sebaliknya, semua terjadi dengan sendirinya. Ingin menghentikan waktu? Memangnya kamu siapa?. 

Sama halnya dengan anak muda itu tadi. Simon yang senang dengan mie instannya. Ketika keluar yang kedua kalinya, dia malah menghajar pria yang mengkhianati kakaknya. Lalu, berakhir ditabrak kekasih Josh. Simon, kamu seperti malaikat yang terkadang mengalami kekalahan. 

DOR!

Suara tersebut membangunkan Bella yang sedang bermimpi berdansa dengan pangerannya. 

"Aish, siapa yang melakukan permainan ini tengah malam," kata Bella yang berjalan menuju pintu luar untuk melihat suara ledakan tadi. 

Yang Bella temukan ternyata sebuah petasan besar dengan surat. 

"Surat apa ini? Hah? Simon!" Setelah membaca isi surat singkat itu, Bella bergegas lari di malam yang sedingin adiknya itu. 

Tidak jauh dari rumahnya, Bella sudah menemukan adiknya yang tergeletak dengan darah di beberapa titik.  

"Aish, kenapa kamu bisa begini?" kata Bella sembari menghubungi ambulan. "Simon, bertahanlah! Mereka akan sampai dengan cepat," ucapnya yang juga berusaha menenangkan dirinya. 

Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, ambulan pun datang, Simon berhasil diselamatkan. Pendarahannya tidak terlalu banyak. Kini, dia sudah berada di rumah sakit. 

"Simon! Aku berharap kamu segera bangun, ya. Aku ingin memukulmu saat kamu bangun," raungnya yang tak sabar mendaratkan pukulannya. 

"Pukul? Aku sudah tahu dia akan begitu. Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja," batinnya yang menghindar memaksa matanya tidak terbuka lebih cepat. 

"Simon, kenapa kamu keluar malam-malam? Bukankah kamu sudah membeli mie instan? Aish, bocah satu ini sudah gila!" umpatnya. 

"A-apa? Dia mengumpat saat aku tidak berdaya seperti ini. Kemudian, b-bagaimana dia bisa tahu aku sudah membeli mie instan? Bukankah dia tertidur tadi? Ah, sepertinya aku yang dikelabui di sini" batinnya dengan penuh penyesalan. 

"Simon! Kamu pikir aku tidak tahu?" teriaknya. Pembuluh darah sepertinya sudah merangkak naik. 

'Aduh, bagaimana ini? Bagaimana kalau aku bilang tadi bertemu Josh dan menghajarnya? Tidak! Lebih baik aku pura-pura tidur,' batinnya.

Bella menjewer telinga Simon. "Aaaaaaa! I-iya, kak. Aku bangun. Jangan tarik telingaku lagi," mohonnya berusaha meraih kedua tangan Bella. "Ma-maaf, ya, kak. T-tadi, aku bertemu dengan Josh. La-lalu, aku menghajarnya. Hehe," kata Simon dengan luka yang masih sakit. 

"Kenapa kamu kelayapan saat malam-malam? Hah?!" tanya Bella kepada adiknya tersebut, dengan tatapan membunuh. 

"A-aku hanya putar balik karena melihat Josh secara tidak sengaja. Argh! Aku saat itu tiba-tiba kesal dan tanganku gatal, Kak. A-aku menyesalinya," jawabnya dengan pandangan menunduk. 

"Kamu tahu, siapa yang menabrakmu?" tanya Bella, walaupun dia sudah menduga dengan isi hatinya. 

Simon berdiam sejenak. Lalu, mulai berbicara. "Aku tidak tahu pasti. Tapi, jika ada Josh di sana, maka pasti ada Cindy sialan, 'kan?" jawab Simon sambil geram. 

"Ah, hati mereka sekeras apa sampai segitunya kepada kamu," kata Bella lemah. 

"Aku pikir, kita harus hati-hati, kak. Mereka sepertinya belum puas jika belum sampai membunuh kita," saran Simon yang membuat hati Bella tidak enak. 

"Sudahlah. Lanjutkan tidurmu. Aku ingin mencari udara segar," kata Bella. 

Gadis itu pun berjalan sambil memegang jaket hangat yang menyelimuti dirinya erat-erat. 

Bella berjalan menuju taman Rumah Sakit. Tidak sedikit namun, tidak banyak juga orang yang lalu lalang di tempat ini. 

"Semua orang sama, ya. Solusi ringan datang ke tempat ini untuk mengistirahatkan pikiran nya sejenak," gumamnya. 

Bella melihat beberapa orang yang mengajak keluarga atau teman dekat ke tempat ini, untuk berbicara sejenak. 

Bella juga melihat orang yang persis seperti dirinya, datang ke tempat ini sendiri. Namun, Bella sudah sejak tadi menatap wanita yang sedang sakit duduk di kursi roda sendirian. Hati Bella tergerak ingin menemani gadis yang terlihat seusia dengannya itu. 

"Permisi, kamu sendiri, ya?" tanya Bella pada wanita cantik dengan kulit yang pucat. 

Gadis di sampingnya itu tidak menjawab apapun. Dia hanya diam dengan pandangan yang kosong. 

"Mau aku antarkan ke ruangan kamu?" tanya Bella kembali. 

"Namaku, Rahma. Tinggalkan aku sendiri," jawabnya dengan dingin. 

Sampai seorang laki-laki datang dari arah belakang mereka, dan Rahma lebih dulu melihat laki-laki itu. 

"Akh, sa-sakit sekali," lirih gadis itu bersamaan dengan tangannya yang memegang kepala tak karuan. 

Laki-laki itu menoleh pada gadis yang tiba-tiba kesakitan, lalu melihat Bella yang di sampingnya dengan tatapan tidak suka. 

Sedangkan Bella, dia membeku bagaikan patung. Laki-laki yang dia lihatnya saat ini adalah orang yang berada di hotel waktu itu. 

Laki-laki itu juga sedikit cemas setelah melihat Bella. Namun, beruntungnya dia karena Bella tidak mengatakan apa-apa di depan Rahma, yang mungkin kekasihnya. 

Laki-laki itu meninggalkan Bella bersama wanita yang dia dorong sekencang mungkin, menemui Dokter. 

"Aku tidak tahu harus bingung atau marah. Tapi melihatnya di sini, bukankah kesempatan besar bagiku, untuk membalas perbuatan merendahkannya saat itu," gumam Bella melihat langit-langit malam. 

Angin yang menyapu rambut gadis itu, tak menghalanginya untuk dirinya menatap langit yang semakin gelap. Dengan bintang yang berpijar terang  dan banyak, turut menghiburnya malam ini. Walaupun, hal itu tidak bertahan lama karena salah satu makhluk Tuhan membuat semua kacau dengan sengaja. 

"Untuk apa kamu sengaja mendatangiku sampai ke tempat ini?" tanya laki-laki tadi yang datang menemui Bella, untuk menanyakan hal itu. 

Bella tersenyum remeh. Kepalanya menunduk bersamaan kaki yang dia gisik kepada rumput. Bagaikan benang transparan yang memaksa sudut bibir Bella untuk membuat simpul tersenyum, dia tersenyum tak rela. 

"Apakah kamu ingin menagih tanggung jawab padaku? Atau memintaku untuk bungkam tentang identitasmu sebagai jalang itu?" celetuknya dengan sarkas. 

Laki-laki itu berbicara ringan sekali di mulutnya. 

"Apakah mulutmu selalu se ringan ini?" tanya Bella. Mendekati wajah yang jelas di atas gadis itu. 

"Beginikah cara kamu menggodaku?" tanya laki-laki itu membalas dengan mendekatkan wajahnya, yang hampir menyentuh bibir gadis itu. "Eits, aku tidak akan mencium manusia yang sudah memberikan mulutnya untuk puluhan bahkan ratusan pria tua yang bau tanah itu!" sarkasnya. 

Bagaikan api yang sudah siap melayap bensinnya, agar berkobar lebih besar dan siap memakan manusia di hadapannya sebagai hidangan terakhirnya. Rasa amarah yang dirasakan Bella benar-benar meluap saat itu. 

Namun, saat Bella ingin membalasnya, dia mendapatkan panggilan dari Simon, adiknya. Lantas, dia pun mengangkat panggilan itu sambil berjalan menjauhi laki-laki yang sedang kesal, karena perkataan tadi tidak membuat Bella marah. 

"Kakak di mana?" tanya Simon dalam panggilan. 

"Aku di taman belakang mencari udara segar. Mau aku ke sana?" jawab Bella sambil berjalan ke arah laki-laki itu. 

Bella yang sengaja mondar mandir di depan laki-laki tersebut, sampai dia terlihat kesal, Bella pun menyundul lutut dia dengan kaki beralas sepatu yang nyaman. 

"Aww! Hey, kemari kau! Argh! Gadis gila!" umpatnya sambil menahan nyeri.