Chereads / Beautiful Mate / Chapter 46 - Bukti

Chapter 46 - Bukti

"Bagaimana bisa ada seseorang yang begitu menyebalkan sepertinya?" gerutu Avery setelah ia meninggalkan ruang makan.

Avery yang kesal hanya berjalan tak tentu arah hingga membawanya ke area taman kaca berbunga yang tampak indah. Dom dengan setia mendampingi Avery.

"Menurutku, mungkin saja kakekmu senang dengan beradaanmu di sini, Sayang. Hanya saja ia tak mampu mengungkapkan itu," ucap Dom.

Avery mengerutkan alisnya sejenak. "Bagaimana bisa? Jelas-jelas ia menyerang kita saat kedatangan kita kemarin," protesnya.

"Kurasa ... jika ia benar-benar tak menginginkanmu, tak mungkin kau masih berada di sini. Pasti ia sudah akan menyingkirkanmu dengan berbagai cara," jelasnya.

Avery menggeleng kecil. "Aku hanya tak mengerti, aku senang dapat bertemu dengan keluargaku, hanya saja ... ugh, sikapnya membuatku kesal. Jika membayangkan bagaimana ia menyebabkan Mom meninggalkan Anima dan berakhir di dunia manusia dan pada akhirnya membuatku sendirian, entahlah ... aku hanya tak dapat mengungkapkan perasaanku dengan tepat."

"Tak perlu terlalu kau pikirkan dengan keras, Sayang. Apa yang harus kau lakukan dan ingin kau lakukan, aku pasti akan mendukungmu. Oke, mungkin kecuali ide untuk mencari pasangan lagi atau semacamnya," ucap Dom kemudian meralat ucapannya.

Avery tersenyum dan memutar kedua bola matanya. "Yah ... aku pun masih belum berminat untuk mencari pasangan lagi," ucapnya menggoda Dom.

Dom membelalak seketika ketika menyadari arti ucapan Avery. "Belum? Apa maksudmu dengan belum? Apa kau berencana untuk menduakanku? Kau masih merasa belum cukup hanya denganku?!" ucapnya seolah tak percaya.

Avery tergelak dan menjulurkan lidahnya seolah memang sengaja menggoda Dom. "Kau tadi yang pertama bersikap menyebalkan! Kau menjelaskan apa yang dikatakan Paman Maltus seolah itu adalah hal biasa dan kau tak merasa terganggu dengan itu!"

Dom mengembuskan napasnya dan terlihat lega. "Oh, kau membuatku seperti terkena serangan jantung. Maafkan aku jika telah membuatmu kesal, Sayang," ucapnya kemudian sambil merengkuh dan memeluk Avery.

"Oke, aku terima maafmu. Lagipula, aku memang tak berniat lagi mencari pria lain. Takdir yang telah menyatukan kita ini tak akan mungkin terputus begitu saja bukan? Bahkan jika kau dihadapkan lagi dengan wanita lain yang mungkin membuatmu bergetar, apakah kau akan mampu mengakhiri ikatan kita dengan mudah?" tanya Avery dengan raut yang telah berubah serius.

Dom tersenyum lembut dan mengusap wajah Avery. "Aku tak akan pernah mengakhiri ataupun memutuskan ikatan kita, selamanya. Aku berjanji padamu, Avery. Jangan pernah kau ragukan itu, Sayang," ucap Dom sambil menatap Avery lekat. Ia kemudian mencium Avery dengan mesra.

Beberapa saat setelah Dom melepaskan ciumannya, fokus Avery teralihan oleh sinar kecil yang terpancar pada salah satu tanaman yang ada di sekitar mereka. Ia refleks berjalan mendekati tanaman itu karena seolah terhipnotis dengan sinar kebiruan yang memancar dan menguar indah dari bunganya.

"Tanaman apa ini?" gumamnya sambil mendekat ke arah tanaman yang terletak di salah satu sisi taman dengan perlindungan memutar tanaman lainnya di sekelilingnya.

"Entahlah ... aku belum pernah melihat tanaman ini sebelumnya," ucap Dom yang kemudian ikut mendekat, berdiri di samping Avery. Ia juga ikut sedikit membungkuk ketika Avery perlahan memutuskan untuk lebih mendekati tanaman itu dan mencoba untuk menyentuhnya.

Beberapa detik setelah ia menyentuh bunga biru dengan ujung jarinya, seketika cahaya memendar dari bunga tersebut dan Avery memejamkan kedua matanya karena ia mendapat sebuah penglihatan di dalam pikirannya.

"Oh, ya Tuhan!!" pekiknya kecil. Ia seketika kembali membuka kedua matanya. Karenanya, ia bahkan sedikit terhuyung dan limbung ke arah Dom yang kemudian berhasil menangkapnya dengan sigap.

"Apa yang terjadi, Sayang? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan raut khawatir dan masih menopang kedua bahu Avery yang masih tampak kebingungan.

"A ... aku melihat bayangan Mom," ucapnya tercekat dengan wajah yang terkejut.

"Tentu kau akan melihat wajah Serenity, Sayang ... karena itu adalah tanaman jiwa abadi miliknya." Elena yang tiba-tiba berjalan dari arah belakangnya, kini telah bergabung dengan mereka serta sudah berdiri sejajar dengan Avery dan meraih kedua tangannya.

"Katakanlah ... a ... apakah kau benar-benar dapat melihat Serenity saat menyentuh tanaman itu? Be ... benarkah kau melihatnya?!" tanyanya dengan raut penuh harap dan mata yang mulai berkaca-kaca.

Avery masih memasang raut terkejut. Ia sendiri tak menyangka jika akan dapat melihat wajah ibunya ketika menyentuh tanaman itu. Avery mengangguk setengah lingling dan berusaha memulihkan keterkejutannya sendiri. "A ... aku melihatnya, Nek," bisiknya. "Mom ... ia tampak sedang memejamkan matanya dan berbaring dan ...."

"Oh ... Serenity!" Elena hampir memberosot dan jatuh jika Avery serta Dom tak langsung sigap menahannya.

"Ada apa, Nek? Apa kau baik-baik saja?" tanya Avery cemas.

Elena segera mengusap air mata yang mengalir di kedua sudut matanya. Ia menggenggam erat kedua tangan Avery, menatapnya sungguh-sungguh. "Avery, Serenity masih hidup. Ibumu ..., masih hidup, Sayang," bisiknya lirih. Ia menatap Avery cucunya dengan tatapan tegas. Ia tahu dan begitu yakin dengan pernyataannya setelah melihat bukti itu sendiri dari Avery.

"A ... apa maksud Nenek?" tanya Avery. Ia merasa seketika telah disambar petir.

Elena menelan ludahnya dan kembali berdiri. Ia memaksa kakinya yang sedikit goyah tadi untuk berdiri tegak. Kemudian, ia meraih kedua lengan Avery dan menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi taman.

Elena mengembuskan napasnya. Bibirnya sudah tampak bergetar sebelum ia sempat mengatakan apapun. "Sayang, sebelumnya aku minta jangan kau beritahukan apapun yang telah kau lihat tadi pada siapa pun selain aku. Bisakah kau melakukannya?" tanya Elena sungguh-sungguh.

Avery mengerutkan alisnya karena tak mengerti sepenuhnya ucapan Elena. Tapi, kemudian ia akhirnya mengangguk.

Elena ikut mengangguk. "Avery, yang kau lihat tadi adalah tanaman jiwa abadi. Tanaman itu merupakan perwujudan jiwa si pemilik, yaitu Serenity. Selama tanaman itu masih berpendar mengeluarkan cahaya, itu menunjukkan bahwa jiwa si pemilik masih ada."

"Oh!" Avery menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia menatap Elena dengan raut penuh keterkejutan. Ia sedikit shock dan seolah tak dapat sungguh-sungguh memcerna ucapan Elena. "Ma ... maksudmu, apakah Mom masih hidup?" tanyanya.

"Benar, Sayang ... dan penglihatan yang kau rasakan itu adalah bukti nyata. Tanaman itu pasti telah menghubungkan dirimu dengan Serenity. Ibumu masih hidup, Sayang," balas Elena kembali memancarkan mata yang berkaca-kaca.

"A ... apakah bayangannya yang sedang memejamkan kedua matanya seperti tertidur, adalah benar sosok Mom?" tanya Avery.

Elena mengangguk. "Benar, selama ini kami masih bertahan karena tanaman itu msih memancarkan sinarnya. Tetapi ... seberapa keras kami berusaha, kami tak dapat sedikit pun menemukan jejaknya atau petunjuk apapun."

"Lalu, bagaimana aku bisa melihat bayangan tersebut?" tanya Avery lagi.

"Tanaman itu yang menuntunmu karwna sepertinya kau memiliki 'bakat penglihatan' yang tak semua penyihir dapat memilikinya."

"Bakat penglihatan?" Avery kembali memasang raut kebingungan.

"Ya, Sayang ... sepertinya kau memilikinya. Kau hanya perlu berlatih dan membangkitkan seluruhnya bakat yang kau miliki di dalam dirimu." Elena menjelaskan dengan penuh kelembutan. "Sekarang ... bisakah aku meminta bantuan kalian?" tanyanya kemudian dengan raut yang kembali serius.

____****____