"Apa kau yakin bisa mengatasi semuanya tanpa aku di sisimu, Sayang?" tanya Dom dengan raut serius. Ia sedang terbaring di atas ranjang mereka dengan bersandar santai di atas tumpukan bantal lembut.
Avery mengangguk dan merebahkan kepalanya pada dada bidang Dom. Ia sekejap menatap langit-langit kamar dan mengingat kembali percakapan mereka dengan Elena pagi tadi.
Elena, neneknya meminta ia dan Dom melakukan sesuatu. Avery mengembuskan napasnya sebelum akhirnya menjawab Dom. "Aku akan baik-baik saja. Justru aku yang begitu mengkhawatirkanmu. Apakah kau akan baik-baik saja selama menjalankan permintaan itu?" tanya Avery penuh keraguan.
Ya, ia benar-benar masih mengingat bagaimana tadi pagi secara pribadi Elena meminta mereka untuk segera melakukan sesuatu yang bersifat rahasia. Dan mereka harus melakukannya secara diam-diam tentu saja.
Dom mengusap dan mengecup sekilas puncak kepala Avery. "Aku pasti baik-baik saja. Seperti yang kau ketahui, stamina dan kecepatan adalah keunggulan utama kaum kami. Aku rasa, aku dapat menjalankan itu dengan baik. Ditambah kau yang akan selalu mendampingiku melalui telepati kita, aku yakin kita dapat menjalankan semua ini dengan baik."
Avery mengangguk. "Baiklah, aku yakin kau mampu untuk melakukan itu. Justru sebaliknya, aku sekarang yang merasa kurang begitu yakin terhadap diriku. Apakah aku mampu, Dom?" tanya Avery sambil menatap wajah Dom yang memperhatikannya dengan lembut.
Dom tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Sayang ... aku yakin kau mampu melakukan semua. Berlatihlah sungguh-sungguh dan tunjukkan kemampuanmu pada kakekmu."
Avery membasahi bibir bawahnya dan matanya sedikit memanas. Ia tahu, ia mulai terbawa perasaannya lagi. "Tapi kita akan terpisah begitu lama!" protesnya. Ia sedikit tercekat saat mengucapkan kalimatnya. "Kau, sedikitpun tak terlihat merasa khawatir ataupun bersedih!"
Dom tersenyum dan menangkap pergelangan tangan Avery yang memukul dadanya dengan ringan. "Jika aku tak menyuarakan itu di dalam hati maupun mulutku langsung, bukan berarti aku tak memiliki perasaan khawatir sedikit pun padamu, Sayang," ucapnya sabar. "Aku merasa ingin meledak dan menggila di dalam dadaku. Hanya saja ... aku begitu menahannya, demi dirimu, demi keluarga tercinta istriku ini," lanjut Dom.
"Benarkah?" tanya Avery yang juga berusaha menguatkan perasaannya sendiri. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangis yang mungkin akan meledak.
"Kau akan tahu jika merasakan ini," ucap Dom. Ia kemudian bergerak untuk mengungkung Avery di bawah tubuhnya. Dan bagian tubuh lain miliknya, mulai menekan perut Avery dengan sentakan kecil.
"Oh!" gumam Avery spontan karena merasakan 'sesuatu' milik Dom yang mengeras sedang menekan perutnya.
Dom menatap Avery dengan tatapan yang menggelap. "Lihat, Sayang? Baik dadaku maupun kebanggaanku sama-sama terasa ingin meledak saat aku memikirkan kita akan terpisah," bisiknya dengan suara yang mulai parau. "Oh ... bagaimana aku akan melewatkan malam-malamku saat terpisah jauh darimu?" ucapnya dengan sedikit mendesah.
Avery mengerutkan alisnya. "Sebaiknya kau atasi itu dengan bijak, Dom. Jika tidak ... kau tahu apa yang mungkin dapat kulakukan padamu. Percayalah, aku akan meningkatkan kemampuan penglihatanku terlebih dahulu untuk mengantisipasi itu. Dan jika dalam penglihatanku kau melakukan dengan sembarang wanita maupun shewolf yang ada di dekatmu, maka ... mmmh!"
Pagutan Dom menghentikan peringatan Avery dengan segera. Avery yang semula masih kesal di dalam pikirannya, perlahan mulai tenang karena menikmati ciuman panas Dom.
"Kau tahu aku tak akan mungkin melakukan itu selain denganmu, Sayang," ucap Dom setelah melepaskan pagutannya.
Avery masih memejamkan matanya ketika bergumam kecil. "Hh ... benarkah? Bagaimana jika ... suatu saat kau, ngh ... tak dapat menahan gairahmu dan ... ahh ... merasa tak berdaya?" ucap Avery sambil sesekali mendesah, karena cumbuan yang Dom layangkan pada leher dan dada terbukanya.
"Tak akan. Aku cukup mengingatmu dan melepaskan semua dengan bayangan fantasi panas yang sering kita lakukan bersama. Dan karena ikatan yang telah terbentuk diantara kita, aku rasa bagiku tak sulit untuk menyalurkannya."
Avery kemudian perlahan melepaskan diri dan duduk sambil menegakkan tubuhnya. Dom yang keheranan, melakukan hal yang sama dan menatap Avery penuh tanya.
"Lakukan denganku. Tandai aku sekarang juga. Salurkan semua benihmu di dalam sini. Tuntaskan semuanya malam ini, Dom." Avery menatap Dom lekat-lekat.
Dom yang semula belum menyadari maksud ucapan Avery. Seketika membelalakkan kedua matanya saat ia akhirnya dapat mencerna sepenuhnya permintaan pasangannya itu.
"A ... apa kau serius, Sayang? Ma ... maksudku ... kau ... a ... apa kau yakin? Oh ya Tuhan! Aku tidak salah mengartikan itu bukan?!" ucapnya begitu terkejut dengan raut yang masih tak percaya.
Avery meraih wajah Dom dan mengelusnya lembut. "Dominic Lucius Aiken, aku menginginkanmu. Aku menginginkan bayimu, anak dari benihmu, Sayang," ucapnya.
Bibir Dom mulai bergetar dan matanya pun mulai berkaca-kaca. Ia begitu tercekat dan tak menyangka jika ucapan tegas Avery membuatnya begitu tersentuh. "Bi ... bisakah kau katakan lagi? Maksudku ... oh, Sayang ... aku tak tahu harus berkata apa ...."
Dom meraih tangan Avery yang mengusap wajahnya dan mengecup telapak tangannya dengan lembut. "Terima kasih, Sayang ...," ucapnya penuh syukur.
Menanggapi reaksi Dom, Avery kemudian meraih wajah tampan suaminya itu dan mulai mencium bibirnya dengan lembut.
Dom mengikuti instingnya dan mulai meraba punggung Avery. Membalas ciuman dalam dan panas istrinya dengan liar. Ia kemudian mulai menanggalkan gaun licin lembut Avery dengan gerakan lambat dan tak tergesa-gesa.
Seperti dirinya, Avery pun melakukan hal yang sama. Ia melepas satu demi satu kancing kemeja tidur Dom dan mengekspos kulit panas mengilat miliknya yang sedang tertimpa cahaya bulan.
"Sayang ... proses kali ini akan sedikit lama dan mungkin sedikit menyakitkan, karena ... aku akan menggigitmu untuk menandaimu seutuhnya ketika aku memasukkan seluruh benihku padamu, Sayang," bisik Dom sambil membelai dan mengecup punggung terbuka Avery dan menyibak rambutnya dengan cengkeraman-cengkeraman kecil.
Avery mendesah kecil. "Lakukan apa yang harus kau lakukan. Aku akan menerima semuanya, Dom," bisiknya penuh gairah.
Setelah selesai melucuti seluruh kain penutup tubuh molek Avery, Dom kemudian membaringkan tubuh polos istrinya di atas ranjang selembut beledu dengan tatapan penuh gairah dan takjub.
"Ini ... akan tampak sedikit membuncit ... ketika kau selesai menerima semua semen panas milikku di dalam sini, Sayang ...."Dom berbisik erotis sembari membelai lembut kulit perut Avery yang terlihat mulus, rata dan bercahaya di bawah sinar rembulan. Dom semakin mengeras membayangkan seluruh lelehan panasnya akan segera memenuhi inti Avery.
Avery sedikit menggeliat dibawah sentuhan dan belaian intens Dom. Ia meleleh, memanas, hanya dengan membayangkan apa yang akan Dom lakukan padanya.
"Please ... lakukan sekarang juga, Sayang," rintihnya memohon dalam gairah panas yang telah seluruhnya mengambil alih tubuhnya. Ia tak peduli jika terdengar begitu 'haus' dan memohon. Ia hanya ingin merasakan sentuhan prianya sebelum mereka berpisah untuk sementara waktu.
Dom menggelap dan menatapnya nanar. "Baik ratuku, keinginanmu ... adalah perintah bagiku ...." Gumaman Dom kemudian teredam seiring dengan kecupan-kecupan lembut yang ia layangkan pada perut rata erotis milik istrinya itu.
____****____