Jefri membeliak ke arah Jeni dengan tatapan tajam seakan hendak menusuk dan merobek-robek tubuh Jeni.
"Siapa yang telah membuatmu hamil?"
Jeni tersentak dengan pertanyaan Jefri malam ini. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Ia berbalik tanya.
"Halah! Sudahlah kamu, Jeni! Tidak usah pura-pura bodoh seperti itu. Aku tahu kalau kamu sedang hamil!" bentak Jefri dengan keras. Terlihat rahangnya mengeluarkan garis-garis kecil bernama urat yang memggaris lurus di lehernya. Jefri benar-benar semakin emosi.
Jeni tampak menggelengkan kepalanya. Seketika tubuhnya kembali terasa lemas namun ia tetap berusaha kuat.
"Kamu tahu dari mana mengenai kehamilanku, Mas?" tanya Jeni pasrah.
"Dokter yang menjelaskannya. Sudahlah, kamu jangan banyak berkelit. Siapa lelaki yang telah menghamilimu?" Jefri kembali bertanya dengan raut wajah yang masih sama. Memerah menahan emosi di dalam dadanya.
"Kamu pikir siapa orangnya, Mas? Tidak ada lelaki lain yang pernah tidur denganku kecuali kamu!" jawab Jeni dengan sedikit menaikan nada suaranya.
"Tidak mungkin!" bantah Jefri dengan yakin.
"Sudah dua bulan lebih kita berpisah, kamu tidak mungkin dengan tiba-tiba hamil anakku! Bukankah kamu selalu mengkonsumsi alat kontrasepsi, ha!" imbuhnya masih dengan bantahan yang sama.
"Lalu, kamu pikir siapa, Mas? Aku bahkan tidak melakukan hubungan badan dengan siapa pun selain kamu!" sanggah Jeni dengan yakin pula.
"Halah! Jangan berdusta kamu, Jeni! Wanita seperti kamu tidak mungkin tak bermain cinta dengan, Wili!"
"Katakan padaku, kalau bayi dalam perutmu adalah anak Wili! Iya kan!" Jefri berbicara dengan hardiknya
Nyatanya, dua wanita yang berada dalam kehidupannya tak serta merta membuat dirinya tenang dengan salah satunya. Jefri merasa murka, baik kepada Selin mau pun Jeni dalam malam ini.
"Tega sekali kamu, Mas! Kamu menuduhku begitu keji! Aku tidak pernah melakukan apa pun dengan adikmu itu," tegas Jeni dengan pasang manik yang tampak basah. Perasaannya begitu pedih bagai tersayat duri sembilu, saat Jefri menuduhnya dengan paksa.
Awalnya Jeni mengira dengan mereka rujuk akan ada sisi baiknya, yakni bayi dalam kandungannya akan diakui Jefri dan memiliki Ayah. Namun, malam ini mendengar tuduhan Jefri yang begitu kejam terhadapnya membuat Jeni patah hati dan tak memiliki harapan lagi.
"Sudahlah, Jeni! Aku tanya sekali lagi. Jawab dengan jujur! Siapa ayah dari bayi dalam kandunganmu itu?" Jefri bertanya sekali lagi dengan nada suara naik satu oktav.
"Ayahnya adalah kamu, Mas. Tidak ada laki-laki lain yang menjamah tubuhku selain kamu!" jawab Jeni dengan tegas.
"Tapi aku tidak percaya!" sergah Jefri dengan keras. Bola matanya tampak tajam menyangkal jawaban Jeni yang sudah jujur kepadanya.
"Lalu aku harus bagaimana agar kamu percaya, Mas? Demi Tuhan ini adalah anak kamu, Mas!" tegas Jeni berusaha meyakinkan Jefri. Ia berbicara diiringi bulir bening yang luruh begitu deras di pipinya. Perasaannya hancur manakala Jefri tetap bersi kukuh tak mau mengakui anak yang kini berada dalam perutnya itu.
"Aku akan tes DNA anak itu," tantang Jefri dengan tegas pula. Tentu ia tak akan sudi menerima anak yang ia sangka bukan darah dagingnya.
"Lakukan saja, Mas! Lakukan apa pun yang membuat kamu yakin." Jeni menegaskan sekali lagi. Mana mungkin dia takut dengan tantangan Jefri, sementara ia sangat yakin bahwa satu-satunya lelaki yang menteskan air sperma dalam rahimnya adalah Jefri.
Setelah malam itu, Jefri terlihat ketus dan jutek. Ia bahkan jarang sekali menemui Jeni di rumah barunya. Kekesalan Jefri kian bertambah saat ia telah mendapatkan informasi kalau tes DNA itu hanya bisa dilakukan setela usia kehamilam menginjak 15-20 minggu. Hanya butuh dua minggu lagi menunggu waktu tes, akan tetapi Jefri merasa kalau waktu itu lumayan lama terasa.
Ada untungnya bagi Jeni, karena ia bisa bebas dalam melakukan aktivitasnya tanpa dibuntuti Jefri. Dalam waktu dua minggu Jefri berkata ia tak akan datang menemui Jeni sebelum waktu tes DNA itu datang. Tentu saja Jeni merasa senang dengan hal itu. Ia akan kembali dengan rutinitas biasanya.
Pagi ini pun, Jeni sudah bersiap-siap akan pergi ke kampus untuk jadwal kuliahnya. Kehamilan yang masih bisa ia tutupi dengan baju yang longgar, tentu tak terlihat sama sekali dan dia masih bebas berjalan dengan tenang di area kampus.
Selesai dengan jam kedua, siang ini ia berniat akan kembali pulang. Namun, langkahnya dihentikan seseorang dari samping, saat telapak tangan menggengam pergelangannya begitu erat.
Jeni menurunkan tatapannya melihat tangan yang menggegamnya. Sepertinya ia mengenal pemilik tangan itu. Segera Jeni memastikan bahwa dugaannya itu benar.
"Lepaskan, Wil," pinta Jeni sambil berusaha melepaskan genggaman Wili. Ia tak bisa berbicara dengan ramah dengan Wili, bukan karena benci tapi berusaha meyakinkan pada kenyataan seolah Jeni tak lagi menginginkan Wili.
Segera Wili pun melepaskan tangan Jeni karena ia pun merasa kalau wanita yang masih ia cintai itu telah benar-benar berpaling darinya.
"Kamu benar-benar sudah berubah dalam sekejap. Mudah sekali kamu melupakan aku hanya karena uang," sindir Wili dengan bibir yang tampak menipis, menatap Jeni jijik.
"Kalau aku berubah, apa aku salah? Sudahlah, Wil. Aku tidak mau membahas masa lalu, karena aku sudah memiliki masa depanku," tegas Jeni seraya mendelik ke arah Wili. Ia sungguh piawai melakukan dramanya, padahal dalam hatinya terasa pedih saat menerima ucapan Wili yang menyindirnya.
Wili tampak menggelengkan kepalanya. Padahal ia berharap kalau Jeni akan merubah dan menarik kata-katanya. Namun, harapannya pupus karena Jeni terus saja menegaskan bahwa dia benar-benar sudah berpaling dari Wili.
"Pergilah, Jen. Aku memang harus merelakan kamu. Aku rasa kamu memang benar-benar tidak layak diperjuangakan." Wili berbicara dengan sinis. Ia pun segera pergi meninggalkan Jeni terlebih dahulu. Wili berjalan dengan cepat kemudian masuk ke dalam mobil mewahnya dan berlalu melajukan kendaraan roda empatnya dengan kencang.
Sementara Jeni, ia masih mematung dengan pasang maniknya yang tampak berkaca-kaca. Ia pun tidak percaya pada dirinya sendiri.
'Maafkan aku, Wil. Bencilah aku karena ucapanmu memang benar, bahwa aku wanita yang tak layak untuk diperjuangkan. Aku ini terlalu kotor untuk kamu, Wil,' lirih Jeni dalam hatinya. Ia menunduk sambil menghapus bulir bening yang terlanjur tumpah membasahi pipinya. nafas di dadanya terasa sesak. Ia masih saja tak rela kehilangan Wili, cinta sejatinya.
Setelah mengumpulkan tenaga, Jeni kembali menaikan wajahnya. Segera ia menarik nafasnya dalam-dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Ia berusaha menetralkan perasaannya. Tampaknya Jeni harus membuka matanya lebar-lebar, ia harus segera sadar bahwa hubungannya dengan Wili benar-benar sudah kandas.
Jeni kemudian berjalan sedikit ke depan. Ia sudah memesan taksi online dan akan segera pulang karena hari sudah menjelang sore.
Namun, saat ia tengah berdiri di tepi jalan menunggu pesanan taksi onlinenya datang. Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat begitu saja di pipi kiri Jeni yang membuat wajahnya terpanting ke arah kanan.
"Aww!" rintih Jeni sambil memegang sebelah pipi kirinya yang terasa sakit karena tamparan yang keras itu.
"Apa-apaan ini!" sergah Jeni. Namun, seketika bola matanya terbelalak karena Jeni terkejut dengan wanita yang baru saja telah menamparnya tanpa maaf.