4/7/22
Happy Reading
***
Finn melepas jaket yang dikenakannya, langkah kakinya berhenti sejenak di depan pintu yang terbuka lebar. Kedua matanya berputar— mengawasi keadaan rumah yang sebesar istana ini dengan perasaan was-was, maksudnya, ketika ia masuk kerumah, takutnya yang menyambutnya pulang adalah Mamanya.
"Semoga saja Mama sudah tidur," gumam Finn, menarik napasnya panjang-panjang sebelum melangkahkan kakinya masuk.
"Darimana saja, Finn?"
Deg?!
Finn berhenti lalu memutar tubuhnya dengan canggung kearah seseorang yang memanggilnya tadi.
"Main, Mah."
"Iyaa, Mama tahu tapi kau tahu ini sudah jam berapa?"
Finn langsung mengangguk. "Baru juga jam satu lagian' aku kan bukan anak kecil lagi dan—"
"Kau tidak mengangkat telepon dan tidak membalas chat, Mama." Kedua tangannya terlipat garang didepan dada. "Kau tahu kalau—"
"Finn …."
Akhirnya, itu suara Papa tirinya.
Finn langsung mendongakkan kepalanya.
Di ujung anak tangga, ada Papa tirinya yang masih terlihat sangat segar dan begitu tampan. Di usianya yang sudah terbilang sudah tua, tubuhnya masih terbilang bagus.
Wajahnya mirip sekali dengan Jarvis, hanya saja wajah Papa tirinya ini lebih bersahabat dan humble dibanding Jarvis yang super kaku itu.
"Kau pulang dengan Mor?"
"Iyaa, Mor yang mengantarku pulang."
"Lalu?" Jonathan menatap pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Jarvis disana. Ahh, iyaa, ia melupakan sesuatu. Walau ia berharap untuk kepulangan putranya malam ini tapi ia ingat jika Jarvis masih ada "kepentingan" diluar sana.
"Mor izin pamit untuk mengantar, eum … siapa wanita itu, Paman?"
Finn belum terbiasa memanggil Jonathan dengan sebutan Papa dan Jonathan memahami itu. Lagipula kedua anak kandungnya pun memanggil istrinya masih dengan sebutan bibi. Biar waktu yang mengubah segalanya.
"Ohhh, itu Padma, sekretaris kakakmu."
"Ahh, pintar juga Jarvis memilih sekretaris."
"Itu aku yang memilihkannya."
Deg?!
Ehh?
Finn langsung melihat Mama. Takut Mamanya cemburu, mana Papa tirinya terang-terangan sekali jika bicara.
"Itu satu tahun yang lalu, Mah." Buru-buru Jonathan menenangkan keadaan.
"Oh!!!" Mama Finn, mencelos. Ini tidak cemburu hanya untuk bercandaan.
Jonathan menghela napas panjang. Tidak mau memperpanjang masalah ini.
Lagipula setelah kematian istrinya yang disebabkan karena pendarahan setelah melahirkan putranya dan menduda 29 tahun lamanya, ia tidak pernah "jajan" sama sekali atau bersentuhan dengan seorang wanita karena ia ingin fokus mengurus Bunga dan Jarvis yang masih bayi merah saat itu.
"Hemm, dimana kakakmu? Tidak ikut pulang?"
"Di hotel Veteran," jawab Finn dengan begitu polosnya. "Tidak mau pulang, sepertinya akan menginap disana."
"Heuh?" Mama Finn yang bernama Airin Isamu langsung mengernyitkan dahi lalu ia melihat suaminya yang tersenyum penuh arti di atas sana. Suaminya memberi isyarat untuk tidak mengatakan apa-apa.
"Yaaa, dan Mama tahu aku diusir dari sana." Finn mendengus manja, berjalan mendekati Mamanya. "Aku dan Jarvis kan sudah lama tidak pernah bertemu. Aku hanya ingin bicara dengannya dan mencoba mengakrabkan diri. Tapi dianya seperti es batu, dingin sekali padaku. Kata Paman Jo …." Finn memanyunkan bibirnya, melihat Papa tirinya yang sedang dalam perjalanan turun. ".... dan Mama, aku harus berusaha mengakrabkan diri dengannya. Iya, kan?"
"Memang apa yang kau lakukan sampai Kakakmu mengusirmu?" Jonathan mengusap gemas kepala anak tirinya ini lalu melihat istrinya—yang baru dinikahinya 6 bulan lalu— mereka berdua sangat mirip.
Finn mirip sekali dengan Airin kalau sedang merajuk manja seperti ini.
Finn tidak suka jika kepalanya diusap-usap seperti ini— untuk menghilangkan jejak elusan tangan Papa tirinya— ia mengusap-ngusap kepalanya sendiri. "Sudah kubilang, aku hanya ingin ngobrol dengannya. Paling tidak setelah sekian lama tidak bertemu, bisa kan' ajak aku minum-minum atau makan-makan. Dia kan' baru saja selesai rapat daripada di hotel sendirian lebih baik aku temani. Iya, kan? Aku tidak salah, kan?"
Jonathan dan Airin sama-sama menahan tawanya. Mereka berdua mengangguk-ngangguk gemas saat mendengar cerita Finn yang panjang lebar seperti itu.
"Oh, maksudnya kau ingin tidur dengan kakakmu malam ini?" tan Airin.
Finn mengangguk.
"Tapi kakakmu mengusirmu?"
"Tepat sekali, Paman!!" Finn berseru kesal. "Aku hampir masuk ke dalam lift tadi tapi dia mengancamku … ehem!" Finn menelan ludahnya. Ia mengerutkan bibirnya. "Kalau kau tidak pulang katanya dia akan meminta Paman melakukan sesuatu untukku."
"Heh, kenapa aku dibawa-bawa? Apa salahku?" Jonathan menunjuk dirinya sendiri dengan bingung, bercanda.
Selain malam ini adalah malam istimewa untuk Jarvis— ada alasan lain kenapa Jarvis tidak mau dekat-dekat dengan Finn. Ia tahu itu, tapi untuk alasan tertentu lebih baik merahasiakannya dari siapapun.
Finn mendengus. "Supaya aku tidak bisa kemana-mana dan mengganggunya lagi, Jarvis akan menyuruh Paman untuk mengurungku di dalam kamar."
"Hah?" Jonathan dan Airin saling lihat, mereka berdua sama-sama bingung dan tidak percaya.
"Ini serius!! Mor saksinya!" Finn semakin sebal karena mereka berdua tidak ada yang percaya. "Paman tidak akan mengurungku, kan?"
"Buahahahaha!" Jonathan tertawa sampai terbatuk-batuk. Airin dengan sigap langsung mengambilkan air dan memberikan minum itu pada Jonathan.
"Papa, ihh!" Airin menepuk-nepuk dada suaminya dengan gemas. "Ingat kau ini ada riwayat paru-paru basah, Pah."
"Dia anakmu?" Canda Finn.
Airin mengangguk. Jujur, saja, ia juga sebenarnya ingin menertawakan kepolosan Finn namun melihat Finn yang langsung manyun seperti itu ia jadi tidak tega. Sejak kecil Finn selalu seperti ini, anak manja tapi selalu bertanggung jawab dengan apa yang menjadi pilihannya.
"Kau tahu Finn …." Jonathan menepuk-nepuk gemas lengan Finn. "Kalau kau sampai mengganggu kakakmu malam ini … aku jamin, aku akan melakukan yang kakakmu katakan. Mengurungmu selama berhari-hari di ruang bawah tanah.
Finn tahu itu hanya bercanda, tapi tetap saja ia mendesah kecewa. "Tuh, kan. Paman Jo memang tidak sayang padaku," ucapnya sembari mengembang kempiskan hidungnya.
"Hahahah!" Jonathan semakin tertawa kencang. "Hahh, dia mirip sekali denganmu, Ai."
"Maafkan Finn, Pah." Airin merasa tak enak hati, takut suaminya salah paham ketika Finn mengatakan itu— padahal lebih dari apapun dan bukan hanya karena mencintainya Jonathan sangat-sangat menyayangi Finn.
Apalagi semua kebutuhan dan kesusahan Finn selama meneruskan perusahaan Lamant peninggalan mendiang suaminya dibantu sepenuhnya oleh Jonathan Isamu tanpa rasa pamrih.
"Kenapa minta maaf?" tanya Jonathan, yang sudah berhenti tertawa. "Kalau kau merasa aku kurang menyayangimu, aku tidak akan memperhatikanmu lagi, bagaimana?"
"Ehhh?" Finn langsung menggeleng. "Maaf, maaf," ucapnya penuh penyesalan. "Aku tidak akan mengatakan itu lagi, Paman."
"Hemm." Jonathan mengelus-ngelus sayang kepala Finn, memaklumi itu. "Oh, iya, ngomong-ngomong kenapa kau bisa ada di hotel yang sama dengan Kakakmu? Bukankah kau pamitan mau bertemu dengan kenalan mu yang seorang wanita? Ketemu tidak?"
"Ituuu …." Kali ini helaan napas Finn semakin panjang.
Finn menceritakan dengan detail kejadiannya dari A sampai Z dan sesuai dengan respon yang diharapkannya … mereka berdua dan ditambah dengan kedatangan Kak Bunga yang baru pulang kerja— mereka bertiga menertawakannya.
Yaaa, mereka tertawa diatas penderitaanku. Apanya yang lucu coba? Aneh, kan? Ada anak curhat bukannya dikasih nasihat, ini malah ditertawakan dengan sangat riang.
Seolah patah hati itu adalah hal yang paling wajar didunia ini.
"Siapa namanya?" Bunga mengusap air mata yang ada sudut matanya. Ia baru saja selesai menertawakan nasib adik tirinya yang apes ini.
"Aku tidak akan memberi tahu namanya padamu, kalau ku beritahu nanti kau akan kepo dan mencarinya hingga ke ujung dunia."
Bunga langsung menggeleng. "Percayalah. Aku tidak akan melakukan itu. Beritahu aku namanya."
"T-i-d-a-k!" Finn menggeleng tegas.
"Ya, sudah. Beritahu Mama, wanita manis itu kerja dimana?" Kali ini Airin yang bertanya.
"Kalau kuberitahu kerja dimana, pasti nih, yaa … entah Paman, entah Mama atau mungkin Kak Bunga akan mencarinya kesana dan mengajaknya mengobrol secara empat mata." Finn tahu isi pikiran ketiga orang yang menyebalkan ini.
"Heii, untuk apa, ya?" Protes Bunga tidak terima. "Kurang kerjaan, huuuu!!"
"Ahhh, Papa tahu." Jonathan melihat Bunga, bersiap akan menceng-cengi Finn lagi. "Takutnya tanpa basa-basi Papa akan langsung melamarnya, iya, kan, Finn?" Canda Jonathan sambil menoel lengan Airin dengan gemas. "Kau mau tidak jadi istri anakku, dia sangat mencintaimu."
"Tidak … tidak!" Finn langsung menggeleng. Malu setengah mati. Ia tidak pernah berpikir minta dilamarkan Laya untuk dirinya.
"Ehh, iya, Pah. Ide bagus, tuh!!" Bunga mengompor-ngompori dengan semangat membara. "Bentar lagi ada yang punya mantu, nih!!"
"Aihhh!! Yass, Bibi akan punya mantu." Airin senang sekali. "Jika bertemu dengannya, Bibi akan langsung mengangkutnya ke penghulu, bagaimana?!"
"Setuju." Bunga dan Airin high five.
Jonathan hanya bisa tertawa, kompak sekali keluarganya ini. Hah, andai Jarvis ada disini. Lengkap sudah kebahagiannya.
"Gilaaa!" Finn menutup telinganya. Wajahnya benar-benar panas saat ini. "Cukup … cukup! Aku Tidak mau mendengar kata pernikahan lagi. Kak Bunga dan Jarvis saja belum menikah masa sudah membahas pernikahanku saja!!"
Hahahahaa
***
Salam
Busa Lin