15/7/22
Happy Reading
***
Eh, tapi …
Laya langsung melepas tangannya dengan canggung saat sudah selesai memasangkan dasi untuk Jarvis.
Bisa-bisanya, kebablasan sih!!
"Maaf, bos," kata Laya, memukul bibirnya salah tingkah.
Untuk mengurangi rasa malunya, ia berpura-pura mencari keberadaan jam yang ada dinding kamar ini.
Dimana dia?
Kenapa disaat seperti ini, ia baru ingat jika ia harus bekerja. Kalau tidak berangkat— bisa-bisa ia akan dipecat tanpa alasan karena membolos kerja.
Semoga saja ini masih sangat pagi. Jadi ia masih punya banyak waktu untuk bersiap-siap.
Lagipula Jarvis saja belum berangkat kerja itu artinya …
"Ini sudah jam 11."
"HAHH!!" Laya berteriak panik. Ia mau berdiri dari tempatnya tapi Jarvis langsung meraih tangannya.
"Tenanglah," ucapnya, menyuruh gadis itu untuk duduk lagi. "Aku mengijinkan mu untuk tidak bekerja hari ini. Gunakan ini untuk waktu istirahatmu."
"Ta-tapi kalau Bu Wati memecatku—"
"Siapa Bu Wati?!" tanya Jarvis, penasaran.
"Kepala Office Girl di perusahaan Isamu. Bu Wati yang bertanggung jawab atas—"
"Kedudukannya lebih tinggi dariku?"
Gluk!
Laya menelan ludahnya dengan kasar.
Ah, lagi-lagi Laya melupakan sesuatu. Ia saat ini bekerja di perusahaan Isamu Grup— yang otomatis perusahaan itu milik Jarvis Isamu.
"Ma-maaf," kata Laya mengerucutkan bibirnya.
"Selama tiga hari ini kau tidak perlu bekerja."
"Hah?"
"Mor sudah mengurusnya. Kau istirahatlah."
"I-iyaaa, terima kasih," ucap Laya, tidak mau berdebat lagi. "Kalau aku dipecat—"
"Uruslah tunanganmu dengan baik," ucap Jarvis tidak mau mendengar ucapan Laya.
"Ehhh?" Laya langsung mendongakkan kepalanya.
"Uangnya ada disana. Cash, bukan cek," kata Jarvis menunjuk pada koper yang diletakkan di kursi. "Gunakan uang itu sesuai dengan kesepakatan kita diawal."
"Ehhh, anu?!" Laya berbalik melihat Jarvis yang sudah berdiri.
"Selama sembilan bulan kedepan kau menjadi milikku." Jarvis bersiap memakai jasnya. "Dan, tinggallah bersama ku selama kurun waktu itu."
"What?!"
"Ssttt!" Jarvis menyuruh Laya untuk tidak terlalu banyak berteriak. "Di dalam tas itu ada alamat rumahku dan kuncinya."
"T-tunggu dulu!!! Kau memintaku untuk tinggal bersamamu selama sembilan bulan dirumahmu?!"
Jarvis mengangguk mantap.
"Aku tinggal di kost. Tidak bisakah aku aku datang saat kau membutuhkanku?"
Jarvis menggeleng mantap.
"Yahhh!" Laya mendesah kasar. Huh, tidak bisa ditawar ternyata.
"Datanglah kapanpun kau siap. Jika kau butuh bantuanku untuk mengurus kepindahanmu hubungi saja Mor atau kau bisa menghubungiku secara langsung. Disana pun sudah ada kartu namaku. Paham?!"
"Ehh, t-tunggu dulu, k-kenapa mendadak se-sekali?!" Laya mau berdiri, tapi ia sadar betul jika masih telanjang dan jujur saja, tubuh bagian bawahnya ini masih terasa sangat linu dan pegal.
Jarvis menghela napas panjang. "Ini," ucapnya singkat sambil meletakkan black card miliknya di atas nakas.
"APA LAGI INI?" Lagi-lagi Laya berteriak kaget. Ia tahu apa itu tapi maksudnya ini untuk apa?!!!!
Sialan!
"Aku bukan wanita murahan!"
Jarvis tak menggubris itu. "Uang 350 juta tidak akan cukup untuk biaya operasi tunanganmu dan bukankah kau punya hutang yang sangat banyak pada rumah sakit Francisco Isamu?"
"Itu …." Laya sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Benar, sih! Hutangnya memang sudah sangat banyak. Tapi ….
"Masih ada yang mau kau katakan?" tanya Jarvis sebelum pergi.
Laya menggeleng tapi, "Ini tidak ada hitam diatas putih?" tanyanya dengan gugup. "Jika aku lari membawa uangmu?"
"Tidak masalah," kata Jarvis mengedikan bahu.
"Kau percaya padaku?"
Jarvis mengangguk samar.
"Kalau aku tidak datang kerumahmu—"
"Kubilang tidak masalah." Jarvis menghela napas panjang. "Toh, aku sudah pernah merasakan tubuhmu."
Laya menghembuskan napasnya dengan kesal. "Kau sangat menyebalkan!"
"Rawatlah tunanganmu dengan baik."
Bisa-bisanya masih berpesan seperti itu. Jarvis itu manusia atau bukan sih!!!
"Setelah Vihan selesai dioperasi aku akan langsung datang menemuimu, bos." Laya berucap pasrah.
"Hemm, dan ketika kau menginjakkan kakimu dirumahku saat itu juga awal dari perjanjian sembilan bulan kita."
Laya mengangguk setuju. "Perjanjian kontrak yang tidak tertulis. Benar?"
"Perjanjian percaya satu sama lain. Benar?" Jarvis menatap mata Laya penuh arti.
"Benar." Laya mengangguk setuju. "Kau tidak perlu khawatir, bos."
"Oke, aku pergi," kata Jarvis. "Mor akan mengantarmu pulang."
"Yaaa."
"Dan, makanlah yang banyak." Pesan Jarvis sebelum benar-benar pergi meninggalkan Laya. "Tubuhmu sangat kurus, tidak enak kalau dipeluk-peluk terlalu lama, La."
"BOS, KELUAR TIDAK!!"
"Setidaknya naikkan 4 atau 5 kilo." Jarvis menahan tawanya. Ia berjalan keluar kamar dan langsung menuju ke kantor untuk melakukan rapat.
*
*
*
Laya berjalan senormal mungkin saat memasuki kost-kostnya. Matanya mengawasi keadaan sekitar. Takut-takut ditanyain macam-macam oleh Savita.
Sebab tidak biasanya ia pulang sesiang ini.
"Ini sudah jam 12 siang," gumamnya melihat jam yang ada di tangannya. "Savita tidak ada di kost kan', ya? Semoga saja tidak ada."
Perlahan namun pasti ia berjalan menyusuri lorong kostannya, tinggal satu kamar lagi ia akan sampai di kamarnya.
Hah … hah … hah!
Laya mengatur napasnya yang bersengalan. Sungguh ini sangat perih. Sekujur tubuhnya pun terasa pegal.
Huh, menyebalkan!
Apakah semua perempuan di seluruh dunia akan seperti ini saat melakukan seks untuk pertama kalinya?
Entahlah, Laya tidak mau memikirkan hal yang aneh-aneh dulu, yang jelas saat ini ia ingin tidur.
Mungkin dengan tidur bisa menghilangkan segala sakit di tubuhnya.
Laya membuka pintu kamar kostnya dengan perlahan.
Gelap. Itu kesan pertama yang ditangkap.
Asing. Lho, kenapa baru tinggal semalam saja sudah terasa asing?
Dan ….
Lembab. Hem, iya, pastilah. Gorden dan jendelanya saja belum dibuka.
Laya meletakkan tas ransel dan tas koper yang berisi uang dari Jarvis di lantai begitu saja lalu ia membuka gorden kamarnya setengah dan membuka salah satu jendelanya supaya ada angin masuk.
Tanpa pikir panjang Laya langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur.
Kedua tangannya melepas satu persatu kancing kemeja yang digunakannya.
Laya tidak mau memikirkan apapun saat ini. Ia hanya butuh tidur.
Iyaaa, tidur untuk menenangkan dan mengistirahatkan segala pikirannya yang terasa berat.
Perlahan-lahan mata Laya tertutup.
Sayup-sayup Laya bisa mendengar suara ketukan pintu di luar sana. Pun ia bisa mendengar ada yang memanggil namanya berulang kali untuk membuka pintu.
Hahh!
"Aku sangat lelah. Biarkan aku tidur dulu. 5 menit saja," racau Laya dalam setengah tidurnya. "Siapapun yang memanggilku, aku akan menemuimu nanti."
Laya pun terlelap dalam tidurnya.
Diluar sana …
Tok … tok … tok!
"Layaaa, ini aku Savita!! Buka pintunya!" Savita mengetuk kamar Laya berulang kali, namun tak ada jawaban sama sekali. Ia menelpon dan mengirim chat pada Laya tapi sama sekali tidak diangkat dan chatnya pun tak dibalas.
"Hish, kau ini kemana saja, hah?! Kalau tidak pulang, bisa kan' beritahu aku!!"
"Laaaa!!"
"Layaaa Geminaa!!"
***
Salam
Busa Lin