19/7/22
Happy Reading
***
"PAPA!!" Jarvis berteriak kaget. Refleks ia memundurkan langkahnya saat diberikan kedipan yang sangat menyebalkan dari Papanya ini. "Sedang apa disini? Ke-kenapa bisa masuk?!" Ia celingak-celinguk panik—malu pasti karena ketahuan mengintip— melihat pintu masuk lalu melihat lift yang baru saja tertutup.
"Hish, pasti, Mor!! Kenapa dia tidak memberitahu kedatangan Papa, sih?!" Jarvis merutuk dalam hati.
"Heiii, boy!" Jonathan menepuk bahu Jarvis sekali. "Jangan panik, santai saja dengan Papa." Jonathan tersenyum penuh ledekkan. Ia tak pernah melihat wajah putranya yang sedingin es batu dan sekaku kanebo kering bisa sepanik ini karena malu. "Lagian wajar kok kalau kita melihat hal semacam itu." Cengirnya tanpa rasa bersalah. "Kita bukan mengintip. Salahnya sendiri bercinta ditempat terbuka seperti itu. Pasti bukan hanya kita saja yang lihat. Kau lihat?" Jari Jonathan menunjuk ke beberapa gedung pencakar langit. "Di gedung-gedung lainnya pun pasti ada juga yang melihat cara bercinta mereka yang … wah, sekarang ganti doggy style, Vis. Lihatlah!!" Jonathan menepuk-nepuk lengan Jarvis dengan sangat antusias. "Pasti banyak yang merekam adegan panas mereka. Mau direkam tidak? Untuk koleksi. Lumayan, kan?!"
Jonathan menaik turunkan alisnya semakin semangat meledek Putranya yang selalu terlihat menggemaskan di matanya. Biarlah orang mau berkata apa, untuknya Jarvis masih terlihat seperti bayi. Apalagi mata bulat kemerahan itu, hemm … lucu! Anak siapa dia sebenarnya? Benarkah dia anakku? Hahaha!
Hish!! Jarvis menghembuskan napasnya.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia meninggalkan Papanya yang sedang menonton video live porno itu. Malas sekali meladeni Papanya yang selalu bersikap seperti itu padanya, ia tak mau menggubris semangat Papanya yang menggebu-gebu dalam membahas hal semacam itu.
Padahal sudah punya istri baru yang cantik tapi tetap saja jika melihat hal-hal yang seperti itu tetap tak bergeming, mana matanya yang mirip dengannya itu tidak berkedip sama sekali. Papanya siapa sih itu?!
Hem, kelakuan pria memang sangat unik dan aneh!
Jarvis kembali duduk di sofa yang kali ini sofa yang ditujukan untuk tamu.
Wahh, berkas-berkas ini?!
Ini kan' berkas perjanjian kontrak kita? Hish, ia sampai lupa membawanya semalam.
Untung saja tidak ada yang lihat! Kalau sampai ada yang lihat bisa-bisa reputasi Laya dan dirinya akan hancur dalam waktu sekejap.
Sebelum Papanya kembali dari menonton live porno itu … ia meletakan map abu-abu itu di dalam lemari. Saat ia pulang nanti, ia akan membawa dan menyimpannya di brankas.
"Lama juga mainnya." Jonathan terkekeh lalu melihat Jarvis yang … ya, seperti biasanya. Sangat diam. "Papa tahu kau lelah," ucapnya sambil berjalan mendekati putranya. "Kenapa kau tidak istirahat saja?"
Jarvis tidak mau menjawab pertanyaan Papanya. Ia yakin Papanya itu sudah tahu jawabannya.
"Kenapa kau masih ada disini?" Jonathan duduk di salah satu sofa single yang disediakan. "Papa pikir kau masih tidur memeluk tubuh gadis itu dengan mesra."
"Ha ha ha." Jarvis tertawa— tawa itu terdengar sedikit menyebalkan dan ada geli-gelinya saat mendengar pertanyaan Papanya itu. Ia memang menceritakan semua ini pada Papanya, tapi kalau tanya bisa tidak … tidak se to the point itu?
"Kerja," jawabnya kemudian.
"Hahh! Gadis itu juga kerja?" Jonathan sedikit kaget.
Jarvis menggeleng.
"Dia kerja dimana?"
Jarvis menggeleng lagi, yang artinya tidak mau memberitahu. Padahal Papanya juga sudah tahu Laya itu kerja dimana.
Dasar menyebalkan!
"Pah!"
"Oke! Tidak masalah. Maafkan, Papa?" Jonathan tersenyum penuh arti. Perasaan dulu putranya ini— walau kaku— tapi masih bisa diajak bercanda. "By the way, selamat, ya, nak. Ternyata kau bisa melakukannya dengan gadis itu. Good boy." Jonathan mengacungkan kedua ibu jarinya.
"Hem." Jarvis berdehem kikuk. Malu.
"Tidak ada perasaan aneh-aneh atau perasaan tidak nyaman atau—"
"Tidak ada!" Jarvis memotong dengan pasti ucapan Papanya.
"Oke, baiklah." Jonathan bernapas lega.
Akhirnya! Padahal ia sudah menyuruh dokter pribadi Jarvis untuk selalu siap sedia hadir jika Putranya itu membutuhkan pertolongan.
"O-iya, Pah." Jarvis melihat Papanya. Berusaha untuk mengalihkan pembicaraan malam pertamanya dengan Laya.
"Ngomong-ngomong Papa sudah tahu belum siapa keluarga Laya?"
"Sudah dan ternyata setelah diselidiki Papa mengenal Tuan Matheo Gemina."
"Benarkah?" tanya Jarvis tidak percaya.
Jonathan mengangguk.
"Lalu?"
"Apanya yang lalu?" Jonathan mengernyitkan dahinya, bersiap akan meledek Jarvis lagi.
"Papa bilang kenal dengan Tuan Matheo Gemina lalu ada hubungan apa Papa dengan beliau?!"
"Ohhh, tidak ada yang spesial, kok. Santai saja …." Jonathan terkekeh gemas saat melihat reaksi Jarvis yang mendengus kesal seperti itu. "Maksud Papa, hanya rekan bisnis biasa, Jarvis. Tidak terlalu dekat hanya kenal saja dan yang Papa tahu dari rekan-rekan bisnis Papa, Tuan Matheo itu adalah pebisnis yang sangat jujur. Tidak mudah terdistraksi oleh apapun dan selalu teguh pada pendiriannya. Dia tidak pernah mau makan uang haram apalagi menjalankan bisnisnya di dunia hitam. Hem, bisa dibilang pebisnis lurus."
"Hem, mirip dengan Laya."
"Tapi, gadis itu memintamu untuk—"
"Terpaksa. Aku kan' sudah pernah bilang."
"Ahh, iya, maaf." Jonathan meringis. "Kau ini tak bisa diajak bercanda ternyata. Bisa tidak santai sedikit bicara dengan Papa. Jangan kaku-kaku amat?!"
Hish! Jarvis mendengus. Kalau seperti itu, bisa-bisa sepanjang percakapan ini hanya diisi dengan candaan Papa saja.
"Lalu kematian orang tua Laya, apakah ada hubungannya dengan dunia bisnis yang penuh kejujuran itu?" tanya Jarvis penuh rasa penasaran.
"Papa sudah menyewa detektif yang bisa dipercaya untuk menyelidiki itu semua. Jadi maafkan Papa karena belum bisa memberikan informasi apa-apa padamu saat ini." Jonathan menghela napas panjang.
"Tidak masalah." Jarvis menghela napas. "Bagaimana jika aku saja yang mencari informasinya?"
Jonathan menggeleng, tidak setuju. "Tidak boleh! Kau fokus saja menjalankan perusahaan ini. Oke?!"
"Hem." Jarvis mengerutkan hidungnya, tidak suka. "Lalu?"
"Tidak ada." Jonathan mengedikan bahu. "Hanya saja Papa sangat terkejut dengan satu fakta, ternyata Laya Gemina putri Tuan Matheo Gemina itu adalah gadis yang sangat pintar dan berbakat dalam bidang seni lukis. Hem, tapi sayang sekali nasibnya harus berakhir seperti ini dan berakhir di tangan pria kaku sepertimu."
Jarvis menipiskan bibirnya. Sebal juga jika bicara dengan Papanya seperti ini. Sama sekali tidak seru.
"Bisa tidak, Papa bertemu dengannya sekarang?"
Jarvis menggeleng, pokoknya Papa tidak boleh bertemu dengan Laya. Titik. "Hari ini dia tidak bekerja," jawab Jarvis. "Aku meliburkannya selama tiga hari."
"Ughhh, perhatian juga anak Papa pada kesehatan orang lain." Jonathan terkekeh.
Jarvis mendengus. "Kalau Papa tidak ada kepentingan, Papa boleh pergi. Aku masih banyak pekerjaan dan lagi aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni pengangguran seperti Papa."
"Wahhhh!" Jonathan bertepuk tangan sekali karena bingung mau membalas ucapan putranya seperti apa.
Memang benar, setelah tampuk kekuasan pindah ke tangan Jarvis dan sebagian perusahaan yang bergerak dibidang fashion dan entertainment dipegang oleh Putrinya Bunga— 1000% ia memang sudah jadi pengangguran akut. Makanya, ia mencari kesibukan dengan cara mencari asal usul keluarga gadis itu.
"Papa pulang lah. Nikmati hidup Papa dengan istri baru Papa. Bukankah sudah ada Finn disana? Mainlah dengannya, Papa akan terlihat semakin muda 10 tahun dan rambut putih Papa tidak akan sebanyak itu."
"Cihhh!" Jonathan mendecih kesal. "Anak itu bukan membuat Papa 10 tahun lebih muda, tapi membuat Papa 100 tahun lebih tua. Kau tahu kelakuannya kan? Ya, Tuhan!!"
Jarvis hampir tertawa mendengar penuturan Papanya. Memang energi Finn yang kelebihan dosis itu sangat cocok untuk membuat darah tinggi seseorang di atas rata-rata.
"Mulai kapan Laya akan tinggal bersamamu?"
Jarvis mengedikan bahu. Semua rencana untuk Laya sebenarnya sudah Jarvis bicarakan dengan Papanya.
"Tidak tahu atau belum pasti mau tinggal?!"
"Tidak tahu. Aku memintanya untuk mengurus tunangannya dulu."
"Mmmm." Jonathan mengerti akan hal itu. "Kenapa kau selalu memberikan pilihan pada Laya? Bukankah to the point itu lebih melegakan? Jadi kau tidak perlu menerka-nerka kapan gadis itu akan datang padamu. Benar?!"
Jarvis tanpa sadar memegang ujung jarinya dengan tangan lainnya. Tampak sekali kegelisahan disana. Ia tidak mau mengekang atau mengatur siapapun lagi yang sedang atau sudah hadir di kehidupannya.
Tidak boleh egois, kan?!
Jonathan tahu itu. Ia ingin memegang tangan putranya tapi ia urungkan. Ia tak mau jika yang dilakukannya nanti akan membuat putranya itu berpikiran jika dia adalah pria yang lemah.
"Aku hanya ingin memberikan kebebasan padanya, Pa." Jarvis akhirnya bisa menjawab pertanyaan papanya.
"Mmm, oke. Dan, kebebasan akan pilihan yang kau berikan padanya itu justru membawanya ke suatu hal yang tidak kau sangka seperti ini, benar?"
"Mmm, aku tidak menyangka jika dia akan menawarkan hal seperti ini padaku." Jarvis menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Kupikir, yang akan ia minta adalah menjadi asisten pribadiku dan akan mengurusku selama 24 jam. Ehhh, ternyata …"
"Unik, bukan?"
Jarvis mengangguk. "Sangat."
"Baguslah." Jonathan beranjak dari duduknya.
"Sudah mau pergi?"
Jonathan mengangguk lalu ia duduk lagi. "Eh, tapi kalau kau mau Papa tinggal lebih lama, Papa akan—"
Jarvis langsung menggeleng. "Terima kasih untuk kunjungan Anda, tuan Jonathan Isamu. Silahkan, lewat sini," ucapnya sambil mengarahkan Papanya menuju lift.
"Yaa, Tuhan! Kenapa semua anak-anakku seperti ini, sih?!" Jonathan menggeleng tak percaya. "Mengusirku dengan senang hati.
Jarvis hanya tersenyum simpul. "Aku akan antar Papa sampai bawah."
"Hemmmm!"
"Kau sudah makan?" tanya Jonathan. "Mau makan dengan Papa?"
Jarvis mengangguk samar.
***
Salam
Busa Lin