Chereads / DIVE INTO YOU / Chapter 38 - HUBUNGAN LAYA

Chapter 38 - HUBUNGAN LAYA

31/7/22

Happy Reading

***

"Maksudku … anu?" Jarvis menghembuskan napasnya— tidak jadi menanyakan sesuatu hal yang sesensitif ini. Ia meraih tangan Laya— untuk menyebrang.

Laya tahu maksud Jarvis, kok. 

Pasti pria itu ingin menanyakan keadaan bagian sensitifnya ini. "Hem, aku baik-baik saja, kok," ucapnya— yang tanpa sadar balik menggandeng tangan Jarvis. "Kemarin memang sakit. Sedikit."

Jarvis reflek melihat Laya. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

"Tapi sudah tidak lagi. Aku kan kemarin tidak melakukan apa-apa. Semalam juga … eum, walau tidak tidur, aku tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, baca novel dan main hp." Laya nyengir salah tingkah. "Kau tidak perlu khawatir, bos."

"Hem." Jarvis bernapas lega, saat mendengar semua penjelasan Laya. "Setelah ini istirahatlah."

"Aku tidak mungkin bisa tidur, bos." Laya menghela napas panjang. "Aku takut kalau tidur …." Laya tidak bisa meneruskan ucapannya.

"Dia akan mati?!" Jarvis tanpa sadar mendecih geli. 

"Huh!" Laya mengerucutkan bibirnya.

Mereka berdua menyebrang jalan bersamaan. Tangan Jarvis masih menggandeng tangan Laya, dan tangan Laya masih merangkul lengan Jarvis. 

Mereka berdua saat ini sudah berada di lorong rumah sakit, dan mereka pun tak sadar jika menjadi pusat perhatian banyak orang.

Bukan apa-apa …

Orang-orang itu tidak tahu siapa Jarvis Isamu— yang memang orangnya sangat tertutup masalah privasi keluarga— dan orang-orang itu pun juga tidak tahu siapa Laya Gemina— yang hanya putri dari pengusaha kaya. Pun kedua orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan.

Yang orang-orang itu tahu hanya— mereka berdua sangat serasi, sangat romantis, sama-sama memiliki paras yang rupawan—yang satu cantik dan yang satu sangat tampan, dan sama-sama memiliki aura sultan.

"Ahh, aku yakin hidup mereka sangat bahagia," celetuk salah satu pasien yang sedang mengantri obat.

"Kalau mereka punya anak pasti anak-anak mereka akan sangat cantik dan ganteng."

"Haishh, mereka berasal dari keluarga mana, ya? Mana dua-duanya terlihat seperti orang kaya lagi."

Begitulah kira-kira celetukan-celetukan yang terlontar dari beberapa orang yang melihat mereka berdua berjalan bersama.

"Jangan terlalu memaksakan diri," ucap Jarvis setelah sampai ruang tunggu.

"Aku tidak terlalu memaksakan diri sendiri, kok." Laya melepas rangkulan tangannya.

Disana ada Mor yang masih dengan setia  menunggu operasi Vihan. Mor sedang main hp. Dia terlihat sangat serius dengan hpnya.

"Kenapa tidur?" Jarvis duduk didepan Mor—dibangku depannya— dan Mor sepertinya belum sadar akan kehadirannya disini.

Melihat itu Laya, hanya bisa tersenyum gemas. Apalagi saat melihat Jarvis yang sudah duduk dengan tangan terlipat dan salah satu kakinya diletakkan di kaki lainnya. Kedua matanya, mengisyaratkan ingin sekali memarahi atau membunuh Mor saat ini juga. 

"Mungkin karena aku terlalu cemas dengan operasi Vihan jadi aku tidak bisa tidur." Laya duduk disebelah Jarvis. Ia jadi ikut-ikutan melihat Mor, yang sepertinya sangat serius bermain game. "Ya, kau tahu sendiri 'kan, perasaan cemas bercampur khawatir itu akan menjadi satu kesatuan yang menyebalkan. Walau aku mencoba untuk menenangkan diriku sendiri semalam, tapi rasa itu tidak bisa dihilangkan dengan mudah." Laya menghembuskan napasnya. "Hah, kepalaku hampir pecah semalam, bos. Aku takut kalau operasi ini tidak berjalan lancar dan … eum?" Laya tidak bisa meneruskan ucapannya.

"Kalau semisal Vihan mati di meja operasi … kau tidak akan punya tanggungan apa-apa setelah ini, La. Kau bebas. Kau tidak menginginkan itu?" 

"Hish." Laya mendengus. Suka heran sendiri dengan Jarvis. Aneh, tidak ada rasa simpati tapi kok … seperti perhatian. 

Tapi kalau dipikir-pikir, siapa sih yang tidak mau terlepas dari beban seberat ini. 

Selama enam bulan lebih ia harus berjuang membiayai kehidupan Vihan, dan gara-gara Vihan pun— karena terpaksa— ia harus kehilangan keperawanannya yang selama ini dijaganya dengan sungguh-sungguh.

Hem, tapi … bukankah ini sudah tanggung jawabnya? Merawat Vihan dengan sepenuh hati. Vihan adalah tunangannya. 

Tapi … Laya melihat Jarvis. Matanya bergetar penuh kegalauan.

"Siapa sih yang tidak ingin bebas dari beban seberat ini, bos?" Laya mengerutkan hidungnya. Pasrah. "Dia tunanganku. Bukankah sudah jadi tanggung jawabku untuk merawatnya?"

"Hem, kau benar juga." Jarvis pun jadi menghela napas panjang. "Tapi, kalau kau yang berada di posisi Vihan … apakah Vihan akan mati-matian melakukan ini padamu?"

Eh?!

Laya langsung menoleh. Melihat wajah dingin Jarvis yang menggemaskan dan sorot mata itu … kenapa terlihat adanya ketidaksukaan terhadap sesuatu?

"Maksudnya?" Laya mencoba mencerna sekali lagi pertanyaan Jarvis.

"Ya, kalau kau yang koma, apakah Vihan akan melakukan hal segila ini?"

"I-itu …." Laya tidak bisa menjawab dengan pasti karena Vihan itu …

"Kenapa? Sepertinya kau tidak yakin akan kesetiaan Vihan." 

Laya langsung menggeleng. Mencoba untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya adalah rahasia yang selama ini ia pendam selama bertunangan dengan Jarvis.

"Vihan akan melakukan apa saja untukku, bos." Laya mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. "Dia sangat mencintaiku. Pasti dia akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkanku. Apa yang kulakukan padanya saat ini pasti akan dia lakukan padaku. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hubungan kita, oke?!"

"Aku tidak pernah mengkhawatirkan hubungan siapapun," ucap Jarvis. Membuat Laya kalah telak.

"Maksudku … a-anu … hish!" Laya mengerucutkan bibirnya. 

"Sepertinya ada cinta bertepuk sebelah tangan, nih?" Jarvis tersenyum penuh arti. "Ohhh, salah," ucapnya sambil menahan tawa. "Atau … disini ada cinta karena terpaksa?" Senyumnya mengisyaratkan— mengejek sesuatu yang mudah diterkanya.

"T-tidak ada. Salah semua!!" Laya langsung menggeleng canggung. "Kita saling mencintai, oke? Aku tidak terpaksa menjalin hubungan dengan Vihan."

"Oke." Jarvis hampir tertawa saat mendengar suara Laya yang bergetar menahan segala emosi dihatinya.

"Kau ini!" Laya memukul sekali lengan Jarvis. "Kau harus percaya padaku, oke?" 

"Percaya." Jarvis mengangguk.

"Aku pacaran dengan Jarvis dari SMA," jelas Laya sekuat tenaga. "Bertunangan saat kuliah. Kalau dihitung-hitung, aku sudah berhubungan dengannya hampir 10 tahun lebih. Jadi hubungan kita ini murni, bos!!" 

"Hem." Jarvis mengangguk lagi. "Tidak bosan?"

"TIDAK!!" Laya berteriak kesal. 

Hal itu sukses membuat Mor langsung menegakkan kepalanya. Ia sampai kaget saat melihat Tuannya dan Laya sudah duduk di depannya. Dari kapan? Hish, ini semua gara-gara game. Jadi lupa waktu dan segalanya.

"Maksudku, Vihan. Dia tidak bosan denganmu?" 

"Ihhh!!" Laya memukul gemas dada Jarvis. Kedua tangan Jarvis refleks memegang tangan Laya. "Dasar menyebalkan!! Menyebalkan!!" teriak Laya dengan kesal. 

"Percuma aku mengharapkanmu datang kemari!! Percuma, tahu!! Huh!"

Ehh?!

Laya mencoba melepas tangannya dari Jarvis. Dia sangat kesal dengan pria ini. Senang sekali menggodanya sampai membuatnya kesal seperti ini.

"Sst, tenanglah." Jarvis mencoba menenangkan Laya. "Maafkan aku, oke?"

Kedua alis Laya refleks terangkat salah tingkah. Kedua matanya mencoba melarikan diri dari mata bulat Jarvis yang terlihat sensual— permintaan maaf ini, seperti permintaan maaf saat Jarvis untuk pertama kalinya menembus daerah sensitifnya.

"Astaga, kenapa aku jadi meleleh seperti ini?" batin Laya tidak sanggup melihat tatapan sesensual itu.

"Hem." Laya melengoskan wajahnya. 

Tapi ….

Salah satu tangan Jarvis menahan dagunya, menahannya ntuk tetap stay ditempat.

"Apa?!" Laya mengerucutkan bibirnya.

***

Salam

Busa Lin