Chereads / DIVE INTO YOU / Chapter 43 - MOR DAN SAVITA

Chapter 43 - MOR DAN SAVITA

9/8/22

Happy Reading

***

Brukh!!

"Awww!" 

Yah, jatuh juga ternyata.

Jarvis menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Padahal, ia sangat berniat menolong Laya. Tapi, ternyata malah terlambat menolong gadis manisnya itu. 

Mau lari percuma, sudah jatuh juga.

Hem, Jarvis menghela napas sedikit lebih panjang dan langkah kakinya terlihat lebih santai daripada yang tadi.

Laya sepertinya mengalami sedikit kelinglungan setelah terjatuh dari kursi itu. 

"Kau tidak apa-apa?" Jarvis berdiri tepat di samping kepala Laya.

"E-euhh?" Laya mengedipkan matanya berulang kali. 

"Pria tampan ini siapa? Apakah dia dewa yang turun dari langit? Mau apa dewa setampan ini ada disini? Ohh, jangan-jangan dewa ini mau membawaku kelangit untuk dijadikan dewinya? Uhh, so sweet." Laya tersenyum. Hatinya merasa girang untuk beribu imajinasi yang dibuatnya. 

Hem, sudah dibilang Laya sedang terkena sedikit jet lag jadi ia sedikit linglung saat ini.

"Bangunlah." Jarvis meraih tangan Laya yang terulur manja. 

Deg?!

Eh?

Laya langsung membulatkan matanya. Ini?!

"Ahh, maaf, bos," kata Laya yang langsung bangkit, namun dengan cepat didudukan lagi oleh Jarvis.

"Hem." Jarvis duduk disamping Laya. 

Laya melihat lampu indikator …

Lho? 

Lalu melihat pintu ruang operasi.

Lho?!

Disana satu persatu perawat dan beberapa dokter yang dikenal Laya terlihat keluar dari ruang operasi. Wajah mereka walau terlihat sangat lelah namun terlihat sangat senang dan lega.

Ada apa ini? 

Apa yang sudah dilewatkannya?

Laya lantas melihat Jarvis yang sedang memakai jas lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana.

"Ayo," katanya mengambil tas Laya.

"Ke-kemana?" Walau tangan Jarvis tak terulur, entah kenapa Laya refleks meraih tangan itu.

"Ke kamar … mmm, apa, ya tadi namanya?"

"VVIP kamar nomor 6 ruang Lotus lantai 8." 

"Ya, itu maksudku," kata Jarvis menarik pelan tangan Laya, untuk mengikutinya.

"O-operasinya sudah selesai?" Laya berdiri di samping Jarvis. Jantungnya berdebaran tak terkendali. Nano-nano rasanya. 

Ba-bagaimana keadaan Vihan? Astaga!!

"Mmm, baru saja."

"Ha-hahh?!" 

Jarvis mengangguk. 

"Ke-kenapa ti-tidak—"

Jarvis langsung membungkam protesan Laya dengan tatapan tajamnya. 

"I-iya aku tidur tadi," ucap Laya menyadari kesalahannya. Huh, kenapa disaat keadaan yang sepenting ini, ia harus ketiduran, sih? Harusnya 'kan ia yang ada di samping Vihan saat operasinya selesai. 

"Ta-tapi kau—"

"Sstt, diamlah." Jarvis mendengus. "Yang penting tunanganmu itu baik-baik saja. Lagipula tidak ada kurang darinya. Kata dokter jangan terlalu terkejut jika Vihan tidak ingat apa-apa setelah dia sadar nanti," ucapnya to the point. Mengulangi penjelasan dokter yang tadi.

"Ke-kenapa?" tanya Laya penasaran.

Walau kesal dengan situasi ini namun Laya tetap saja berjalan di samping Jarvis dengan tetap menggandeng tangannya. 

"Otaknya sedikit mengalami penurunan disfungsi otak. Jika dirangsang terus pasti otaknya sedikit demi sedikit akan normal. Tapi pesan dokter jangan terlalu dipaksa untuk berpikir dan mengingat kejadian yang sudah lalu." 

Saat ini mereka berada di lift. 

Laya mendengarkan dengan seksama penjelasan Jarvis.

"Walau operasinya lancar tapi setidaknya dia masih mengalami trauma atas kecelakaan itu. Apalagi dia ada ditempat kejadian perkara— dia yang membawa mobil itu hingga terjadi kecelakaan— dan pasti tunanganmu itu belum tahu keadaan orang tuamu sebenarnya."

Laya mengangguk langsung mengerti. Benar— itu sangat benar. Walau ia tidak ada ditempat kejadian perkara, sampai saat ini jika ada berita tentang kecelakaan mobil, ia masih mengalami trauma yang cukup mengerikan.

"Jika semuanya lancar, Vihan akan sadar dalam waktu 8 sampai 12 jam. Ini waktu yang penting, untuk sementara kau jangan kemana-mana dulu, hem?"

Laya langsung melihat Jarvis. Menatapnya penuh arti lalu dengan sungguh-sungguh,  "Mmm."

Jarvis hanya mengangguk. 

Setelah sampai di depan kamar inap.

Jarvis melepas tangan Laya lalu memberi tas yang sejak tadi dibawanya. "Kau masuklah."

"E-ehh, kau mau kemana?"

Jarvis melihat jam tangan. "Ini sudah jam 4."

"La-lalu?" Laya masih belum mau ditinggalkan Jarvis begitu saja seperti ini.

"Kerja. Aku bukan pengangguran, oke?!"

"Hu-huhh!" Laya mendengus. Melihat Jarvis dengan tatapan penuh harap. "Tidak bisakah kau menemaniku lagi?" tanya Laya, tapi didalam hati. "Waktu akan cepat berlalu jika kau ada disini, bersamaku, bos."

"Ada yang ingin kau katakan lagi?" tanya Jarvis sebelum pergi.

Laya akan membuka bibirnya tapi … 

"Tidak ada," ucapnya. "Hati-hati dijalan, oke."

Jarvis mengangguk. 

"Kalau kau sudah sampai ditempat tujuanmu, mmm, jangan lupa hubungi aku."

Jarvis mengangguk lagi.

"Sudah?"

Laya mengangguk.

"Aku akan meminta Mor untuk membawakanmu makanan dan pakaian ganti. Jaga dirimu baik-baik."

"Oke." Laya tersenyum. "Besok, kau akan datang lagi, kan?" 

Eh?!

"Maksudku, anu?" Laya jadi salah tingkah.

"Kalau tidak sibuk aku akan datang lagi."

"Oke! Da da da." Laya melambaikan tangannya dengan berat hati. 

Ya, Jarvis pergi. Pasti sepi, nihh!!

Laya dengan langkah yang sedikit berat berjalan mendekati Vihan yang sudah melewati operasi.

Hem, entah kenapa jika dilihat-lihat wajah Vihan sedikit lebih cerah dari hari-hari dimana dia mengalami koma.

*

*

*

Jarvis dengan cepat menghubungi Mor. Ini sudah tiga jam ia membebaskan Mor bersama wanita yang mengaku sebagai sahabat Laya itu.

Pasti main-mainnya sudah selesai, 'kan?

Bisa disuruh-suruh, nih!

Nut … nut … nut!

Tek!

Eh, tidak diangkat?

Jarvis sedikit kaget dengan itu. 

Baru kali ini Mor mengabaikan teleponnya. Biasanya tidak sampai nada dering habis Mor langsung mengangkat teleponnya.

Hem, ternyata belum selesai.

Lama juga, ternyata!

Maksudnya, Mor sudah memasuki usia 45 tahun tapi staminanya masih kuat juga. 

Hem!

Padahal, Jarvis dan Laya sendiri durasi bercintanya tidak kalah dengan Mor dan Savita. Mereka masih sangat muda, dan masih dalam tahap sama-sama penasaran dengan rasa menyenangkan yang didapatkan setelah mencapai puncak masing-masing.

Tapi, sudahlah! 

Walau sedikit kaget dengan pengabaian Mor, tapi ia tidak berlarut-larut dengan perasaan itu.

Jarvis pria dewasa— yang otomatis tahu apa yang sedang dilakukan Mor dengan wanita itu.

Ya, wajarlah.

Jarvis menuju halte— tempat dimana Laya biasa menunggu bus. Kata Pak Satpam tadi, bus disini akan langsung menuju perusahaan Isamu.

Baiklah!

Jarvis duduk di halte. Ini masih jam 4, masih ada waktu. Semoga saja busnya tidak ramai. Ini 'kan sudah masuk jam-jam pulang kerja.

*

*

*

Savita menelan ludahnya dengan salah tingkah. Setelah di puaskan secara sepihak oleh Mor dengan ketiga jari dan bibirnya …

Mor berbisik penuh ajakan. "Sekarang giliranku, nona."

Savita mengangguk. Matanya sayu dan dadanya masih berdebar tak terkendali setelah mendapat kepuasan yang belum tuntas, karena miliknya masih gatal ingin dimasuki.

Mor membantu Savita duduk. Ia mencium bibir Savita yang sudah bengkak. Ini semua karena ulahnya lalu mengusap bibir itu dengan ibu jarinya.

"Lakukan apa yang bisa kau lakukan untukku nona?" Mor menyodorkan miliknya tepat di belahan bibir Laya.

Deg!

Kedua mata Savita membulat penuh gairah. Ia menelan ludahnya dengan kasar— tidak menyangka jika milik Mor bentuknya akan seperti itu. 

Milik Mor sangat besar dan berurat jantan, ini masih wajar. Tapi, bentuknya agak bengkok.

Bengkok disini, bukan melengkung tapi, ahhh, susah dijelaskan dengan kata-kata yang jelas milik Savita sangat gatal dan penasaran minta dimasukan.

Savita dengan tatapan panas memburu nafsu meraih milik Mor dengan tangannya, bibirnya mencium penuh rasa penasaran kepala milik Mor, lidahnya menjilat nakal penuh kenikmatan lalu perlahan memasukan milik Mor kedalam mulutnya. 

Mor mengagumi cara Savita memanjakan miliknya itu. Ia menggeram rendah— membantu Savita memaju mundurkan kepalanya dengan pelan supaya ia bisa lebih menikmati hisapan serta urutan mulut Savita yang sangat nikmat itu.

Setelah dirasa puas merasakan lubang mulut Savita …

Mor melepas miliknya, mendorong tubuh Savita hingga terebah seksi.

Savita yang tahu, otomatis menyamankan posisinya. Ia menunggu dengan was-was serangan Mor yang sedang memakai kondom— padahal ia ingin sekali menikmati milik Mor tanpa pengaman tapi ….

Eh?

Savita menggigit bibirnya dengan nakal. Matanya berkedip sensual. "Ahhh, itu yang kumau," batin Savita sambil menekuk lututnya, membukanya secara perlahan. Siap menyambut milik Mor yang super jantan untuk masuk ke dalam miliknya yang sudah berdenyut gatal sejak tadi.

Mor naik ke atas kasur. Merangkak perlahan hingga berada di tengah-tengah kaki Savita yang basah karena keringat. Bibirnya dengan penuh rayu mencium lutut Savita turun ke paha putih mulus Savita hingga ke depan perutnya. 

Mor mulai merangkak naik lagi hingga kedepan wajah Savita. Mereka berhadap-hadapan.

***

Salam 

Busa Lin