15/8/22
Happy Reading
***
Setelah membeli apa yang diperintahkan Jarvis, Mor tanpa tanya-tanya lagi langsung menuju ke rumah sakit.
Ia berjalan di lorong rumah sambil melihat isi paper bag— berulang kali memastikan isinya. "Tidak ada yang kurang, kan?" gumamnya sedikit merasa was-was— melihat kamar rawat inap yang dihuni oleh Vihan.
Mor berdehem pelan, merapikan pakaiannya supaya terlihat sedikit rapi di depan calon menantu keluarga Isamu nanti.
Tok … tok … tok.
Mor mengetuk pintu dengan lirih. Ia takut mengganggu. Siapa tahu Laya sedang istirahat.
"Masuk," jawab Laya dari dalam.
Mor membuka pintu perlahan. Kepalanya melongok sedikit, "Ini saya, Mor, nona Laya."
"Oh, ya. Masuk saja, Pak." Laya tersenyum senang— pasti Mor kemari karena Jarvis.
"Nona, selamat malam." Mor membungkuk dengan sopan.
"Malam, Pak. Silahkan," kata Laya menyuruh Mor untuk duduk. Sebelum mengikuti Mor, Laya melihat Vihan yang masih dalam masa pemulihan. Semoga saja masa krisisnya lewat dengan cepat.
"Terima kasih, Nona." Mor tersenyum canggung. Menolak untuk duduk. "Saya hanya mengantarkan ini untuk, Nona." Mor menyerahkan beberapa paper bag yang dibawanya pada Laya. "Tolong dicek, siapa tahu ada yang kurang. Saya akan melengkapinya segara."
Laya dengan senang hati menerima paper bag itu, lalu menggeleng dengan cepat.
Yang artinya, ini sangat cukup. Kenapa Jarvis bisa tahu apa yang dibutuhkannya, sih?
"Nona yakin?" tanya Mor memastikan.
Laya mengangguk mantap.
"Baiklah." Mor tersenyum senang. "Masih ada yang dibutuhkan lagi?"
Laya menggeleng.
"Nona yakin?"
Laya mengangguk. "Terima kasih banyak, Pak."
Mor mengangguk, lalu melihat Vihan. "Bagaimana keadaan Tuan Vihan?"
"Semua baik, Pak." Laya menghela napas. "Semoga saja dia bisa melewati masa krisis ini, dan secepatnya kembali pulih."
"Saya doakan yang terbaik untuk kesehatan Tuan Vihan dan Nona Laya."
"Hahaha, terima kasih. Bapak juga jaga kesehatan supaya bisa menghadapi Jarvis dengan sabar." Laya terkekeh sedang Mor sedang berusaha menahan tawanya. Tidak boleh menertawakan tuannya di belakang seperti ini. "Sepertinya pria menyebalkan itu selalu memberikan tugas yang berat untuk bapak," lanjut Laya, gemas sendiri jika mengingat betapa menggemaskannya makhluk bernama Jarvis Isamu itu.
Mor menggeleng. Tuannya tidak sekejam itu—hanya saja, kadang Jarvis, memang sedikit agak-agak orangnya. "Tugas seringan atau seberat apapun, itu semua sudah jadi tugas saya, Nona."
"Emm, kau benar." Laya tersenyum.
"Kalau tidak ada yang kurang dan nona sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, saya undur diri, Nona." Mor membungkuk dengan sopan.
"Em, baiklah." Laya mengangguk. "Sampaikan rasa terima kasihku yang tulus pada pria menyebalkan itu."
"Akan saya sampaikan." Mor akan membalik badannya tapi …
"Kau sudah mau pulang, Mor?" tanya Savita, yang baru saja membuka pintu kamar inap ini.
Mor langsung menoleh lalu melihat Laya yang dahinya berkerut bingung.
"Kalian saling kenal?" tanya Laya.
Mor menggeleng. Savita mengangguk dengan percaya diri.
"Lho?!" Laya semakin bingung. "Apa nih, maksudnya?"
"Maksudnya—" Savita menelan ludahnya salah tingkah saat ditatap dengan ketajaman yang seksi dari Mor. "Ini … anu." Savita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung mau menjelaskannya bagaimana. Masa, ia cerita baru saja melewati siang hari yang begitu panas penuh gairah dengan Mor di kost-kostannya. Apa kata Laya nanti?!
"Saya tadi bertemu dengan nona Savita, Nona." Mor mencoba menjelaskan.
"Dimana?"
"Saat menunggu operasi Tuan Vihan—"
"Kau tadi tidur, La." Savita memotong dengan pasti penjelasan Mor yang tidak to the point. "Kau tadi tidur dipangkuan pria yang sangat tampan. Siapa pria itu, hah? Kau tidak pernah mengenalkannya padaku?!"
"Ehh?" Saya sedikit terkejut. "Kau tadi datang?"
"Yaaa!!" Savita berjalan mendekati Laya dan berdiri disamping Mor. Mengibaskan dengan sengaja rambutnya yang setengah kering dihadapan Mor. Sedikit menggoda Mor dengan aroma sensual yang dikeluarkannya. "Dan, aku tidak boleh membangunkanmu!"
"Astaga, aku tidak tahu apa-apa." Laya bergeleng bingung.
"Ya, iyalah! Tidurmu sangat nyenyak tadi." Savita mendengus. Melirik sekilas Mor yang sepertinya belum mandi. Sebab, Mor masih pakai pakaian yang sama. "Jadi yang menemaniku mengobrol hingga aku puas dan tertidur diatas ranjangku adalah orang ini. Paham?"
"Ahh, iya, maaf." Laya tersenyum polos, melihat Savita dan Mor bergantian. "Maafkan saya, Pak. Pasti Savita merepotkan, bapak?"
Mor menggeleng salah tingkah. Wajahnya sangat panas. "Nona Savita tidak merepotkan saya, Nona."
"Tapi dialah yang membuatku repot." Savita tersenyum smirk. "Dan, repotnya dia justru membuatku semakin penasaran dengannya."
"Penasaran?" Laya semakin bingung saja.
"Hem, penasaran ingin mengobrol dengannya lebih lama lagi."
"Ohhh." Laya mengangguk mengerti. "Ya, sudah lanjutkan saja obrolan kalian yang tertunda," kata Laya mengusir mereka berdua. "Aku harus menjaga Vihan."
"Tapi saya harus menemui Tuan Jarvis."
"Aku kemari mau menjenguk Vihan dan bertemu denganmu."
Mor dan Savita hampir bersamaan mengatakan itu.
"Ah, ya sudah terserah kalian saja," ucap Laya pasrah.
"Saya permisi, nona Lya." Mor dengan sigap berbalik badan, dan langsung keluar kamar. Kenapa bisa bertemu dengan Savita disini?
Sedang Savita justru menggigit bibirnya dengan gemas, melihat Mor yang begitu jantan diatas ranjang bisa salah tingkah juga.
.
.
.
Laya dan Savita duduk berhadap-hadapan, mereka hanya terpisah dengan ranjang pasien.
Laya sudah menceritakan semua keadaan Vihan pada Savita dan, ya … respon Savita sangat heboh seperti biasanya.
Apalagi pembicaraan yang sudah larut malam ini sampai pada ….
"Kau dapat uang darimana untuk biaya operasi Vihan?" Savita bertanya dengan wajah bertekuk kesal. Laya sama sekali tidak pernah memberitahu apa-apa padanya. Tahu-tahu Vihan sudah di ruang operasi.
"Ada yang meminjamkan uang padaku" jawab Laya.
"Meminjamkan?" Savita hampir berteriak. Tidak percaya. "Siapa yang mau meminjamkan sebanyak uang itu, Laya?! Biayanya bukan satu dua juta atau 10 20 juta tapi ratusan juta dan hampir mencapai milyaran? Kau bilang, ada yang meminjamkan uang padamu, hah? Sebaik apa orang itu padamu, hah?!"
Laya hanya diam, kedua matanya tak berkedip saat melihat wajah Viham yang mulai terlihat segar. Padahal beberapa jam lalu wajahnya sangat pucat.
"Laya?!" Panggil Savita, gemas sendiri. Sebab, pertanyaannya tidak ada satupun yang dijawab.
"Akan kuceritakan." Laya menghembuskan napasnya, lalu meraih tangan Savita. "Tidak sekarang. Beri aku waktu, hem?" Ia menggenggam erat kedua tangan Savita diatas perut Vihan.
"Jangan katakan kau menjual tubuhmu pada bapak-bapak tua bangka yang kaya raya?" tanya Savita to the point. Ini hanya firasatnya. Tapi ia juga ingin memancing Laya untuk berkata jujur. Tidak mungkin dalam waktu singkat Laya bisa mendapatkan uang sebanyak itu jika tidak menjual tubuhnya.
"Haishhh!!" Laya membuang gemas tangan Savita. "Gila! Mana mungkin! Aku memang butuh uang, tapi tidak mungkin aku menjual tubuh perawan ku pada bapak-bapak tua bangka. Enak aja! Aku masih punya harga untuk tubuhku dan diriku tak akan semudah itu bisa tergoda, oke!!"
"Oke!" Savita mengangguk percaya. "Jadi, siapa pria yang telah membeli tubuhmu itu?"
"Eh?" Laya sedikit terkejut untuk itu.
"Katakan padaku. Aku ini sahabatmu."
Laya mencoba mengalihkan pandangannya. Tidak mau menjawab pertanyaan Savita.
"Jangan katakan pria yang tadi, ya?"
Laya dengan cepat langsung menggeleng.
"Jangan bohong! Siapa pria itu, hem?"
"Bu-bukan siapa-siapa, hanya kenalanku," jawab Laya sedikit gagap.
"Kenalan? Hah!" Savita bergeleng tidak percaya. "Hanya kenalan tapi bisa semesra itu, ya? Aku tidak pernah melihatmu semesra dan semanja itu pada Vihan."
"Kau 'kan tidak 24 jam bersamaku."
"Ahaahaha." Savita tertawa lirih. "Berarti benar pria itu. Aku sih, yes. Tidak apa-apa. Lagipula dia pria yang sangat tampan."
"Hishhh!!" Laya berkerut sebal. "Bukan dia, oke!!"
"Siapa nama pria tampan itu?" Savita mengangkat kedua alisnya. "Dia sangat tampan, dan aku yakin dia adalah pria yang sangat kaya. Iya, kan?"
Laya melengos sebal.
"Ayolah. Beritahu aku siapa nama pria itu?"
Laya tetap menggeleng. Tidak mau memberitahu dengan pasti identitas Jarvis Isamu.
"Pelit!" Savita cemberut. "Akan aku cari tahu sndri nama pria tampan itu."
"Siapa pria tampan yang kalian maksud?"
Deg?!
Laya dan Savita mendadak terkejut. Mereka berdua menoleh bersama ke arah sumber suara.
Lho?
"Aku?"
***
Salam
Busa Lin